11. Ide Aurel

1.1K 188 19
                                    

Ide yang terlintas di kepala Aurel adalah membuat produk olahan ikan. Belum spesifik memang. Karena itu, dia mengajak Nagita berdiskusi mendalam siang ini di taman perpustakaan. Suasana teduh dari kanopi alami ranting-ranting pohon menjadikan tempat ini digemari mahasiswa pemburu sinyal free Wi-Fi, seperti Aurel.

"Olahan ikan nggak terlalu istimewa sih. Udah banyak, Rel," opini Nagita setelah mendengar ide Aurel.

"Iya ya." Aurel baru menyadari kekurangan idenya. "Eh, tapi mungkin kita bisa menyasar segmen khusus. Yang penting proyek kita feasible. Bu Susi kan bilangnya gitu."

"Segmen apa ya?" Nagita mengetuk dagu dengan jari telunjuk. Gayanya kalau sedang berpikir memang seperti itu. Otaknya ada di dagu, kali.

Aurel juga ikut berpikir. "Gimana kalau kita menyasar anak-anak? Anak-anak kan susah makan ikan. Amis lah, banyak duri lah. Sementara kalau diolah jadi makanan yang agak kreatif, emaknya sering males. Jadi nanti kita bikin produk yang bisa menarik minat anak-anak makan ikan dan menjadi solusi bagi para ibu yang tidak sempat berkreasi dengan menu," usul Aurel brilian.

Wajah Nagita seketika berbinar cerah. "Wah, bisa tuh. Nanti di bagian latar belakang kita bisa kaitkan dengan program Gemar Makan Ikan yang dicanangkan pemerintah, plus kita tambahin data konsumsi ikan di Indonesia yang masih rendah," ujarnya menggebu-gebu.

Semangat Nagita menulari Aurel. Dia juga berbicara dengan nada berapi-api. "Plus, kita tambahin fakta kebutuhan gizi pada anak, yang tentunya bisa dicukupi dengan konsumsi ikan."

"Mantul!" seru Nagita. Gadis yang rambutnya dicat warna pirang itu mengangkat kedua tangan. Isyarat agar Aurel beradu tos dengannya, yang dipenuhi Aurel dengan antusias.

"Jadi kita butuh apa aja? Kita jelas harus bikin percobaan dapur, kan? Butuh konsul sama chef? Gue kenal baik sama chef-nya Cilik Pare," tawar Nagita.

Muka Aurel berubah masam, begitu nama katering milik keluarga Andika disebut. "Nggak, ih. Males banget kontak sama Kak Dika lagi? Gengsi gue."

"Ya terus siapa? Lo tahu sendiri kan kalau kemampuan kita di dapur itu mengenaskan. Bikin mie instan aja kita sering hambar gara-gara kebanyakan air."

Kenyataan yang dipaparkan Nagita memang benar. Kalau Nagita tidak bisa memasak karena terlahir di keluarga kaya, Aurel tidak bisa memasak karena dia malas membantu orangtua.

Aurel menimbang-nimbang. "Hmmm...gue agak nggak yakin sih, tapi Okan bilang dia bisa masak olahan ikan gitu."

Mata Nagita melebar sebentar, lalu dia tampak mempertimbangkan. "Ya udah. Kita lihat dulu kemampuan Okan kayak gimana."

Aurel mengangguk setuju.  "Sekarang kita bagi tugas. Gue riset dulu produk olahan ikan apa yang udah beredar di pasaran. Lo cari referensi sebanyak mungkin ke Gramedia."

"Sori banget, gue harus nganterin Mark ke airport. Doi mau pulang bentar ke Aussie. Gue aja yang riset. Lo yang ke Gramed." Tangan Nagita menjura.

"Yah, masa gue jalan sendirian, Git."

"Lo ajak Okan aja. Sekalian cari resep makanan yang kira-kira disukai anak kecil," usul Nagita. Tanpa menunggu respon Aurel, dia membuka dompet dan mengambil beberapa lembar seratus ribuan. "Buat jaga-jaga, ini lo pegang aja dulu," katanya.

***

Tadi Nagita sudah mengatakan bahwa kemampuan memasak Aurel sangat memprihatinkan, bukan? Nah, makanya, sekarang Aurel kebingungan ketika diberi tugas mencari menu makanan yang digemari anak-anak.

Anak kecil suka makan apa sih? Aurel merenung, mencoba mengingat-ingat masa kecilnya yang cukup bahagia. Dia dulu suka makan Chiki, permen kapas, cokelat, kerupuk. Dari semua makanan itu mungkin hanya kerupuk saja yang bisa di-mix-and-match dengan ikan. Nggak mungkin kan ada permen kapas rasa ikan tongkol atau cokelat rasa ikan gurami?

Cowok Gue Tukang Ikan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang