"Kamu salah, Rel. Nggak seharusnya kamu bohong tentang pekerjaan Okan."
Nasihat Primus menjadi bumbu tambahan bagi sepiring nasi goreng yang sedang Aurel santap saat sarapan pagi ini. Kebetulan nasi goreng teri itu sedikit kurang asin. Sekarang setelah mendengar ucapan sang Papi, makanan itu terasa semakin hambar.
Aurel meletakkan sendok. Selera makannya sudah hilang. Males banget pagi-pagi diceramahi. Tapi dia sendiri sih yang cari mati dengan curhat pada orangtuanya perihal kemarahan Okan malam Minggu kemarin. Padahal tujuan Aurel hanya ingin menciptakan bonding dengan papi maminya, seperti saran pakar parenting ternama, Bu Elly Risman.
"Nggak ada yang ngerti situasi Aurel," keluhnya.
"Aurel, putri semata wayangku yang ter-uwu," Soraya menimpali dengan gaya berlebihan, "yang kita cari dari laki-laki itu tanggung jawab dan kasih sayang yang tulus. Okan punya dua hal itu."
Soraya mengambil porsi tambahan nasi goreng untuk suaminya. "Teri yang buat bikin nasi goreng ini juga dikasih dari Okan. Dia itu perhatian sama keluarga kita. Coba kamu pikir, kalau bukan karena tulus sayang sama kamu, ngapain Okan menerima perjodohan ini?"
Aurel memandang malas nasi goreng di piringnya yang tinggal sesuap. Jadi setelah tempo hari memberi telur ikan, kemarin malam Okan memberi teri nasi juga? Sogokan Okan kok serba ikan-ikanan sih. Mbok ya baju atau sepatu branded gitu.
"Ya kan Aurel cantik, Mi. Cowok normal nggak akan nolak Aurel." Percaya diri Aurel memang beda tipis dengan kesombongan.
"Kamu pikir nggak ada cewek cantik yang naksir Okan. Dia itu cowok paling ganteng di pasar."
Oh, Aurel sudah tahu itu, bahkan sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana para kaum hawa pengunjung pasar merayu Okan dengan tidak tahu malu.
Primus berdeham guna melerai perdebatan antara ibu dan anak itu. Setelah keduanya memusatkan perhatian padanya, Primus berkata dengan penuh wibawa. "Kenali Okan dulu, Rel. Pasti kamu akan menemukan kebaikan-kebaikan Okan, yang lebih berharga daripada harta. Lagipula, Papi nggak pernah minta kamu untuk bersuamikan laki-laki kaya atau yang pekerjaannya mentereng. Jangan terobsesi seperti itu."
"Pokoknya kalau Aurel ngerasa nggak cocok sama Okan, Aurel nggak mau lanjutin pertunangan ini."
"Aurel!"
Aurel mendorong kursi ke belakang dan berdiri, tak mengindahkan hardikan Primus. "Udah ah, Aurel mendingan berangkat kuliah sekarang," pungkas gadis itu.
Ungkapan I hate Monday memang benar adanya. Aurel tidak menyukai hari Senin yang ini. Sebab dia memulainya dengan omelan kedua orangtua. Apa yang lebih menyebalkan dari itu? Dengan bibir mengerucut, Aurel berlenggang keluar rumah. Meraih ponsel, gadis itu memesan ojek online untuk mengantarnya ke kampus.
Jarak kampung Duren Manis dengan kampus Usama tidak terlalu jauh. Hanya satu lemparan batu. Batu raksasa, sayangnya.
Tidak sampai tiga puluh menit, driver ojol berjaket hitam-hijau sudah berhasil mengantarkan Aurel ke depan gerbang masa depan. Gerbang kampus, maksudnya. Setelah membayar, Aurel memacu langkah ke ruang perkuliahan di gedung Fakultas Ekonomi.
Begitu melongokkan kepala ke dalam ruangan, Aurel langsung disambut sapaan teman-teman sekelasnya. Nagita, Jenifer, dan Isyana sudah menunggu di baris pertama. Satu bangku kosong di antara Nagita dan Isyana tentu diperuntukkan bagi Aurel.
"Rel, gils! Cowok lo cakep banget." Syahdini yang duduk di belakang Isyana, langsung memutar tubuh dan melemparkan pujian untuk Okan begitu Aurel meletakkan bokong bulatnya di atas kursi. "Lo dapet di mana?" kejar Syahdini lagi.
Nggak mungkin dong, Aurel ngaku kalau dapat di pasar. Jadi dia hanya mengibaskan rambut dengan gaya sepongah mungkin. "Ada deh," jawabnya singkat.
"Kalau untuk dapat yang kayak Okan, gue juga rela deh ngelepas Kak Andika. Gimana ya..." Syahdini menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan berkali-kali, kayak gerakan pemanasan senam aja. "Auranya Okan itu hot banget. Macho dan seksi," lanjutnya.
Aurel sontak melotot, sementara Isyana terkikik. "Sialan lo," umpat Aurel. "Yang lo bilang hot itu cowok gue."
"Yee.... santai aja kelues. Gue cuma muji, bukan berarti gue punya niat untuk nikung. Kagak usah nyolot."
"Awas lo. Jauh-jauh dari cowok gue," hardik Aurel posesif. Lho, kok posesif sih? Padahal dia kan belum cinta sama Okan.
Celotehan seisi kelas mendadak berhenti bagaikan ada seseorang yang menekan tombol pause. Rupaya, tombol pause itu berupa sosok sang dosen. Bu Susi. Bukan Susi Pujiastuti atau Susi Susanti, apalagi Susi Similikiti. Wanita berkacamata minus delapan itu menganggap nama aslinya---Suparti Sibalaya---tidak keren dan minta dipanggil Susi. Bu Susi termasuk dosen killer di FE Usama. Tugas sulit, nilai pelit.
Setelah menyampaikan salam pembuka dan mengajak mahasiswa berdoa bersama, Bu Susi dengan dibantu Aim si ketua kelas, menyiapkan proyektor LCD. Aim menurunkan layar dan menggelapkan ruangan. Begitu kabel tersambung dengan laptop Apple milik Bu Susi, di depan kelas seketika terpampang slide show Power Point dengan judul Take Home Mid-Exam.
Seluruh kelas kembali berdengung. Kali ini degung protes. Mereka lebih menyukai ujian tengah semester dilakukan on the spot. Mengerjakan soal di kelas dengan batas waktu yang sudah ditentukan. Tugas take home pasti lebih ribet.
"Mata kuliah kita Kewirausahaan. Tidak mungkin ujian tertulis di kelas." Bu Susi seolah bisa membaca pikiran mahasiswa yang keberatan dengan bentuk ujian yang dipilih.
"Saya ingin kalian membuat proposal bisnis. Penilaian akan mencakup tiga hal. Kelayakan, keunikan produk, dan kebermanfaatan."
Otak Aurel auto berdesing nyaring. Belum apa-apa sudah pusing. Haduh, ide bisnis apa ya? Yang unik, yang bermanfaat, dan masuk akal.
"Tugas berkelompok atau individu, Bu?" tanya Vicky Prastowo sambil mengacungkan tangan.
"Berkelompok dua orang," jawab Bu Susi tegas.
"Submit kapan, Bu?" Si Luna bertanya.
"Dua bulan lagi dari sekarang. Ingat, lalukan riset dengan cermat. Pahami situasi pasar. Seberapa besar peluang produk kalian laku? Saya tidak ingin kalian menyusun bisnis plan yang asal-asalan. Anggap ini bukan tugas, melainkan bisnis yang benar-benar akan kalian lakukan."
Aurel mengeluh dalam hati. Dia tidak pernah berniat membuat bisnis. Cita-citanya sederhana: Menjadi istri pria kaya, itu saja. Dengan demikian dia tidak perlu pusing memikirkan uang.
"Dilarang mencontek. Ide yang tidak original tidak saya beri nilai." Bu Susi memberi peringatan, tatapannya tajam menyorot ke arah Aurel. Hingga gadis itu dibuat mengkerut di tempat. Dulu Aurel memang pernah ketahuan menyalin makalah, tapi nilai D yang diberikan Bu Susi sudah lebih dari cukup menjadi ganjaran. Tidak perlu lah mengungkit-ungkit masa lalu. Toh, Aurel sudah jera. Seperti yang dikatakan oleh Inul Daratista.
Masa lalu biarlah masa lalu. Jangan kau ungkit, jangan ingatkan aku.
Iya ora, Son?
"Eh, gimana? Kita gimana bagi kelompoknya?" Isyana memandang personel Dara SGM yang lainnya.
"Gue sama siapa aja oke," jawab Aurel.
"Ya udah, lo sama gue, Rel," sahut Nagita. "Isyan biar sama Jeni. Ada yang keberatan?"
Aurel, Isyana dan Jenifer menggeleng. Berpartner dengan siapa saja tak masalah bagi ketiganya. Sebab mereka sama-sama tahu bahwa tak satu pun dari mereka yang suka nebeng nama. Bertanggung jawab adalah salah satu nilai yang mereka anut bersama. Dan Aurel pun bertekad kali ini dia akan membuat Bu Susi memberinya nilai A.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Gue Tukang Ikan
Любовные романы[Komedi Absurd dan Gaje] Aurel Latuconsina punya dua kriteria calon suami, yaitu tajir dan hot. Namun, Andika Saputra, cowok tajir incarannya malah menolak Aurel dan membuatnya malu bukan kepalang. Panas hati, Aurel bersumpah bakal dapat cowok yang...