23. Happy Ending

3.1K 208 48
                                    

"Lo baper salah tempat, Rel."

Nada suara Nagita terdengar tak percaya, Aurel bisa membayangkan temannya itu sedang menggelengkan kepala dan berkacak pinggang. Mereka tengah berbicara melalui telepon dan Aurel baru saja menceritakan tentang pertemuannya dengan Okan.

"Lo nggak ngerti perasaan gue, Git. Harga diri gue udah jatuh banget di hadapan Okan. Cuma ini cara yang bisa gue lakukan untuk bisa setara dengan Okan, seandainya kami berhubungan lagi." Aurel memelankan suaranya. Jangan sampai didengar oleh ayah ibunya yang tengah menonton tivi.

"Maksud lo?"

"Gue...gue juga sayang Okan, Git.  Tapi gue ingin datang ke Okan dengan harga diri yang utuh. Bukan sebagai barang yang dibeli seharga lima puluh juta." Aurel sudah menganalisis perasaannya terhadap Okan dan, ya, dia menyimpulkan bahwa dirinya telah jatuh cinta pada lelaki itu.

"Gue yakin Okan nggak bermaksud ngebeli elo.  Dia cuma mikir praktisnya aja. Lagian nih, mana ada istri yang berutang sama suami. Kalau lo nikah sama Okan, duit dia jadi duit lo juga."

Argumen Nagita tentu didasarkan pada kelaziman yang berlaku di masyarakat. Istri otomatis memiliki hak atas harta suami. Tapi untuk kasus Aurel, mereka kan belum menikah. Ini yang menjadikan situasinya mirip-mirip kisah Siti Nurbaya yang terpaksa menikah dan dijadikan pelunasan hutang keluarganya pada Datuk Maringgih.

"Okan belum jadi suami gue dan gue juga nggak mau buru-buru menikah. Gue belum ngerasa pantas jadi istri  Okan. Gue malu, Git."

***

"Aurel, tunggu. Saya mohon dengarkan penjelasan saya dulu."

Okan buru-buru mencegat langkah Aurel yang hendak berlalu begitu gadis itu melihatnya menunggu di pelataran parkir Indurimart. Sudah pukul delapan malam, shift kerja Aurel baru saja berakhir dan digantikan oleh karyawan lain.  Nyai Haji memang sengaja mengatur agar karyawan wanita tidak pulang lebih dari pukul sembilan malam.

Melihat Okan mendekat, Aurel justru merapatkan ristleting jaket tebalnya dan menggendong tas ranselnya. Okan memperhatikan botol minum pemberiannya terselip di sisi samping tas. Satu hal yang menerbitkan senyum di bibirnya.

Aurel berhenti, tetapi wajahnya terlihat jengah. "Sebaiknya Mas jangan temui Aurel dulu, sebelum Aurel bisa bayar cicilan pertama utang Aurel."

"Ya Tuhan, kamu masih bersikeras untuk membayar?"

"Harus, Mas."

"Rel, uang bisa dicari lagi."

"Tapi cari uang itu sulit."

Mereka berdiri berhadapan. Aurel baru merasakannya sekarang, betapa beratnya mengumpulkan satu rupiah demi satu rupiah dengan bekerja keras. Kini Aurel tahu mengapa orangtuanya dan Okan selalu menasehati agar membeli barang berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Sebab, uang bukanlah sumber daya tak terbatas.

"Ya, tapi jodoh juga sulit dicari."

"Mas!"

"Rel, saya bisa menghasilkan uang lima puluh juta dalam waktu satu atau dua tahun.  Tapi saya butuh waktu tiga puluh tahun untuk ketemu kamu dan jatuh cinta."

Aurel terperanjat. Pengakuan Okan mengguncang dunianya. This is too good to be true. Bagaimana bisa pria seganteng Okan baru mengalami cinta pertama di usia tiga puluh? Sama Aurel pula? Kan Aurel jadi ge-er.

"Mas jangan modusin Aurel pakai rayuan." Aurel melengos, tapi wajahnya tetap bersemu merah.

"Jujur sama saya, Rel. Apa kamu juga mencintai saya? Saya yang cuma bekerja sebagai tukang ikan ini?" desak Okan.

Cowok Gue Tukang Ikan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang