Part 4 (Aksa)

101 12 0
                                    

Aksa selalu memulai dirinya dengan semangkuk sereal. Meskipun ia belum mandi, ia tetap menghabiskan sarapannya terlebih dahulu. Baginya, sarapan harus didahulukan sebelum mandi. Walau dirinya jijik.

“Dek, nggak mandi?” tanya Kak Naya, kakak Aksa.

“Bentar, masih makan,” jawab Aksa tanpa mengalihkan pikiran dan penglihatannya dari semangkuk sereal di depannya.

Setelah selesai menghabiskan serealnya, Aksa menyegerakan untuk mandi. Ia terlalu jijik dengan dirinya sendiri jika tidak segera mandi. Ia memasuki kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air.

Di dalam bathub, ia membayangkan mimpinya semalam. Sebenarnya siapakah sosok May yang hadir dalam mimpinya? Apakah benar jika May akan menjadi masa depannya nanti? Mimpinya semalam membuatnya bingung tidak karuan.

Jika ditanya bagaimana paras May, Aksa dengan senang hati menjawab jika May adalah wanita yang cantik. Tubuhnya proporsional, tinggi semampai, tubuh bak biola spanyol, jangan lupa bagian dadanya.

Wajah Aksa bersemu merah ketika mengingat betapa moleknya tubuh May. Hingga ia lupa jika jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia sampai lupa jika ia harus menjemput Ratna sebelum pukul tujuh.

Aksa segera keluar kamar mandi dan memakai seragamnya tergesa-gesa. Ia segera berpamitan kepada Ibunya dan berangkat menuju rumah Ratna, calon pacarnya. Ia berusaha melupakan mimpinya semalam.

“Hai, Sa. Kamu tadi malem mimpi apa?” tanya Ratna sembari mendekati motor Aksa dan menaiki kursi belakang.

“Mm … nggak mimpi, Na,” jawab Aksa dusta. Ia terlalu takut jika ia harus bercerita kepada Ratna. Lebih baik ia memendamnya dan tidak memberitahu siapapun.

“Masa sih, Sa? Biasanya kamu mimpi terus,” celoteh Ratna.

Aksa lebih baik mengacuhkan celotehan Ratna dan memilih fokus dengan jalanan yang mulai memadat. Jika ditanggapi, Ratna malah semakin menjadi-jadi ceritanya. Dari Indonesia bisa sampai antartika.

Setelah sampai di tempat parkir, Ratna menunggu Aksa yang masih memakirkan motornya. Saat menunggu, ia sempat berpikir tentang hubungannya dengan Aksa. Mereka bukan seorang teman, kekasih juga bukan, lalu?

Saat Ratna masih melamun, Aksa sudah menghampirinya, menepuk bahunya pelan membuat Ratna sedikit berjengit. Kemudian ia menetralkan suasana dengan terkekeh riang. Inilah hal yang Aksa sukai dari Ratna, sering tertawa dan tersenyum.

Mereka berdua memasuki area sekolah dengan beriringan. Banyak pasang mata yang menyukai perilaku mereka berdua. Tetapi, tak urung juga banyak yang tidak menyukai mereka, bisa jadi disebut haters.

“Sa, masa kamu nggak mimpi?” tanya Ratna dengan suara pelan yang mungkin hanya bisa ditangkap oleh Aksa saja.

Aksa terdiam dan tampak berpikir. Ia takut jika nanti saat ia bercerita, Ratna akan marah dan memutuskan hubungan tidak jelas mereka. Padahal, ia sangat suka dan sayang kepada Ratna.

“Tapi, ada syaratnya.” Ratna dengan antusias langsung mendekat dan merapat ke tubuh Aksa, menanti syarat yang akan terlontar dari mulut Aksa.

“Nanti, di kelas,” ucap Aksa final dan menarik lengen Ratna untuk memasuki kelas yang tinggal beberapa langkah lagi.

Ratna tampak cemberut dan sok-sokan marah dengan keputusan Aksa tadi. “Gimana, Sa?”

Aksa terlihat menghembuskan nafasnya berkali-kali, sampai ia mengucapkan, “Kamu nggak boleh marah.” Ratna mengangguk dengan pasti.

“Jadi, aku kemari---“

“Saatnya pelajaran pertama dimulai.”

Ratna mengerucutkan mulutnya ketika bel masuk berbunyi dan memotong cerita Aksa. Ia sangat suka ekspresi Aksa saat menceritakan mimpinya tadi malam. Sangat lucu dan menggemaskan. Membuat mood Ratna naik menjadi 200 persen.

