IX. Jatuh

386 51 4
                                    

Pagi ini aku terbangun. Namun, aku tidak melihat Nathaniel di dekatku. Di mana pria itu sebenarnya? Bukannya semalam dia membuat gubuk kecil untuk tempat bermalam kami berdua. Selain itu juga, sebelum aku terhanyut dalam mimpiku—pria itu masih berbaring tak jauh dariku.

Tidak mungkin jika dia meninggalkanku begitu saja. Namun, jika dia benar-benar meninggalkanku ... itu tidak mengherankan sama sekali. Kan dia begitu membenciku.

Tak mau ambil pusing, aku langsung saja keluar dari dalam gubuk yang berukuran sempit ini. Udara pagi langsung menyapa hidungku, dan itu cukup membuatku kembali bugar.

Kedua bola mataku mendapat asupan menyehatkan saat melihat begitu hijaunya pemandangan alam pagi ini. Semuanya begitu indah dan sangat menyejukkan. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menikmati pemandangan seindah ini.

Bibirku tersinggung tanpa aku sadari, aku melangkahkan kakiku yang berbalut flat shoes dengan pelan. Jubah usang yang aku pakai sebagai penyamaran aku tinggalkan begitu saja di dalam gubuk, aku hanya mengenakan gaun tidur berwarna putih milikku. Yang beberapa hari ini membungkus tubuhku.

Jujur saja, ya. Aku sudah berhari-hari tidak mandi, dan tentunya bauku sudah tidak tertahan lagi. Pasti begitu busuk dan kecut. Mungkin karena bauku juga, Nathaniel tidak betah-betah dekat denganku.

Telingaku menangkap suara gemericik air dari kejauhan, sepertinya ada sungai atau sumber air di dekat sini. Akhirnya, Tuhan berpihak padaku. Dengan adanya air itu, aku bisa membersihkan tubuhku yang super kotor ini.

Sungguh luar biasa, saat suara itu semakin nyaring di telingaku. Namun, ada semak-semak belukar yang menghadang penglihatanku. Aku langsung saja menyibak semak belukar itu dengan kasar. Lantas, terpampang sebuah danau berwarna biru yang begitu indah di pandang mata.

'Akhirnya aku bisa membersihkan diriku setelah sekian lama,' seruku di dalam hati dengan perasaan yang begitu bahagia.

Tanpa mau membuang waktuku lebih lama, langsung saja aku melangkahkan kakiku menuju danau itu. Namun, beribu sayang ... langkahku tidak semudah itu. Karena, sebelah kakiku tersandung akar pohon yang menjulang.

Tentu saja, tubuh mungilku langsung terjungkal begitu saja. Hebatnya aku menggelinding dari tempatku berpijak dengan tidak etisnya.

"Akhh!" pekikku karena merasa kesakitan. Sebagian kulitku yang terbuka bergesekan dengan tanah sehingga menimbulkan rasa yang begitu perih.

Aku membenci akar pohon sialan itu! Gara-gara dia, aku tidak bisa mandi dengan tenang. Benar-benar sialan! Ukkh! Tidak baik sekali nasibku ini.

Byurr!

Tubuhku jatuh begitu saja ke dalam danau. Aku hanya dapat menahan kekesalan di dalam hatiku, sementara mulutku terkunci untuk menahan napasku yang saat ini sepenuhnya terkubur di dalam air.

Dengan kemampuan berenangku yang lumayan, aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku agar tidak tenggelam.

Mataku begitu perih saat berhasil mengeluarkan kepalaku dari dalam danau itu, tenggorokanku begitu nyeri saat tadi tanpa sengaja air mengalir ke dalam tenggorokanku.

Aku terbatuk-batuk dengan begitu kencang, napasku pun serasa tersendat di tenggorokan. Untung saja saat ini aku masih bisa bernapas. Kalau tidak, aku akan mati untuk kedua kalinya.

Tubuhku terangkat begitu saja. Tentu saja aku terkejut dengan semua ini, padahal tidak ada siapa pun di dekatku. Namun, saat mataku menangkap Nathaniel tak jauh di depan sana, dan menggerakkan tangannya. Pertanyaannya di benakku terjawab sudah. Dialah yang mengangkat tubuhku.

"Bodoh!" hujatnya padaku.

Laki-laki itu memang selalu membenciku sepertinya. Yah, walaupun kadang kala sering sekali dia menggodaku, tapi aku rasa kebenciannya melebihi segalanya.

Became Princess In The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang