🖤Episode 21 : Selamat Tidur

2.7K 350 129
                                    

Di dalam kamar, dengan suasana sunyi dan mendebarkan, Tae Ra terus menggerakkan tangannya, mengusap-usapkannya pada punggung Ji Hoon yang masih dipenuhi luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Di dalam kamar, dengan suasana sunyi dan mendebarkan, Tae Ra terus menggerakkan tangannya, mengusap-usapkannya pada punggung Ji Hoon yang masih dipenuhi luka. Sesekali ia meniupkan angin dari mulutnya untuk mengurangi rasa perih dari obat yang tengah ia oleskan.

"Tahan sedikit." Imbuhnya ketika tubuh Ji Hoon refleks bergerak seraya meringis.

Sedari pagi, Tae Ra sungguh sangat disibukkan dengan aktifitas mengurusi seorang Lee Ji Hoon. Dimulai dari membantu lelaki itu keramas dan membersihkan tubuhnya, tentu dengan mengelap-lap bagian badannya saja, bukan memandikannya. Tae Ra tidak segila itu.

Sebenarnya Ji Hoon pun tadi sempat menolaknya, tapi mau bagaimana lagi, bergerak bangun saja, dia sangat kesusahan. Dan kini, usai mengeringkan rambut lelaki itu menggunakan Hair Dryer, Tae Ra mengobati seluruh luka di tubuhnya dengan sangat hati-hati.

'Lukanya banyak sekali.' Batin Tae Ra.

Ada perasaan menyesakkan yang tiba-tiba menguasai hatinya. Ia tidak bisa membayangkan kalau seandainya Ji Hoon selalu melalui semua ini sendirian saat dipukuli ayahnya. Ia juga masih tak menyangka bahwa Ji Hoon, lelaki yang dibilang hidupnya sempurna itu, ternyata mengalami ini semua. Dilihat dari jumlah bekas luka di tubuhnya, Tae Ra menebak bahwa Ji Hoon mendapat pukulan itu sejak lama, mungkin saat Ji Hoon masih kecil.

Tak terasa air mata pun kembali merembes di kedua pelupuknya. Lagi-lagi Tae Ra tidak bisa menahannya. Entah apa perasaan yang sedang ia rasakan ini, apa mungkin hanya sekedar simpati? Atau perasaan lain yang lebih dari itu?

"Tae Ra?" Suara Ji Hoon menginterupsi saat menyadari wanita itu terdiam dan berhenti mengobatinya.

Tak ada respon, Ji Hoon pun perlahan memutar tubuhnya duduk menghadap wanita yang kini tengah menunduk dalam dengan air mata yang terlihat menetes ke punggung tangannya yang masih memegang sebuah kapas.

"Hei."

Tangan Ji Hoon terulur untuk mengangkat dagu Tae Ra dan mengusapnya lembut. Kedua maniknya menumbuk manik milik wanita yang kini berlinang air mata.

"Uljima (jangan menangis).." ucap Ji Hoon lembut.

Hatinya seperti teriris melihat Tae Ra yang menangis karena mengkhawatirkannya. Baru kali ini rasanya Ji Hoon dikhawatirkan oleh seseorang sampai seperti ini. Perasannya pun perlahan menghangat. Kendati mereka hanya terikat dalam hubungan sandiwara saja, tapi Ji Hoon merasa seolah Tae Ra memang kekasihnya, bahkan mungkin lebih dari itu.

Tae Ra menghembuskan napasnya pelan,

"Aku takut Ji Hoon. Aku takut jika kau mengalami hal yang lebih dari ini." Katanya terjeda karena isakan tangis yang tak bisa ditahan.

"Jangan membahayakan dirimu. Aku mohon tarik lagi tuntutan itu. Biar aku cari cara lain untuk membebaskan ayahku."

Ji Hoon terdiam. Sengaja diam. Dari semalam Tae Ra tak berhenti mengucapkan kalimat itu. 'Tolong tarik tuntutan itu'. Dia terus menatap Tae Ra seolah memberi isyarat kalau Ji Hoon sama sekali tidak akan berubah pikiran dan akan tetap mengatakan hal yang sama seperti tadi malam.

My Precious Destiny [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang