VIII. Bermalam

417 54 6
                                    

"Ternyata tenaga monstermu berguna juga, Nona."

Aku memukul pundaknya kencang, dia tidak menjerit atau memarahiku. Dirinya malah tertawa terbahak-bahak menyadari kemarahanku.

"Diamlah! Aku melakukan itu untuk menyelamatkan kita!" bentakku padanya sembari menutup wajahku yang memanas karena terlampau malu.

Akhh! Sekarang aku menyesali perbuatanku. Kalau ditilik lagi aku seperti wanita sombong yang memamerkan kekuatannya pada seorang lelaki. Seharusnya aku tidak berlaku seperti itu! Apalagi jelas-jelas dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuanku.

Yang tadi adalah keputusan yang paling bodoh yang aku buat selama seumur hidupku.

"Apa kau benar-benar tidak ingin kehilanganku, Nona?"

"Tidak!" jawabku tanpa menatap dirinya. "Aku tidak mungkin membiarkanmu mati. Aku hanya sendiri, tidak tahu arah. Bagaimana bisa aku berkelana sendiri jika kau mati?"

Kalau dilihat aku memang memanfaatkan dia. Aku tidak mengelaknya karena itu adalah kenyataannya.

Sekarang ini hanya dia orang yang dapat membantuku, sekaligus menjadi petunjuk jalanku. Jika, suatu saat nanti aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuannya. Mungkin aku akan segera pergi menjauhinya.

Menjadi beban orang tidaklah menyenangkan. Apalagi laki-laki itu sepertinya setengah hati menolongku. Dia seperti tidak ingin aku ada di dekatnya. Karena aku cukup tahu diri, mungkin aku akan menjauh darinya nanti.

Itu tidak sekarang, ya! Entah kapan aku akan memutuskan lepas darinya.

"Hey, kenapa wajahmu masam begitu?"

Tumben sekali dia peka terhadap perasaanku. Aku melirik ke arahnya sekilas lantas membuang mukaku ke arah lain. "Tidak ada. Aku hanya meratapi nasib burukku," ungkapku jujur padanya.

"Bukannya ini semua buah dari perbuatanmu, Nona?"

Memang sih, ini semua akibat perbuatanku yang seenaknya kabur dari istana tanpa pikir panjang. Aku kabur tanpa persiapan dan berakhir menyusahkan orang. Sungguh, ceroboh sekali diriku ini.

Tapi, kalau seandainya aku tetap di sana. Masa depanku akan terancam. Aku tak sudi menikah dengan pria semacam Lucas. Dia bukan tipeku, pria itu terlalu dingin dan suka seenaknya memutuskan sesuatu. Wajahnya pun mirip sekali dengan tokoh antagonis yang sering aku lihat.

Aku tidak ingin masa depanku berubah kembali suram dan berakhir dengan kematian. Aku ingin hidup bahagia bersama orang yang aku cinta, dan aku sayangi sepenuh hatiku, dan Lucas bukanlah orangnya.

"Kalau boleh aku tahu. Kenapa kau bisa sampai hutan pada malam itu? Kalau dilihat, sepertinya kau baru saja melarikan diri dari kediamanmu. Bahkan kau hanya memakai jubah dan pakaian tidurmu."

Kami belum mengenal satu sama lain, selain itu juga—aku tak tertarik menceritakan pelarianku padanya. Namun, saat ini dia bertanya. Mungkin aku akan jujur saja padanya. Pria itu sepertinya tidak ada niat buruk sama sekali padaku.

Entahlah. Aku percaya begitu saja padanya.

"Aku memang melarikan diri dari rumah," ujarku pelan, sembari menatap dalam kedua maniknya yang berwarna biru terang. Aku baru menyadari jika warna mata pria itu sedikit mirip dengan warna mata Lucas. Namun, warna bola mata pria di hadapanku ini jauh lebih terang daripada milik Lucas yang terlihat lebih suram.

Dia tampak tidak terkejut dengan ungkapanku, ya karena dia sudah menduganya dari awal sebelum bertanya padaku.

"Apa alasanmu melarikan diri?"

Aku mengambil napas dalam, "Alasan klasik sebenarnya. Aku tidak ingin dinikahkan. Selain itu juga, aku tidak menyukai tunanganku. Karena itu aku melarikan diri darinya."

Kening pria itu berkerut, "Memangnya kenapa dengan tunanganmu? Apa rupa tunanganmu sebegitu buruknya sampai kau tidak ingin menikahinya?"

"Tentu saja tidak!" elakku cepat. "Dia sangat tampan, bahkan jauh lebih tampan darimu."

"Cih." Dia mendecih padaku, tampaknya dia tidak suka aku bilang lebih jelek dari Lucas. "Bukannya semua wanita selalu menginginkan pria tampan untuk menjadi suaminya. Kenapa kau malah lari?"

Wajah pria itu sedikit memerah, mungkin dia marah padaku. Namun, aku tidak peduli dengan semua itu.

"Sudah aku bilang. Aku tidak menyukainya, karena itu aku lari darinya. Wajahnya memang tampan, tapi itu tidak cukup untukku."

Wajah tampan bukan sebuah ukuran untuk menjadikan seseorang menjadi suamiku. Ada kriteria lain yang lebih penting yang harus terpenuhi jika ingin menjadi suamiku.

Lucas memang tampan. Namun, sikap dan sifatnya begitu sialan.

"Kau serakah juga ternyata," cibirnya padaku.

Aku melotot garang padanya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya. Sembarangan saja menilaiku begitu. "Aku tidak serakah, Tuan!"

"Terserah kau mau bilang apa," ujarnya malas tanpa menatap mataku. "Lagi pula itu tidak penting untukku."

Dasar! Bukannya dia yang bertanya padaku tadi? Aku sudah menjawabnya dengan jujur. Lalu, kenapa dia malah marah padaku? Dasar plin-plan!

Dia menjengkelkan! Aku tidak menyukainya! Benar-benar memancing amarahku saja!

"Jika kau tidak bertanya, mungkin aku akan diam saja."

Dia tidak bereaksi sama sekali, yang aku dengan hanyalah hembusan kasar napasnya yang mulai tak beraturan. Bakatku membuat orang lain murka tampaknya semakin berkembang pesat saja.

"Oh, ya." Aku tiba-tiba teringat akan satu hal. Semenjak kami bertemu pada malam itu, kami belum mengetahui nama sama satu lain. "Namaku, Vedelila. Namamu siapa?" ujarku pelan sembari mengulurkan tanganku padanya.

"Namaku Nathaniel," jawabnya tanpa menyambut uluran tanganku.

Aku hanya dapat memendam kekesalanku saat dia begitu menyebalkan di mataku. Lagi pula, apa yang aku harapkan darinya? Pria itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali.

Tunggu. Bukannya saat ini kami kembali terjebak di dalam hutan, ya? Kenapa kami tidak memutuskan mencari penginapan saja daripada duduk saling mendiami seperti saat ini? Tapi, sayangnya aku tak tahu di mana arah penginapan berada.

"Hey! Apakah kita akan bermalam di hutan ini?" tanyaku padanya. Aku tak ingin tidur di atas rumput dengan hawa yang begitu dingin.

"Hm."

Jawaban macam apa itu?!

"Kenapa kita tidak mencari penginapan saja?! Di sini dingin, dan juga—siapa tahu nanti ada binatang buas yang akan menerkam kita saat tertidur," sungutku padanya.

"Kau tidak usah khawatir. Di sini aman. Lagi pula aku punya sihir untuk menghangatkanmu. Apa kau ingin mencobanya?" balasnya sembari mengedipkan matanya jahil padaku.

Tentu saja pipi merona mendengar tawarannya. Menghangatkan dalam kamus otakku memiliki berbagai macam asumsi, dan itu kenapa menjurus ke hal-hal kotor yang mencemari otakku? Akkh! Sialan! Bagaimana bisa aku memikirkan hal itu dengannya?

Otakku sudah tidak waras semenjak bertemu dengannya.

•••

Halo semuanya! Maaf ya waktu itu aku nggak jadi double up. Aku benar-benar kelupaan dan nggak sempat up karena saking sibuknya di dunia nyata.

Sebagai tanda permintaan maaf aku bakal triple up hari ini! Jadi tolong ditungguin yak!

Became Princess In The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang