Part 26

50 8 0
                                    

“Gue tadi nggak bisa bujuk May,” sesal Dika.

“Ya, emang gue yang salah, Dik.”

“Baru aja mau bujuk, udah diusir,” ucap Dika sambil menyeruput moccachino-nya. “Slrup.”

Aksa terdiam sejenak. Dirinya memang salah. Pikirannya terlalu gila waktu Zuri mengajaknya berpacaran. Ia benar-benar gila. Bagaimana bisa ia menduakan berlian demi sampah jalanan?

“Jangan diambil pusing, ting---“

“Jangan bilang lo mau nyuruh gue buat ninggalin May,” sela Aksa sambil memelototkan matanya. Bagai matanya mengeluarkan sinar laser yang ditujukan pada Dika.

“Tinggalin Zuri, anj.”

Mereka tampak berpikir untuk menyelesaikan masalah ini. Sungguh gila, memang. Mereka berdua disibukkan dengan masalah Aksa yang disebabkan oleh kecerobohan Aksa sendiri.

“Kenapa lo nggak langsung mutusin Zuri aja sih?!” tanya Dika mulai emosi dengan Aksa yang dari tadi menolak pendapatnya.

“Gue kasihan sama cewek, Dik. Dia juga punya perasaan,” jawab Aksa.

“Lo sih,” omel Dika. “GILA.”

Aksa membenarkan apa yang diucapkan oleh Dika. Dirinya memang sudah gila. Mengapa ia bisa mengatakan kalimat itu kemarin? Mengapa ia tidak ingat jika ia harus menjaga perasaan May?

“Em, Dik. Gimana kalau lo aja yang nyuruh Zuri?”

“Gue lama-lama jadi gila juga gara-gara lo, ngapain gue ikut camp---“

“Udahlah. Mau gak?” sela Aksa.

Dika menghela napas kemudian mengangguk. Ia ahlinya dalam membujuk seperti ini. Kecuali untuk May tadi, ia cukup gagal satu kali saja. Tidak berkali-kali. Ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.

“Kapan?” tanya Dika dan berdiri.

“Terserah lo sih.”

Setelah menyusun rencana, Aksa dan Dika berpisah. Aksa kembali ke rumahnya dan Dika menjalankan tugasnya. Aksa terlalu lemah untuk membujuk seseorang, maka dari itu ia memilih Dika untuk menggantikannya.

[Maaf ya, aku nggak bisa jemput. Aku gantiin sama temenku. Dia udah mau dateng]

Zuri mendecak sebal ketika Aksa meneleponnya untuk mengabari jika Aksa tidak bisa menjemputnya. Padahal ia akan mengajak Aksa untuk mencoba kafe yang baru saja buka kemarin.

Di lain sisi, Aksa menghela mapas lega ketika Zuri mau dijemput Dika. Ia menyempatkan untuk menelepon May hanya demi bertukar cerita di hari ini. Aksa memang sudah jatuh hati.

“Lo Dika ya?” tanya Zuri ketika Dika datang tepat di depannya.

“Iya, salam kenal ya.”

Zuri hanya mengangguk kemudian menerima uluran helm dari tangan Dika. Mukanya merengut dari tadi, membuat Dika eneg dan muak. Dika rasa, Zuri terlalu kekanak-kanakan dalam masalah percintaan seperti ini.

“Emangnya Aksa kemana?”

Dika terdiam dan berpikir, “Gue jahilin kali ya?

“Di rumah May,” jawab Dika. “Tapi nggak tahu juga, gue cuma nebak.”

Tubuh Zuri bagai tersengat listrik. Cemburu? Pasti. Tetapi, Aksa juga mempunyai tanggung jawab terhadap May. Ia tidak boleh egois. May juga memerlukan Aksa untuk berada di sampingnya.

Dika melajukan motornya ke arah kafe yang baru saja dibuka. Mata Zuri berbinar, walau tidak bersama Aksa, bersama Dika pun tak apalah. Demi mencoba isi kafe yang baru saja dibuka ini.

“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Zuri sok-sokan drama. Tetapi, tidak bisa disembunyikan jika matanya menyorotkan kebahagiaan.

Kepura-puraanmu terlalu bodoh di mataku,” batin Dika dan melenggang masuk meninggalkan berjuta pertanyaan di kepala Zuri.

Zuri masuk membuntuti Dika yang sudah duduk di salah satu bangku. Satu pelayan menghampiri mereka dan menanyakan apa yang akan dipesan. Zuri sibuk membolak-balikkan buku menu sampai ia menemukan satu menu yang baru.

Mereka berdua tampak mengobrol dan membuka diri satu sama lain. Zuri membalikkan sendoknya ketika ia sudah selesai memakan makanannya. Tampak Dika yang masih makan dengan gaya formal.

“Gue mau ngomong sesuatu sama lo,” ucap Dika ketika acara makannya selesai.

“Apaan?” tanya Zuri tanpa menatap Dika. Matanya tetap menatap ponsel yang menampilkan roomchat dengan Aksa tetapi, tidak ada balasan.

“Lo nggak ngerasa ada yang salah?” tanya Dika.

Mendengar pertanyaan Dika, otomatis Zuri mematikan ponselnya dan mengubahnya menjadi cermin. Ia beberapa kali menatap baju dan mukanya. Perasaanya tidak ada yang salah. Lalu apa yang salah?

“Bukan penampilan,” ucap Dika membuat Zuri mengernyitkan dahinya.

“Terus apaan?” tanya Zuri penasaran.

“Gue nggak bakal ngasih tau lo, lo harus nyadar,” ujar Dika. “Dan lo nggak boleh pulang sampai lo sadar apa kesalahan lo.”

Zuri tampak bingung dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Dika. Sebenarnya, apa maksud omongan Dika? Kesalahan? Ia tak pernah melakukan kesalahan. Kesalahan apa yang dimaksud Dika?

Melihat Zuri kebingungan, Dika mendecak sebal. Ia menatap jijik kepada Zuri. “Nggak tau?”

Zuri menggeleng dan menggerutu, “Apaan sih?!”

“Lo udah khianati semua orang, Ri,” ucap Dika pada akhirnya.

Mendengar ucapan Dika, tubuh Zuri bagai tersengat listrik. Ucapan Dika memang benar. Ia telah mengkhianati May. Tetapi, ia juga butuh apa yang namanya cinta. Ia tidak mau jika---

“Lo egois!” bentak Dika. “Semua yang lo penginin harus jadi milik lo tanpa mandang itu milik siapa.”

Dia bisa baca pi---

“Bisa.” Dika menghentikan pemikiran gila Zuri.

Dika benar-benar muak dengan sifat dan kedok busuk Zuri. Berbeda dengan May yang baru ditemuinya tadi, Zuri lebih egois dan menang sendiri. Tidak mau haknya dibagi dengan orang lain.

“Lo udah meretakkan hubungan May dan Aksa yang notabenenya sahabat lo sendiri,” sentak Dika.

Zuri terdiam dengan segala pemikirannya. Ia tahu jika ini salah tetapi, ia juga ingin dimanja seperti May. Ia iri dengan May. Ia cemburu dengan May. Semua May miliki tetapi, ia tidak.

“Tapi nggak gitu cara lo,” sela Dika dan memasang raut muka tidak mengenakkan.

“Terus gue har---“

“Masih tanya?” potong Dika. “Makanya punya otak dibuat mikir yang bener, bukan dibuat mikir gimana caranya ngrusak hubungan orang.”

Selepasnya Dika mengucapkan kalimat terakhir, ia berdiri menjauhi Zuri menuju meja kasir. Kafe ini adalah saksi dimana Zuri terdiam dengan segala pertanyaannya. Baru kali ini Zuri merasakan seperti ini.

Zuri hanya bisa membuntuti Dika yang sudah berjalan menuju area parkir. Memang benar, ia salah. Tetapi ...

“Sampai besok lo nggak putus sama Aksa, gue yang hancurin lo,” ancam Dika. “Bukan gue sayang sama May, enggak sama sekali. Tapi gue berusaha buat temen gue bahagia tanpa adanya pelakor kaya lo.”

Dika melajukan motornya mengantarkan Zuri ke rumahnya dan meninggalkan Zuri dengan semua kegilaannya. Dika membelokkan stirnya ke rumah Aksa. Ia hanya melapor sekaligus curhat.

“Gue jijik sama Zuri,” ucap Dika tiba-tiba ketika Aksa baru saja membuka pintu rumah.

“Untung gue yang buka pintu, kalau bukan?”

“Gue nggak jadi ngomong, mudah kan?”

MaSa : DÉJÀ VU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang