“Halo, kamu udah di rumah?” tanya May setelah sambungan teleponnya diangkat oleh Farhan.
[Hm]
May tertegun ketika sambungannya dimatikan sepihak oleh Farhan. Biasanya mereka akan bertelepon ria sampai malam dan May mulai tertidur. Tetapi, malam ini tidak dan May sudah bisa menebak jika kemarin adalah terakhir kalinya ia bertelepon ria dengan Farhan.
Air matanya tak terasa turun melihat tampakan dirinya di pantulan kaca kamarnya. Bukan tubuhnya yang terluka, tetapi hatinya. Jika paham akan berakhir seperti ini, May lebih baik menyimpan ceritanya dan tidak menceritakan pada Farhan.
May menyadari jika penyesalan selalu berada di akhir. Walaupun ia bernar-benar terpukul dan menyesal, sosok Farhan yang dulu mungkin sudah berbeda dengan yang sekarang. Ia tak mungkin bisa mengulangi momen-momen kebersamaannya dengan Farhan.
Pagi harinya, May kembali berangkat sekolah seperti biasa. Ia kali ini menaiki angkutan kota sendirian, tidak bersama Zuri. Setelah membayar ongkos, ia berjalan gontai memasuki gerbang sekolah yang mulai memudar warnanya.
Kakinya menapaki jalan setapak menuju ke kantin, ia perlu asupan sepotong brownis untuk mengembalikan mood-nya menjadi 200 persen. Ia kembali menuju ke arah kelas setelah memakan sepotong brownis di kantin.
“Hai, May. Kok mas---“
“Diem,” sergah May dan kembali berjalan.
May memasuki kelas dan menduduki bangku kosong di pojok kelas. Meski matanya nanti akan sedikit berusaha, tetapi ia akan menjauhi Farhan. Ia tak mau hatinya sakit, itu saja. Belum sempat May melupakan sosok Farhan, sang empu sudah datang dan duduk di depan May.
“Anj, lo kenapa di depan gue?” tanya May.
“Selagi ini bukan sekolah lo, bebas,” jawab Farhan dengan sombongnya.
Beberapa anak yang mendengar percakapan singkat mereka menjadi terheran. Biasanya mereka berdualah yang paling cocok dan couple goals. Tetapi sekarang? Mereka memakai kata lo-gue dan bahkan dengan pelafalan yang pedas.
“Kamu kenapa sih?” tanya Zuri tepat di telinga May. Tentu saja membuat May sedikit berjengit.
May hanya memelototkan matanya dan meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya, menyuruh Zuri untuk diam saja. Pelajaran pertama May lalui dengan mengeluh sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak? Tubuh Farhan yang tinggi seperti tiang duduk di depannya.
Saat diberi tugas, May mengerjakan dengan lancar. Sesudah ia selesai mengerjakan tugasnya, tampak hanya beberapa anak yang sudah selesai. Hal itu membuat suasana kelas menjadi sepi.
May menjadi terbayang-bayang sosok yang selalu ada untuknya. Yang konon katanya mencintai dengan sepenuh hati. Yang setiap hari membuat May tersenyum dan bahagia. Tetapi, hanya karena hal kecil yang mungkin membuat Farhan tidak suka, hubungan mereka merenggang.
Saat istirahat tiba, May mencoba untuk mengalahi pertengkaran ini. Ia mendekati kursi yang di duduki Farhan saat kelas lumayan kosong. Belum sampai tujuan, May sudah memundurkan langkah kakinya. Setelah ia menguatkan imannya, ia kembali melangkah.
“Han, aku minta maaf ya,” ucap May tulus, sangat tulus.
Dirinya memang menyesal dengan kejadian kemarin malam. Lelaki mana yang tidak cemburu saat wanitanya bertemu laki-laki lain, walau hanya dan khayalan atau mimpi. May mungkin merasakan hal yang sama apabila Farhan mengalaminya.
“Kenapa?”
“Kan aku buat salah,” ucap May dengan nada bergetar.
Ia berusaha menormalkan pernapasannya supaya air matanya tidak jatuh. Beberapa kali ia menghadap ke atas supaya air mata yang dibendungnya tidak mengalir bak hulu sungai. Ketika tak kunjung mendapat jawaban, May menunduk melihat apa yang dilakukan Farhan.
Merasa diacuhkan, May kembali ke bangkunya dengan perasaan terluka. Hari ini ia akan bertukar tempat dengan Zuri supaya tidak dekat-dekat dengan Farhan. Ia belum kuasa untuk memutuskan hubungannya dengan Farhan.
“Pindah ya,” pinta May kepada Zuri. “Makasih ya.”
Saat istirahat kedua, May tetap berada di kelas tanpa menghiraukan ajakan Zuri yang meminta dirinya untuk menemani Zuri. Ia menelungkupkan wajahnya dalam lipatan tangannya steelah Zuri pergi dengan anak lain.
May mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat ke arahnya. Ia mendongakkan kepalanya dan manik matanya beradu dengan kedua mata Farhan yang rupanya mendekatinya. May memasang muka muram dan mengembalikan posisinya.
“Mim---“
“Gue minta maaf, anj*ng!” jerit May yang masih menelungkupkan wajahnya.
Farhan tersentak mendengar umpatan yang ditujukan kepadanya. Jika ditanya, ia memang cemburu dengan lelaki yang May temui dalam mimpi. Bisa saja May lebih menyukai lelaki khayalan itu ketimbang dirinya.
Bagaimana jika suatu hari May memilih lelaki tersebut karena visual dan hatinya lebih cocok dengan selera May? Apakah dirinya akan mudah melupakan May? Atau sebaliknya?
“Dimaafkan,” ucap Farhan kemudian berlalu menjauhi May.
May mengangkat mukanya gembira, tetapi sesaat kemudian ia kembali bersedih karena Farhan meninggalkannya ke arah kantin tanpa mengajak dirinya. Yang penting sudah dimaafkan, batinnya.
Ia merasa moodnya naik seketika, ia juga menuliskan hari bahagianya ini dalam buku catatan kecil dan nanti akan dipindahnya ke buku diary. Ia seketika merasa bahagia setelah dimaafkan oleh Farhan.
“Gimana, May?” tanya Zuri saat kembali dari kantin.
“Dia udah maafin, tapi kayanya masih marah.”
Saat pulang sekolah, May mencoba meminta maaf yang kedua kalinya. Ia segera merapikan buku-bukunya dan berlari mengejar Farhan yang sudah keluar kelas. Ia menepuk bahu Farhan dan menampilkan senyum khasnya.
“Aku minta maaf ya,” ucap May tanpa memudarkan senyumnya.
“Iya,” jawab Farhan.
Tetapi, bukannya mengajak May untuk pulang bersama, Farhan malah mendahului May ke arah parkiran motor. Dada May terasa sesak seketika, setidaknya Farhan bisa berpamitan ketimbang mengacuhkan May seperti ini.Untung saja Zuri datang di waktu yang tepat, ia berusaha mengajak May ke tempat yang sepi. “Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak papa, thanks, Zu,” ucap May setelah ia menghentikan air matanya yang mengalir gara-gara perlakuan Farhan.
“Nih minum, kamu nggak bawa, ‘kan?” Zuri mengulurkan tangannya memberi May sebotol air mineral.
May menerimanya dan segera meneguk air tersebut sampai habis. Akibat perlakuan Farhan kemarin malam membuat pagi harinya kacau. Apalagi siang ini, ia benar-benar kaca setelah Farhan meninggalkannya pulang.
“Kamu mau pulang naik apa?” tanya Zuri yang masih setia menemani May.
“Dijemput Mama mungkin, kamu pulang duluan aj---“
Dering ponsel May mengejutkan mereka berdua. Tampak suatu nama kontak yang sangat dirindukan oleh May. Ia dengan senang hati menerima telepon tersebut tanpa menjauh dari Zuri.
“Halo, ada apa?” tanya May sok cool, padahal dalam hatinya berbunga-bunga.
[Udah pulang belum?]
“Belum, kenapa?”
May hampir kesurupan membayangkan reaksi Farhan saat mengerti dirinya belum pulang dan jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Bayangannya akhirnya terwujud.[Bentar, aku otw jemput]
Hari ini, May diantar pulang oleh Farhan. Tentu saja dirinya sangat bahagia. Ia tak berani menanyakan atau mengungkit masalah kemarin. Ia takut jika Farhan kembali marah dan memutuskan hubungannya.
Dua hari terakhir ini, hubungan May dan Farhan mulai membaik. Mereka sudah seperti pasangan yang sedang masa pendekatan. Masih malas dan malu untuk bertelepon. May merasa kenangannya terulang saat pertama kali ia dekat dengan Farhan.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
MaSa : DÉJÀ VU [END]
Novela JuvenilKita berada di masa yang sama. Kita berada di belahan dunia yang sama pula. Kita juga berada di alam yang sama. Tetapi, engkau sangat sulit untuk menampakkan wajah di depanku? Apakah perlu aku mencarimu? Atau aku hanya perlu menunggumu? Kita hanya p...