VII. Musuh Nyata

412 62 7
                                    

Aku memutuskan untuk pergi bersamanya, itu pun karena aku yang memaksa. Kalau tidak begitu pasti dia akan menelantarkan diriku di desa ini. Sendiri tanpa ada yang menemani, tanpa uang sepeser pun pula. Nasib buruk memang, jika kabur tanpa persiapan.

Tapi, tak apalah. Yang terpenting sekarang aku bisa bebas dari perjodohan memuakkan itu. Aku bisa terbang dan mengepakkan sayapku sendiri tanpa Lucas di sisiku.

Aku sudah tidak terlalu peduli dengan balas dendam padanya. Lebih baik berjalan seperti ini saja. Aku juga tak ingin menjadi orang yang pendendam. Lucas dan si bedebah adalah orang yang berbeda, mungkin mereka kebetulan 'agak sama' dikarenakan sudah ada garis takdir yang tercipta.

Tentu aku tak dapat mengelaknya, aku pun tak bisa memaksakan kehendak yang ada. Aku hanya perlu menjalani semuanya saja, dengan baik dan semoga bisa berjalan lancar sesuai dengan keinginanku. Semoga saja ya.

Saat ini aku ingin fokus mencari kebahagiaanku di dunia ini, dan ingin berpetualang di dunia yang asing ini. Ah, aku baru merasa sebahagia ini setelah hidup kembali.

Hidungku menghirup dalam-dalam aroma segar pedesaan yang belum tercemar oleh asap kendaraan. Mayoritas masyarakat di sini menggunakan kuda untuk berpergian, kalau tidak begitu kereta—itu pun biasanya hanya bangsawan yang memakai kereta kuda. Beberapa penduduk lebih suka jalan kaki untuk menyusuri desa menuju tempat tujuan mereka, itu semua dikarenakan teknologi di zaman sekarang yang belum berkembang.

Tak menyangka jika diriku bisa kembali ke masa lalu seperti ini. Aku hanya melihat semua ini di komik yang pernah aku baca, kalau tidak begitu di buku-buku sejarah, ataupun di internet. Tidak pernah melihat secara langsung seperti ini.

Tetapi tetap saja. Tempat ini berada di dimensi lain, tidak seperti di dimensi duniaku berada. Jauh berbeda, dan mungkin saja jaraknya pun jauh tak terkira.

"Oh, sial!"

Tumben sekali pria itu mengumpat seperti itu, biasanya dia lebih sering menggoda diriku dengan mulut manisnya itu.

"Ada apa?" tanyaku padanya pelan.

Dia berhenti di depanku, tampaknya dirinya sedikit khawatir akan sesuatu hal yang tidak aku ketahui apa itu.

"Di hitungan ketiga, larilah!" ujarnya padaku, matanya tidak menatap ke arahku. Dia malah fokus ke arah depan sana, padahal di sana tidak ada apa-apa. Hanya ada pohon rindang yang tampak begitu tenang.

"Kenapa aku harus lari?" Tentu saja aku tidak bisa menuruti perintahnya mentah-mentah, aku ingin mendengar alasannya juga.

"Tidak usah banyak bertanya! Turuti perkataanku!" bentaknya. Kali ini dia menatap tajam diriku.

Dia seperti mengidap kepribadian ganda, tingkahnya selalu saja berubah-ubah tanpa alasan yang jelas. Kadang menyebalkan, kadang dingin, kadang perhatian. Aku sampai tak mengerti dengannya.

"Oh, oke. Aku akan lari. Tapi, apa kau akan berlari juga?"

"Tidak. Aku akan tetap di sini."

Sepertinya ada hal khusus yang tidak ingin melibatkan aku di dalamnya. Mau bagaimanapun aku harus menuruti perkataannya saja, daripada kenapa-napa nantinya.

"Aku akan pergi. Jaga dirimu. Tidak perlu menghitung. Selamat tinggal!"

Srekk....

Sebuah anak panah tiba-tiba meluncur tanpa aku sadari, anak panah itu menancap di atas tanah yang berjarak beberapa senti dari tempatku berpijak. Untung saja pria itu sempat menolongku sebelum anak panas itu menancap di tubuhku.

Aku kali ini akan berterima kasih banyak padanya, dia telah menyelamatkan nyawaku untuk kedua kalinya dalam kurun waktu dua hari ini. Beruntungnya aku bertemu dengannya.

Tiba-tiba beberapa anak panah kembali meluncur saat aku fokus pada pikiranku, bodoh sekali diriku ini tidak mencoba waspada malah berpikir ke mana-mana. Untung saja dia menolongku lagi. Kali ini dia memelukku tubuhku erat dan menjadikan dirinya tameng untuk melindungiku.

Kedua mataku terpejam erat sambil memegang baju depannya, dia semakin mengeratkan pelukannya padaku saat bunyi anak panah semakin bising dan bertambah banyak.

Anehnya, anak panah yang begitu banyak itu sama sekali tidak memberikan goresan padaku ataupun padanya. Sepertinya dia menggunakan sihirnya yang luar biasa untuk membuat perisai.

Aku membuka mataku yang terpejam, ada cahaya biru yang sedikit transparan melindungi kami. Di sebelah sana tepatnya di antara rimbunnya pepohonan aku melihat beberapa orang pemanah menyerang kami, dan untungnya anak panah itu terpental sebelum menembus perisai buatannya.

"Siapakah mereka? Apa mereka musuhmu?" tanyaku padanya dengan bisikan pelan.

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu, tapi tetap saja. Rasa penasaranku ini tidak bisa diminta untuk menunggu lebih lama lagi.

"Mereka mengincarku. Kau tidak usah khawatir, aku akan melindungimu."

"Kau buronan?!" tuduhku tanpa pikir panjang.

"Bukan. Itu tidak penting. Lebih baik fokus pada situasi ini saja."

"Tapi, ak—"

"Simpan rasa penasaranmu untuk sementara. Perisai yang aku buat tidak akan bertahan lama. Setelah perisai ini mulai retak, larilah! Jangan pikirkan aku, aku akan menghadang mereka!"

Aku tidak ingin meninggalkan dia sebenarnya. Namun, aku tidak bisa membantu apa-apa. Kalau aku keras kepala dan memaksa tetap di sini, pasti aku akan semakin merepotkannya.

Aku mengangguk diam, kepalaku menunduk. Semoga dia baik-baik saja nanti, dan semoga saja orang-orang itu tidak melukainya, ya walaupun itu tidak mungkin akan terwujud.

Dia menepuk kepalaku pelan, "Tenanglah. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi janda."

Kenapa sempat-sempatnya dia menggodaku di saat seperti ini? Dasar, menyebalkan! Aku memukul pundak sedikit lebih pelan.

"Tidak usah pikirkan itu! Aku hanya ingin kau selamat! Jangan sampai kau mati!" pintaku padanya dengan penuh permohonan.

"Tentu saja." Dia tersenyum tipis padaku, senyumnya cukup menyakinkanku.

Aku mengepalkan kedua tanganku erat, saat mendengar suara retakan perisai aku langsung berbalik memunggunginya dia pun sama halnya.

"LARILAH!!" instruksinya padaku.

Aku mengangguk padanya. Namun, aku tidak berlari menjauh darinya. Aku malah berbalik arah dan berdiri di hadapannya. Dia terkejut melihat perlakuan ini. Namun, aku tidak peduli dengan semua hal itu.

Aku berteriak kencang sebelum melepaskan tinjuku untuk memukul tanah yang kami pijaki dengan sekuat tenaga. Aku sengaja melakukan hal itu untuk mengalihkan perhatian mereka.

Bunyi retakan terdengar begitu nyaring, retakan itu bahkan merambat sampai ke tempat mereka berada di sana. Tanah yang aku pijak pun seperti akan longsor dikarenakan tinjuan superku ini.

Sebelum aku terpeleset dan ikut terjatuh ke dalam longsoran, tubuhku seperti melayang. Dia menggendongku lagi dan membawa menjauh dari longsoran ini dengan secepat mungkin.

Di sana sudah aku pastikan tanah longsor dan pohon-pohon pun akan ikut ambruk menimpa orang-orang itu. Ya, semoga saja terjadi seperti itu.

"AKKHH!!"

Jeritan beberapa orang terdengar begitu nyaring di telingaku. Sepertinya apa yang aku lakukan tidak berakhir sia-sia.

Terima kasih banyak tinju superku. Kali ini kau menyelamatkanku.

•••

Halo, everybody🥰

Maaf ya aku baru update. Dan cuma mau bilang, jangan lupa vote dan commentnya ya. Sekian~ sampai jumpa lain waktu🥰

Nanti kalo ada waktu aku mau double up, jadi siap-siap menunggu ya🥰

Became Princess In The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang