Ia berdiri di depan kaca depan sebuah cafe melihat menu minuman ukuran jumbo. Ia berdiam diri hampir lima menit. Menu ice cream ala cafe itu sedikit menarik parhatiannya hingga tak mau beranjak terlebih dahulu. Ada ice cream coklat menggoda dalam gelas biru. Senyuman terpancar.
Tak sengaja ia melihat bayangan dirinya sendiri di kaca itu. Wajahnya yang manis dengan rambut hitam legam sedikit terlapisi merah alami panjang lebat lurus sepunggung, alis tipis menaungi bola mata hitam sayu dan bulu mata jarang. Sedangkan bibirnya merah walaupun tidak seksi. Dialah Cattalina atau biasa dipanggil Lina.
Saat ia tersenyum. Itu cukup mempesona.
Tiba-tiba ia menatap bayangan seorang pria tua berdiri mengamatinya di trotoar jalan. Awalnya mata mereka saling menatap.
Cattalina ... suara memanggil, terdengar semacam desahan...
Ia menoleh. Perasaannya tidak enak saat menatap pria itu di ujung jalan. Mobil, Motor menyesaki. Jakarta...
Penjual koran, minuman beramai-ramai mendemo para pengendara. Asap menyebalkan terus mengepul dari sudut manapun.
Ia dan pria tua itu terus memandang.
Apa benar pak tua itu memandangnya?
Ia begitu yakin pak tua itu menatapnya. Diantara orang-orang sliweran tak jelas hanya beliau seorang yang terdiam tegap menghadapnya.
Beberapa menit saling memandang, pria itu akhirnya pergi.
Menghela napas. Perasaannya selalu tidak enak semenjak melihat pembunuhan sahabatnya. Kini sudah seminggu, bayangan pembunuh yang mendekapnya datang menghantui. Ia sering merasa jijik jika mengingat tangan berlapis kain hitam sang pembunuh menggerayanginya. Akan tetapi entah mengapa bola mata pria itu begitu menghipnotisnya. Apa ini yang membuat sahabatnya tunduk pula ?
Selama seminggu, om dan tantenya, tuan Irfan dan istrinya Vellia, di buat repot oleh polisi. Mereka harus meluangkan waktu lebih untuk Ia yang melihat pembunuh. Keseluruhan berarti saksi, walau di tanya ribuan kali tak menjawab. Alasannya adalah gelap malam? konyol, padahal jelas sekali wajah pria itu. Tapi memang otaknya melarang untuk bicara. Ada sesuatu yang membuat perasaannya selalu was-was jika berbicara tentang si pembunuh. Ia merasa ada yang tidak beres dengan pria malam itu. Sesuatu yang aneh, ganjil dan tidak masuk akal.
Bukankah seharusnya pembunuh itu harus membunuhnya agar identitasnya yang tanpa penutup kepala itu tidak terbongkar. Hanya ada dua kemungkinan, pertama orang itu memang bukan pembunuh profesional dan kedua dia gila. Kenapa ? karena tiba-tiba saja memanggilnya Delilah dan memeluknya. Pikirnya melayang.
Beruntung karena om Irfan sangatlah baik. Walau bagaimanapun juga beliau yang telah mengasuh dari masih balita. Orangtuanya meninggal dalam kecelakann mobil bertahun lamanya. Sekarang mereka tinggal di jalan W.R Supratman no. 77, jakarta timur.
Menghiraukan suasana luar, ia masuk ke dalam cafe tersebut.
Cafe bernama "CRESCENT MOON" ini terlihat sepi hanya ada seorang lelaki seumuran dengannya.
Lina duduk di pojok kanan, dekat kaca dan pot bunga berdaun lebar. Matanya memandang keluar jendela, namun hanya keramaian yang terlihat. Keramaian yang tidak bisa terdengar oleh telinganya. Pikirannya seolah kosong. Karena mengingat suara yang menumbuhkan bulu tengkuknya, ia menghela napas panjang dan memalingkan pandangan...
Lelaki tadi ..
Laki-laki itu langsung meliriknya melalui bola mata yang hitam bernaung alis lebat. Lalu tersenyum dengan bibir merahnya dan mengangguk. Sementara udara telah menggoyangkan helai demi helai rambutnya yang hitam berponi jarang. Tatanan rambut yang tidak memalukan karena cocok dengannya.
Seorang pelayan wanita muda mendekatinya dengan menu. "Selamat pagi, Nona. Boleh ku tulis pesanan anda?" menyerahkan menu. "Kami sarankan anda mencoba ice cream Crescent Moon kami."
Lina mengangguk dan mengembalikan menunya. "Boleh."
Sang pelayan pergi ke arah dapur.
Lelaki tadi terlihat sibuk dengan papan sket dan pensilnya. Ia hanya terdiam mengamati kerja tangannya.
Entah mengapa mata Lina seolah ditarik untuk membalas pandangan sang lelaki. Tapi setelah di tatap balik, ia menghilangkan pandangan.
Beberapa menit berlalu..
Pelayan wanita tadi datang dengan nampan berisi gelas penuh ice cream coklat. Langkah kakinya dihentikan oleh lelaki itu.
Lina curiga dengan pembicaraan mereka. Ia hanya mengamati, untuk apa wanita itu menerima papan sket milik lelaki itu? Pikirnya.
Sang pelayan mendekatinya. Gelas berisi ice cream terhidang di atas meja. Ia memberikan papan sket tadi. "Daniel memberimu ini, Nona." tersenyum. "Dia memang berbakat bukan?"
Lina melihat sketsa dirinya di atas kertas. Ia takjub dengan gambar tersebut, sangat bernilai seni, indah, goresan pesilnya pun sangat rapi, arsirannya tidak kotor, sempurna..
Ia memandang sang lelaki yang sudah berdiri dari kursinya, tersenyum padanya, lalu keluar dari cafe. Menatap sang pelayan. "Siapa dia?"
"Daniel." sahut pelayan wanita tersebut. "Pelanggan setia tempat ini."
"Daniel?" heran Lina.
Sang pelayan tertawa ringan. "Mungkin dia terpesona denganmu, Nona." nyengir. "Aneh, biasanya dia blak-blakkan jika terpesona dengan wanita."
Lina mengamati sketsa itu kembali. Lalu tersenyum..
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/236819633-288-k965563.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY SOUL [END]
Mystery / ThrillerLina dihantui oleh arwah penasaran seorang laki-laki yang mati di masa lalu. Ia adalah arwah yang ingin membalas dendam kepada siapapun. Copyright Agustus 2020