"Ivaaannn, mana Cia? Nanti terlambat, ayolah!" teriak Sasa berlari menyiapkan tas juga semua peralatan Ciana.
"Bisa sabar, ngga? Ini lagi panik!" balas Ivan berdecak dan menyisir rambut Ciana dengan cepat.
"A-aah, kenapa ini daddy?" ucap Ciana bingung dan mengusap matanya.
"Kamu lupa? Hari ini kamu sekolah." jawab Ivan merapikan rambut Ciana dan memasangkannya dasi.
Ciana mengangguk pelan. "Jadi cia sekolah ya, dad?"
Ivan mengangguk dan membenarkan pakaian gadisnya itu. Sasa berlari masuk ke kamarnya dan mengatur nafasnya.
"Cia, ini ponsel kamu. Sudah ada nomor bibi atau daddy kamu. Kalau ada apa-apa, telepon saja." ucap Sasa terengah-engah dan mengusap pelan rambut Ciana.
"Jangan dipegang! Sudah rapi!" protes Ivan berdecak dan langsung mrngangkat Ciana ke gendongan.
"Da-daddy, bisa jalan sendiri-" rewel Ciana meronta pelan.
"Nanti kamu jatuh, mending daddy gendong." jawab Ivan mengambil mantelnya dan berlari kecil turun dari lantai atas.
Ciana ke sekolah? Iya, berkat bibinya yang mengurus semuanya. Ivan terlalu sibuk jika mengurusnya sendiri. Dari semalam setelah Ciana tidur, Ivan juga Sasa sudah sibuk dengan persiapan sekolah Ciana.
"Bibi, cepat!" teriak Ivan berlari membuka pintu mobil dan mendudukkan Ciana ke dalamnya. Ia memasangkan seatbelt di pinggang gadis manis itu.
Sasa membawa tas putih untuk Ciana dan memasang heelsnya dengan terburu-buru.
"besok-besok kamu siapin sendiri, van. Bibi capek." protes Sasa memasukkan tas Ciana ke seat belakang.
"Sayang, nanti belajar yang benar, oke?" kecupan Sasa mendarat di kening Ciana.
"Tapi bibi, ini masih jam 06.37..." bantah Ciana menatap jam tangan mungilnya.
"Bukannya terlalu pagi?" jawab Ciana dengan suara yang mengecil.
"Hah?"
"Ini terlalu pagi, bodoh! Kamu kenapa udah panik sendiri tadi!" teriak Sasa frustasi dan memukul kesal bahu Ivan.
"Akh! Ini hari pertamanya! Harus perfect!"
"Perfect-perfect, kamu potong jam tidur bibi!"
"Nanti dia telat gimana? Lebih parah, kan?"
Ciana menatap Ivan dan Sasa bergantian. Ia mengusap pelan tengkuk lehernya dan menggoyangkan pelan tangan Sasa.
"Tapi ngga gini juga— apa sayang?" tanya Sasa mengecilkan intonasi suaranya dan beralih menatap Ciana dengan senyum hangatnya.
Ivan mengerutkan keningnya. Cepat sekali bibinya berubah.
"Lapar, bibi.."
Sasa menepuk pelan keningnya dan menghela nafas.
"jagain dia!" teriak Sasa berlari ke dalam rumah dan meninggalkan Ivan juga Ciana yang saling bertatapan.
"Maaf udah buat Cia kelaparan, ya?" senyum Ivan memeluk Ciana dan mengecup pipi Ciana yang duduk manis di dalam mobil.
Ciana mengangguk pelan dan tersenyum.
"Iya nggapapa daddy, salah Cia juga ngga bangun lebih pagi!" jawab Ciana bersandar di kursinya dan menggoyangkan pelan kakinya.
Ivan mengangguk dan tersenyum. Badan kokohnya bersandar di pintu mobil hitamnya lalu menatap jam tangannya yang berwarna silver itu.
"Nanti kamu pulang sekitar jam empat. Jangan kemana-mana, tunggu di depan pintu gerbang sekolah. Kalau ada apa-apa telepon daddy atau bibi, jangan ikut orang yang ngga dikenal, jangan asal percaya sa-"
"Cerewet." potong Sasa memberikan sepiring roti dengan saus stoberi ke pangkuan Ciana. Membuat gadis itu tersenyum dan memakannya secara hati-hati.
Ivan mengangkat satu roti ke tangannya dan menyerahkan piring putih bersih itu ke tangan Sasa. Ia menggigit sekali roti itu dan meletakkannya di tangan mungil Ciana.
"Minta sedikit," Ujarnya mengusap kepala Ciana dan tersenyum. Ia menutup pintu mobil dan menatap Sasa. "Ivan antar Cia dulu, nanti balik lagi ke sini baru ke kampus."
Sasa mengangguk. "Selamat belajar, tuan putri."
❏°༉⸙͎
Ivan berlari kecil membuka pintu untuk Ciana keluar. Ia merapihkan pakaian Ciana dan tersenyum.
"Daddy, apa orangnya baik-baik? Cia aman disini?" tatapnya menelan cairan salivanya.
Ivan tersenyum.
"Iya, sayangnya daddy. Mau digendong atau jalan sendiri?"
"Ja-jalan sendiri! Cia malu kalau digendong!" pekiknya jalan mendahukui Ivan, namun dibeberapa detik kemudian ia kembali mundur ke belakang punggung Ivan.
Ivan terkekeh pelan. Menatap kepala gadis mungil yang mengidap peterpan syndrome atau yang biasa disebut littlespace syndrome itu. Ivan mengusap kepalanya.
"Disini banyak orang baik. Percaya daddy, ya?" senyum Ivan mengecup pipi Ciana.
Membuat Ciana malu lalu menelan cairan saliva miliknya. Tak lama ia menganggukkan kepala.
"Ayo, kita ke ruang kepala sekolahnya dulu ya." Ivan merengkuh punggung Ciana disampingnya, sedikit mendorong untuk memaksa Ciana berjalan.
"A-aah, daddy malu-!" pekik Ciana merunduk dan berjalan lebih lambat dari sebelumnya yang sudah lambat.
Gemas, Ivan menggendong Ciana yang ada di sampingnya itu dan membawanya ke ruang kepala sekolah dengan cepat.
"Daddy! Daddy!" teriak Ciana menahan malu dan menatap orang-orang yang melihat ia dengan Ivan.
"A-apa liat-liat-?!" teriaknya mendorong-dorong bahu tegap Ivan. Membuat ayah angkatnya itu tersenyum.Ivan menurunkan Ciana tepat didepan ruangan dengan pintu berwarna cokelat itu. Ivan menoleh, menatap Ciana yang masih menunduk malu.
"Cia tunggu sini ya, duduk disini," ujar Ivan menarik satu kursi besar dengan tangannya dan mendudukkan Ciana disana.
"Duduk disini. Jangan kemana-mana." tegas Ivan menatap Ciana lalu mengusap lengan gadis cantik itu.
"I-iya daddy-!" senyumnya mengangguk walaupun Ivan masih bisa melihat rasa takut dikedua netra cokelat dihadapannya itu.
Ivan mengusap pucuk kepala Ciana lalu tersenyum.
"Tunggu disini ya,"
"Jangan kemana-mana." Ivan kembali menegaskan kalimat yang telah ia ucapkan beberapa kali.
Ciana menghela nafas lalu mengangguk. "Iya daddy-!" jawabnya mantap.
Saat Ivan masuk ke dalam ruangan dibalik pintu cokelat itu, Ciana menahan nafasnya untuk beberapa saat. Ia menoleh ke segala arah dengan kebingungan.
"Kamu?" tegur seseorang menatap Ciana tajam. Ciana menoleh dan menelan ludahnya.
"Jason?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Girl
Teen Fiction"Kamu itu, gemesin. Daddy ngga bisa gini terus, daddy bisa gila kalau kamu gemesin begini. Kamu harus janji, jangan pernah berhubungan sama laki-laki brengsek. Paham?" - Alexander Ivan Rowland. "Daddy, k...