Jasmin's POV
Now your bowl is empty and your feet are cold. And your body cannot stop rocking. I know. It hurts to let go. Since the day I found you, you have been my friend.... and more than a friend. And your voice still echoes in the hallway of this heart. But now, it's the end. I will be with you. When you're leaving. I will be with you. When you go. I will be with you and hold you untill you're quiet. It hurts to let you go.
I will be with you
You will stay with me
.
.
Langit sore itu indah. Berwarna oranye. Seperti bunga asphodel. Aku duduk di bawah pohon di atas sebuah bukit. Duduk sendiri di tepi danau di ujung hari. Diam sendiri dengan pandangan fokus menatap satu titik di atas permukaan air tanpa tahu benar mana titik yang sebenarnya aku fokuskan. Pandangan mataku tepat tertuju pada danau kecil yang berada hanya sekitar lima meter dari tempaku duduk. Matahari sore membuatnya berkilauan seperti terdapat jutaan Permata di dasar danau itu.kulempar beberapa batu kecil ke dalam danau. Suasana yang sangat sunyi ini membuat sebuah simponi menakjubkan ketika aku melempar bebatuan tersebut. Angin bertiup kencnag di cela-cela dedaunan dan menerbangkan daun-daun yang tidak kuat terkena terpaan angin.
Aku hidup. Sebagai manusia tentunya. Normal. Aku bisa berlari sepuasku. Berenang. Menyelam. Tertawa hingga perutku hampir meledak. Melakukan semua hal yang awalnya tidak dapat aku lakukan. Aku bukan lagi menjadi manekin yang terus digerakkan oleh benang-benang keputus asaan. Aku hidup! Aku merasa lebih hidup! Tranplantasi jantungku dua minggu lalu berjalan dengan sangat hebat. Delapan jam bukan waktu yang sebentar untuk berbaring dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan alat-alat mengotak-atik tubuhnya. Terdengar menyeramkan.
Sunyi. Aku sangat suka dengan keadaan yang seperti ini. Kepakan sayap burung-burung yang mulai kembali ke sarangnya terdengar seperti sapuan pasir-pasir halus di rerumputan. Tiba-tiba sebuah suara merdu bermelodi menyedihkan terdengar di kedua telingaku. Kulihat ke belakangku dan kudapati seseorang membawa kotak musik sekaligus jam bulat yang tidak asing untukku digenggam oleh sesorang yang berdiri tegak di belakangku.
"That's music box.... Bagaimana bisa ada di tangamu?" tanyaku kaget masih penasaran bagaimana bisa ada padanya. Dia, Niall, berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku.
"He gave me. David memberikan kotak musik tua ini padaku," jawabnya masih memutar lagu sedih yang terus mengalun. Aku tidak menjawab. Hanya memeluk kedua kakiku erat dan menenggelamkan kepalaku di antara keduanya.
"Don't cry.." Niall mendekatkan dirinya dan mulai mengusap-usapkan pundakku.
"I'm not crying, weird," balasku menaikkan kepalaku menunjukkan padanya bahwa aku tidak menangis. Dia hanya tertawa tersipu malu.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku ke arah danau tepat di depanku.
"Mana mungkin aku tidak tahu," balasnya dengan tawa. Laki-laki yang sedikit aneh yang tidak pernah bisa berhenti tertawa dan tersenyum. "Kau tidak pulang? Hari semakin gelap. Bagaimana dengan obatmu?" gantinya bertanya seperti menginterogasiku. Aku hanya menggeleng tanpa sepatah katapun keluar dari dalam mulutku.
"Dasar kau ini.." lanjutnya yang kemudian kembali terdiam. Tidak ada percakapan di antara kami berdua.
"Um, kurasa aku akan kembali ke London besok. Hanya sekedar berpamitan," tawa Niall. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sakit mendengar ucapannya.
"Ka-kau serius?" tiba-tiba air mataku mulai mengalir di kedua mataku. Membasahi pipi kiri dan kananku.
"Eh-eh, ka-kau kenapa?" Niall terlihat sangat bingung ketika melihatku tiba-tiba menangis. Kugelengkan kepalaku dan mulai menghapus air mataku. Niall hanya terdiam melihatku bersikap seperti ini.
YOU ARE READING
When Asphodel Start to Bloom
FanfictionJasmin Aline Lareina, seorang gadis yang sangat menyukai One Direction. Menjadi seorang gadis biasa adalah kesehariannya. Tapi apa yang akan terjadi ketika laki-laki pujaan hatinya, Niall Horan, bertemu dengannya dan semakin lama sebuah perasaan 'an...