16. Kita Udahan, ya.

1.2K 165 21
                                    

"Apa? Lo terima Kak Dika jadi cowok lo? Lo nggak waras atau gimana, Rel?"

Aurel menundukkan kepala dan menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Lengkingan suara Nagita mungkin berhasil mencapai nada enam oktaf.

"Terus Okan gimana, Rel? Lo nggak pikirin perasaan dia?" Sekarang Jennifer yang mencacinya.

"Gue... gue nggak tau, Jen," cicit Aurel. Dia tahu keputusannya untuk jadian dengan Andika memang kontroversial, tapi Aurel tidak mengira teman-teman terdekatnya akan mencaci seperti ini. Kamar Nagita dengan AC 2 pk yang biasanya menjadi basecamp ternyaman bagi Dara SGM sekarang terasa sepanas bilik toilet umum beratap seng.

"Lo nggak tahu?" Nagita murka. "Gue nggak nyangka lo bakal selingkuh begitu ditinggal Okan pulang kampung baru seminggu."

"Gue nggak selingkuh," bantah Aurel cepat. Selingkuh itu kan kalau ena-ena sama orang lain. Aurel kemarin cuma pegangan tangan doang sama Andika.

"Lo udah tunangan sama Okan tapi lo nerima perasaan cowok lain. Jatuhnya lo tetep mengkhianati Okan, Rel." Isyana yang paling kalem di antara mereka, menyimpulkan dengan tenang. Sedari tadi hanya Isyana yang tidak ikut menghujat Aurel.  Namun, walaupun diucapkan dengan tenang, kesimpulan Isyana tetap menohok.

"Gue sama Okan baru sampai tahap penjajakan. Okan bahkan nggak pernah bilang dia cinta gue, dan.... dan gue juga nggak cinta dia."

Okan sendiri yang bilang kalau mereka sejatinya masih saling mengenal, saling mencocokkan diri. Bagus kalau cocok, kalau enggak ya sudah. Selesai. Itu yang Aurel simpulkan dari ucapan Okan di malam mereka bertunangan.

Jennifer duduk di samping Aurel, sementara Nagita masih setia berdiri berkacak pinggang. "Lo masih suka Kak Dika? Setelah semua yang dia lakuin ke elo?" tanya Jennifer.

"Kak Dika udah minta maaf. Dia beliin gue barang-barang mahal untuk nunjukkin kalau dia menyesal. Nggak salah kan kalau gue kasih dia kesempatan kedua."

Menurut pemikiran Aurel, tidak mungkin lelaki seperti Andika rela mengeluarkan uang sebanyak itu jika tidak sungguh-sungguh menyesal. Okan saja tidak mau membelikan Aurel tas seharga tujuh ratus ribu. Andika hanya terlambat menyadari perasaannya. Itu wajar. Banyak orang yang seperti itu. Baru menyadari betapa seseorang itu berarti setelah yang bersangkutan pergi.

"Lo dibeli, Rel." Nagita geleng-geleng, sorot matanya masih tajam berapi-api.

Kenapa Nagita marah sekali? Bukankah jika Aurel menjadi pacar Andika, dia tidak perlu lagi meminjam barang-barang branded milik Nagita? Harusnya Nagita senang, dong.

"Kalian kenapa, sih? Dulu lo semua dukung gue jadian sama Kak Dika."

"Itu sebelum kita kenal Okan. Okan udah ngelakuin segalanya buat lo. Bantuin lo bikin tugas, jemput lo pakai Grab atau mobil sewaan, hanya karena lo gengsi naik motor butut. Lo pikir itu nggak butuh pengorbanan?" Dada Nagita sampai naik turun saking marahnya.

Isyana maju dan menyentuh pundak Nagita. Dituntunnya Nagita duduk di tepi ranjang. Belum pernah Aurel lihat Nagita seemosional ini.

"Lo cuma kebawa euforia, Rel. Coba lo renungin sekali lagi. Ini nggak adil buat Okan," saran Isyana sambil menepuk-nepuk lembut punggung Nagita.

"Gue tau apa yang gue inginkan dan itu adalah Kak Dika. Okan cuma tukang ikan di pasar. Nggak pantes buat gue." Aurel menekan dadanya setelah kalimat itu terlontar. Kenapa ada rasa sakit yang menusuk di situ?

Sorot kecewa di mata ketiga sahabatnya terpampang nyata. Jennifer menggeleng lemah dan bertanya pelan, "Lalu Okan?"

"Gue akan ngomong baik-baik sama Okan. Gue yakin Okan bisa menerima keputusan gue dengan lapang dada."

"Serah lo, deh," sergah Nagita kasar. "Lo berharap aja semoga tekanan darah bokap lo nggak naik lagi habis denger kabar ini."

***

Wajah berbinar Okan saat menyambut Aurel di rumahnya, seminggu kemudian, nyaris meruntuhkan niat Aurel untuk memutuskan hubungan.
"Aurel? Tumben ke sini. Ayo, masuk," ajak Okan. Dengan kaus rumahan bertuliskan Keep Calm and Sell Fish yang dipadukan dengan celana selutut, Okan tetap terlihat tampan. 

"Maaf, masih berantakan." Okan menyingkirkan setundun pisang susu ke pojok ruang tamu, di sebelah akuarium. Lalu kardus-kardus yang diikat dengan tali rafia dipindahkan dari kursi ke lantai.  "Biasalah, Bapak Ibu ... kalau saya pulang kampung, balik ke sini pasti dibawain macam-macam. Duduk, Rel."

Aurel duduk. Begitu Okan mengabari bahwa dia sudah kembali dari Tegal, Aurel langsung meluncur kemari. Tidak ada gunanya menunda-nunda kabar buruk. Semakin cepat dia putus dari Okan, semakin cepat hubungannya dengan Andika go public.

"Mumpung kamu ke sini, nanti sekalian saya antar kamu pulang, sekalian saya mau ngasihin oleh-oleh buat orangtuamu." Okan berkata sambil membongkar salah satu kardus bekas Indomie dan mengeluarkan sebungkus besar Kacang Bogares.

"Mas, tolong jangan begini," lirih Aurel, sambil meremas-remas ujung kemejanya.

"Begini bagaimana?" Gerakan Okan terhenti. Matanya menyipit ke arah Aurel. Bingung dengan bahasa tubuh sang tunangan yang menyiratkan kegelisahan akut.

Aurel menunduk dalam. "Maaf. Selama Mas Okan pulang kampung, Aurel udah berpikir. Merenung masak-masak dan Aurel nggak bisa lanjutin pertunangan ini. Kita udahan, ya."

"Rel? Ada apa sebenarnya?" Okan bergerak ke arah Aurel. Saat hendak menggapai bahu gadis itu, Aurel mendadak berdiri.

"Aurel suka cowok lain." Kalimat itu disambut hening. Okan membeku di tempat. Ruang tamu sempit itu hanya diisi suara detak jam. Saking lamanya menunggu respons Okan, Aurel sampai ikut menghitung dalam hati jumlah detik yang berlalu. Total sudah 43 detik, barulah Okan bersuara.

"Apa dia juga menyukaimu?"

"I-iya." Aurel mengangguk lemah.

"Oke. Semoga berbahagia."

Hah? Udah gitu doang? Aurel cepat mengangkat kepala. Okan enggak protes atau marah-marah gitu? Padahal Aurel sudah membekali diri dengan menonton tiga FTV yang bercerita tentang cowok yang diputuskan secara semena-mena. Semuanya menampilkan adegan dramatis, di mana si cowok mencak-mencak tidak terima atas keputusan sepihak si cewek. Okan kok enggak begitu?

"Mas nggak marah?"

"Marah, tidak. Lebih ke kecewa atau sedih karena tidak berhasil bikin kamu menyukai saya. Nggak apa-apa, Aurel. Jodoh memang tidak bisa dipaksakan." Okan memasang senyum ikhlas, yang justru membuat hati Aurel tercabik-cabik.

"Mas, Aurel minta maaf." Aurel melepaskan cincin dari jari manisnya dan meletakkannya di telapak tangan Okan.

Okan menerima cincin itu, lalu meletakkannya di atas meja. Lelaki itu bahkan tidak memandangi benda tersebut, seolah cincin pertunangan mereka bukanlah sesuatu yang berarti. Okan lalu bergerak ke arah dapur dan kembali dengan dua kemasan plastik berisi tahu aci.

"Bapak Ibu saya nitip tahu aci buat Bu Soraya. Nanti langsung disimpan dalam kulkas. Bisa tahan sampai tiga hari. Salam buat orangtuamu."

"Mas..." Aurel semakin merasa tak enak hati.

"Mau pulang sendiri atau saya antar?" tanya Okan sambil membungkus dua kotak tahu aci beserta Kacang Bogares dengan kantong kresek.

"Aurel pulang sendiri saja." Gini-gini Aurel juga masih punya hati. Masa udah mutusin Okan, masih minta diantar pula? Apa kata dunia?

Aurel menerima kantong kresek berisi oleh-oleh dari Okan. Tatapan pria itu masih teduh seperti biasa, seolah-olah keputusan Aurel tidak mematahkan hatinya.

"Oya, Aurel, sebaiknya kamu jangan bilang apa pun pada Pak Primus, biar saya saja yang menemui beliau dan menyampaikan kabar kita sudah putus," pesan Okan.

Seharusnya Aurel merasa lega, tetapi dia justru merasa sebaliknya. Ternyata bukan cuma rindu yang terasa berat, beban rasa bersalah pun pasti tidak akan sanggup ditanggung Dilan.


-----------

Ada yang mau ngehujat Aurel?

Cowok Gue Tukang Ikan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang