Sudah terhitung seminggu semenjak aku pulang ke istana. Tidak ada yang terasa istimewa ataupun menggugah hatiku. Semuanya terasa begitu sepi, dan tak berkesan lagi.
Penjagaan padaku pun diperketat agar tidak mengulang kejadian yang sama untuk kedua kalinya. Saat ini semuanya lebih berhati-hati dalam mengawasiku.
Pertemuan dengan para bangsawan pun tak begitu menarik menurutku. Malah terkesan membosankan dan begitu monoton. Aku sungguh tak menyukai pertemuan formal semacam itu.
Namun, aku tak bisa lari. Sebagai seorang putri aku harus menjalani itu semua. Apalagi aku belum menikah, dan menjadi satu-satunya putri Raja Heavin yang masih tinggal di istana Lorenznia.
Sebenarnya hari ini ada pesta dansa yang diadakan di Kerajaan Ellenord. Pesta dansa itu untuk menyambut ulang tahun putri bungsu Raja Lenord yang menginjak usia kedewasaan.
Selepas dari itu. Kakak pertamaku telah menikah dengan Pangeran Thomas, yaitu pangeran kedua Kerajaan Ellenord. Mereka menikah karena dijodohkan, tidak ada cinta pada awalnya. Namun, seiring waktu mereka akhirnya saling jatuh cinta. Sekarang saja selama 3 tahun pernikahan Kak Vidella telah memiliki sepasang bayi kembar yang begitu menggemaskan.
Karena hubungan Lorenznia dan Ellenord sedekat itu. Tentu saja aku tidak bisa lari sesuka hatiku.
"Apakah Tuan Putri Lorenznia tidak begitu menyukai pesta?"
Keningku berkerut saat mendengar suara asing yang menyapa indra pendengaranku. Padahal aku telah lari dari aula pesta dan memutuskan untuk menyendiri di taman istana. Kenapa ada yang menemukanku juga?
Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Melihat sesosok pria tak asing di hadapanku ini membuat otakku kembali bekerja. Dari ingatan Vedelila, sepertinya dia tahu siapa pria di hadapanku ini.
"Apa kau tidak mengingatku, Tuan Putri?" ujar pria itu dengan senyum menawan.
Dia sesosok pria yang ramah. Jarang sekali aku bertemu pria semacam dia semenjak terdampar di sini.
"Pangeran Alphen?" ujarku ragu-ragu. Sebenarnya aku mengatakan itu dengan nada sedikit bertanya. Takut salah menyebutkan nama orang. Kalau itu terjadi, pasti harga diri lawan bicaraku akan tergores.
Pria itu tertawa pelan, "Ternyata kau masih mengingatku. Padahal kita terakhir kali bertemu sekitar 3 tahun lalu." Dia kembali mengulas sebuah senyum, benar-benar murah senyum. Aku pun membalas senyumnya dengan seperlunya. "Apa aku boleh duduk di sampingmu?"
"Tentu saja. Silakan, Yang Mulia." Aku mempersilakan dia untuk duduk di sebelahku, tentunya dengan memberikan jarak. "Anda tidak menyukai pesta juga?" tanyaku berniat mencari bahan pembicaraan.
"Benar. Aku tidak suka pesta. Aku juga membenci keramaian."
Bertolak belakang sekali dengan sikapnya ramah itu. Setahuku orang yang ramah pasti suka dengan keramaian dan tidak terganggu dengan semua itu. Ternyata, Pangeran Alphen berbeda dengan orang ramah di luar sana.
Pangeran Alphen adalah Pangeran keempat Kerajaan Ellenord. Sebenarnya, Raja Lenord memiliki banyak selir karena itu pewarisnya pun begitu banyak tak terhitung ada berapa pangeran dan juga putri.
Alphen jarang muncul di pertemuan bangsawan, dia lebih suka menyendiri di dalam perpustakaannya. Pangeran pertama kerajaan Ellenord lah yang sering muncul di permukaan, beliau begitu disegani dan dihormati oleh semua orang.
Semua itu aku ketahui dari ingatan Vedelila. Dulu saat masih remaja, Vedelila memang pernah dekat dengan Alphen. Selain itu juga, gosip tentang pangeran yang satu ini pun sering terdengar di masyarakat. Karena itu, tak heran juga Vedelila mengetahui akan hal itu. Walaupun berbeda Kerajaan, bangsawan pun pasti ada juga yang bergosip mengenai hal ini—apalagi jika seorang wanita. Sudah tidak diragukan, bukan? Walaupun norma bangsawan begitu ketat. Memang ada yang betah untuk tidak bergosip?
"Kau jadi pendiam. Ada apa?"
Tampaknya Vedelila di masa lalu benar-benar cerewet. Banyak sekali orang yang berkata kalau aku lebih pendiam dari sebelumnya.
"Ada yang menganggu saya akhir-akhir ini. Karena itu saya lebih pendiam," jawabku seperlunya. Tidak semangat seperti biasanya.
"Apakah mengenai pernikahanmu dengan Pangeran Lucas?"
Alphen titisan cenayang rupanya.
"Itu juga mengganggu saya."
Sepertinya, tak apa jika aku curhat pada Alphen. Pria itu tampaknya dapat dipercaya, apalagi di masa lalu Vedelila cukup dekat dengan pangeran yang satu ini. Seperti seorang sahabat.
Alphen mengangguk-angguk mengerti perkataanku, "Pantas saja kau lari waktu itu."
"Anda mengetahui itu?!" tanyaku terkejut. Aku pikir hanya orang-orang di istana saja yang mengetahui kabar pelarianku. Kerajaan lain pun ternyata ikut mendengarnya.
"Tentu saja. Berita itu cukup hangat di masyarakat dan beberapa kerajaan."
Ternyata berita pelarianku menjadi topik yang populer di beberapa kerajaan, tapi mengapa jika kabar pelarianku tersebar di mana-mana tidak ada yang berhasil menemukanku segera?
Aku pun tak melihat semacam inspeksi di perbatasan, ataupun melihat selebaran hilangnya sang putri. Prajurit pun aku tidak melihat mereka berkeliling menggeledah seluruh penjuru kerajaan. Aneh sekali.
"Kalau menjadi berita hangat dan begitu populer. Kenapa saya tidak melihat ada prajurit yang berkeliaran di luar istana?"
Alphen menatapku, "Aku dengar. Pangeran Lucas meminta ayahmu untuk menghentikan pencarian. Karena itu tidak ada prajurit yang berkeliaran. Selain itu, hanya Lucas yang mencarimu. Tak disangka, dia berhasil menemukanmu secepat itu."
Oh, ternyata Lucas dalangnya. Pantas saja pelarianku terasa begitu damai. Ya, walaupun akhirnya pria itu menemukanku.
Ada kejanggalan sebenarnya. Bukannya Alphen tidak suka bergaul. Kenapa dia bisa mengetahui semua itu?
"Yang Mulia. Bagaimana Anda bisa mengetahui semua itu? Padahal Anda adalah seseorang yang tidak suka bergaul dan lebih suka berdiam di tempat Anda tanpa memikirkan hal yang terjadi di luaran sana."
Alphen malah tersenyum lebar, "Kau adalah sahabatku, Vedelila. Bagaimana mungkin aku bisa menutup telingaku saat mendengar semua itu? Tentunya aku menyewa seseorang untuk melaporkan segala hal yang berkaitan dengan kepergianmu."
Tak kusangka. Alphen dan Vedelila lebih dekat dari apa yang aku kira.
"Terima kasih karena telah mempedulikan saya," ujarku tulus dengan senyum yang aku ukir setulus mungkin untuknya.
"Tidak ada kata terima kasih untuk sepasang sahabat. Kau pun sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Jadi, santai saja ... dan aku mohon, tolong jangan berbicara terlalu formal padaku. Aku tidak menyukai itu."
Aish! Kenapa aku jadi terbawa perasaan akan kelembutan pria tampan di hadapanku ini? Lemah sekali diriku ini. Mungkin karena dulu tidak ada pria tampan di dekatku.
"Baiklah, Yang Mulia."
"Jangan panggil aku seperti itu. Panggil Alphen saja."
Aku mengangguk pelan, dengan mengukir sebuah senyuman. "Baiklah, Alphen."
Pria itu membalas senyumku. Baru aku sadari ternyata senyuman itu dapat menambah kadar ketampanan seseorang. Alphen pun salah satu yang terkena efeknya. Saat senyum ketampanan pria itu bertambah berkali-kali lipat.
Namun, anehnya ... kenapa aku tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan pada Nathaniel, ya?
Ah, sudahlah. Untuk apa aku memikirkan pria menyebalkan itu. Lagi pula, dia sudah memutuskan hubungan denganku. Tidak ada gunanya memikirkannya dan mengharapkannya.
Ternyata, berbicara santai dengan Alphen bisa membuatku sejenak lupa pada beban yang menggangu pikiranku.
Untuk ke depannya. Aku akan sering-sering berkomunikasi dengan Alphen saja. Agar beban di pundakku terasa lebih ringan.
•••
Hallo semuanya, apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya.
Maaf banget aku baru update setelah sekian lama.
Sekian~
Jangan lupa vote dan commentnya!
Terima kasih sudah membaca~
KAMU SEDANG MEMBACA
Became Princess In The Past
Fantasía[15+] Ini mengerikan, benar-benar mengerikan! Bagaimana bisa aku tiada dan kembali hidup lagi di tubuh seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya? Parahnya, nama orang itu mirip dengan namaku di kehidupan sebelumnya. Benar-benar kebetulan yang lua...