Niall’s POV
Aku terdiam di sini. Melihat semuanya menangis. Beberapa jam setelah Jasmin mendapat telepon dari ibunya bahwa keadaan David menurun drastis. Dokter berkata dia tidak bisa membuatnya lebih lama lagi. Ya. Lebih lama hidup.
Aku hanya bisa menahan air mataku agar tidak terjatuh. Memang, aku tidak benar-benar mengenalnya. Dia ‘sainganku’. Bisa dibilang. Tapi aku merasa sangat takut kehilangannya. Dia. Laki-laki yang pernah membuat Jasmin terus tersenyum.
“Hei, Jasmin. Aku akan pergi loh, hahaha,” ucap David dengan wajahnya yang semakin pucat.
“Berhenti! Kau tidak akan mati!” Jasmin berteriak sekencang mungkin dengan air mata terus mengalir di pipinya.
“Sungguh? Dari mana kau tahu?” lanjutnya masih dengan tawa polosnya. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan di sini. Aku tidak bisa mendekat ke sana. Masuk di antara mereka berdua.
Jasmin tidak menjawab. Hanya terus menundukkan wajahnya, menangis deras.
“Kau jangan menangis. Kau perempuan yang aku cintai tidak boleh menangis,” ucap David memegang pipi Jasmin. Dapat kurasakan bagaimana perasaan Jasmin saat ini. Tidak ingin kehilangan orang yang dia sayangi. Aku berjalan ke arah mereka dan memegang kedua pundak Jasmin berusaha menenangkannya.
“Oh iya, Niall. Aku titip pesanku padamu malam itu. Kau harus yakin pada semua perasaanmu. Kalau kau percaya pada itu semua, kau bisa dapatkan semuanya. Dapatkan semua yang hatimu inginkan. Aku tahu rasa sakit yang selalu kau dapatkan. Itu sulit. Hal tersulit untuk dilewati. Di mana orang yang kau cintai membagi hatinya pada dua orang atau bahkan sama sekali tidak membagi hatinya. Itu pikiranmu dulu. Percayalah padaku. semua yang aku katakan malam itu adalah kenyataan,” senyum David membuatku mulai menitikan air mataku.
“Untukmu, Jasmin. Aku sangat berterima kaish kau maish mengingat tanggal spesial kita berdua, hahaha,”
“Mana mungkin aku melupakannya, dasar bodoh…”
“Dan terima kasih juga hadiah yang telah kau berikan. Walaupun hanya beberapa jam aku dapat melihatnya,” lanjut David. Semuanya terdiam dalam tangisan mereka. Tidak ada sepatah katapun yang terdengar.
“Aku belum memberikan hadiahku padamu. Kau ingin tahu apa?
“Ja-jangan pikirkan hadiah! Kumohon teruslah hidup…” tangisan Jasmin semakin menjadi-jadi menanggapi setiap kalimat yang keluar dari mulut David.
“Aku akan berikan jantungku padamu. Itu berarti aku tidak akan pernah mati sebelum kau mati. Aku akan terus hidup bersamamu. Di setiap nafasmu..”
“Jangan bercanda… jantung apa… hidup apa… kau tidak akan mati! Percaya padaku!”
“Sudahlah. Itu semua takdir,” balas David. Terlihat setetes air mata jatuh dari mata kirinya. “Bisa kau kemarikan tangan kalian? Aku ingin mengucapkan sesuatu,” pinta David menjulurkan tangannya. Aku dan Jasmin memberikan kedua tangan kami padanya. Kemudian dia meletakkan tangan kami bertiga dalam satu genggaman.
“Jasmin, aku dapat melihat semuanya. Aku dapat melihat bunga-bunga asphodel itu selalu bermekaran di matamu. ‘Penyesalanku padamu sampai akhir’. Apa yang kau sesalkan? Apa yang membuatmu menyesal? Permintaanku padamu untuk yang terakhir. Buang jauh-jauh bunga-bunga asphodel yang terus berkembang itu. Buang semua penyesalan bodohmu jauh-jauh. Tidak ada yang harus kau sesali lagi,” ucap David. Jasmin terus menggangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Aku yakin. Aku yakin kalian bisa menjalani semua ini. Niall, tolong jaga Jasmin… untukku..” tangannya melepas genggamannya pada kedua tangan kami. Tidak ada lanjutan. Tidak ada suara.
YOU ARE READING
When Asphodel Start to Bloom
FanfictionJasmin Aline Lareina, seorang gadis yang sangat menyukai One Direction. Menjadi seorang gadis biasa adalah kesehariannya. Tapi apa yang akan terjadi ketika laki-laki pujaan hatinya, Niall Horan, bertemu dengannya dan semakin lama sebuah perasaan 'an...