Dengan berat hati Ratna memalui pelajaran pertamanya demi mendengar mimpi Aksa kemarin malam. Apakah ia bermimpi tentang dirinya yang setiap hari dibayangkannya? Atau bermimpi petualangan seperti mimpi Aksa biasanya?

“Na, liat nomor 4 dong,” pinta Aksa dengan menunjukkan muka memelasnya.

Bak tersihir oleh raut muka Aksa, Ratna langung memberikan buku tugasnya tanpa basa-basi lagi. Ia memang paling mudah ditaklukkan dengan raut muka yang menggemaskan. Apalagi ditambah dengan puppy eyes.

Aksa dengan senang hati menerima buku tugas milik Ratna. Ia hanya menyalin tugas nomor empat saja, tidak lebih. Nomor yang lain hanya dipakai untuk mencocokkan saja. Apabila ada yang salah, barulah diganti. Itulah prinsip hidup Aksa, tidak perlu menyontek tetapi perlu pengarahan.

Pelajaran pertama mampu diselesaikan oleh Ratna dan Aksa. Tanpa babibu, Ratna langsung mendekat ke arah Aksa seolah benar-benar menanti cerita dari Aksa tentang mimpinya tadi malam. Aksa yang didekati tidak merasa risih sama sekali. Hanya saja, ia takut.

Belum sempat Aksa memulai ceritanya tentang mimpinya semalam, Bu Jihan, selaku guru ekonomi, sudah masuk lebih awal sebelum kelas dimulai. Padahal biasanya, Bu Jihan adalah guru dengan label terlambat paling akut. Entah terkena pellet yang mana yang menjadikan Bu Jihan datang lebih awal.

Dengan wajah yang tidak suka dan mulut yang mengerucut, Ratna kembali ke tempatnya. Mungkin, hari ini bukan waktu yang tepat untuk berbagi cerita dengan Aksa. Jika begitu, lain waktu adalah jawaban yang tepat. Atau tidak menagih Aksa bercerita.

Ratna melalui pelajaran kedua dengan muka masam. Bisa jadi ini juga akal-akalan dari Aksa supaya cerita mimpinya semalam tidak diberitahukan kepada siapapun. Jika benar begitu, Ratna akan memakluminya. Karena jika dipaksa pun, akan membuat tidak enak hati saja.

Selama pelajaran kedua, Ratna selalu diam dan tidak banyak omong. Hal itu membuat Aksa salah tingkah dan merasa mempunyai salah yang menggunung pada Ratna. Tangannya menjawil siku Ratna dan memberikan secarik kertas. Ratna menerimanya dan segera membacanya.

“Apa sih, aku nggak marah,” protes Ratna dan melempar kertas yang sudah disobek menjadi dua kepada Aksa.

Aksa mencibir seketika, “Ya kirain, maaf ya.”

Ratna tersenyum dan mengangguk. Ia tak akan menagih cerita mimpi Aksa yang mungkin sangat sensitif jika dibahas. Ia membiarkan Aksa menyimpan ceritanya daripada hal itu berujung pertengkaran.

Saat pulang sekolah, Aksa menatap aneh pada Ratna. Sedangkan Ratna yang ditatap menjadi baper dan salah tingkah. Hingga ia menjatuhkan helm yang dibawanya. “Eh, maaf.”

“Tadi aku belum jadi cerita mimpi semalem ya?” tanya Aksa.

“Eh, iya. Tapi, kalau nggak mau diceritain, nggak usah dipaksa. Sa,” usul Ratna memberi penyelesaian.

Aksa mengangguk patuh. Ia memang tidak mau mengumbar mimpinya semalam. Karena mungkin bisa membuat orang yang mendengarnya sekalipun bisa ambigu dengan makna mimpi tadi malam.

Ia segera mengantar Ratna sampai ke rumahnya. Kemudian ia melajukan motornya lagi untuk pulang dan merebahkan tubuhnya di kasurnya. Tubuhnya terlalu lelah hari ini, walau ia tidak mengikuti ekstranya.

Belum sempat ia merebahkan tubuhnya, satu pikiran yang mengganjal membuat Aksa mengurungkan niatnya. Apakah mimpi nanti malam akan sama lagi? Atau yang kemarin hanyalah kebetulan saja?

TBC

MaSa : DÉJÀ VU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang