03. Berita

212 30 0
                                    

Dalam beberapa minggu terakhir banyak program tivi yang memberitakan dua hal yang sama yakni pembunuhan dan orang hilang.

Saat itu cafe 'Crescent Moon' terlihat sunyi...

Lina mendongak ke layar tivi 14' yang terpasang di dinding. Ia sangat serius. Setiap kali melihat berita pembunuhan yang muncul dalam otaknya adalah pembunuh sahabatnya. Mengapa otaknya tidak bosan memproses memori semacam ini ? padahal ia sendiri pegal mengingatnya.

"Seorang wanita diduga dibunuh dengan sebuah pisau, hal ini terbukti dengan adanya bekas luka tusukan tepat di perut korban." kata wanita pembawa berita diselingi dengan rekaman pria yang terbunuh. "Polisi mencatat setidaknya ada lima pembunuhan dalam selang waktu bulan Juni. Semua korban adalah wanita yang hendak pulang kerja. Tidak ada bekas kekerasan. Mereka murni dibunuh begitu saja. Warga dihimbau untuk tidak melewati jalan Mawar Timur No. 2 dan sekitarnya."

Lina terlalu serius. Setidaknya ia mengeraskan suara tivi, memanfaatkan jam makan siang tempat ini.

"Dibunuh di waktu yang hampir bersamaan yakni jam di atas pukul delapan malam.. Diyakini pembunuhnya adalah orang yang sama.." lanjut seorang lelaki mendekatinya. Daniel. "Senang kau juga betah di tempat ini."

Lina hanya membalas dengan senyuman. "Maaf aku lupa membawa clipboardmu. Aku tak tahu kau juga akan ada disini."

"Tak apa." sahut Daniel duduk di kursi depan Lina seraya mengulurkan tangan. "Daniel."

"Cattalina, panggil saja Lina." sambut Lina.

"Kau masih sekolah?"

Lina menggeleng. " Mungkin tahun depan aku akan kuliah."

"Berita bagus." kata Daniel tersenyum. "Aku merasa senang melihatmu, seolah ada yang berbeda, Lina. Aneh bukan? Dan aku tahu kau akan kembali kemari.."

"Kau tahu, mereka punya ice cream yang lezat." kata Lina. "Apa kau seorang seniman? Sketsamu sangat indah dan bernilai seni tinggi.."

"Aku hanyalah mahasiswa semester pertama di...." kata Daniel tertergun sesaat. "Universitas swasta di dekat sini.. Kau tahu Unikha?"

"Universitas Khanigara?" tebak Lina. "Kau mengambil jurusan seni rupa?"

"Ya, Desain Grafis." ucap Daniel mengangguk.

Lina tertegun. "Seniman memiliki jiwa yang berbeda, benarkah itu?"

"Ya terserah apa yang mereka katakan, seni tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.." kata Daniel. "Jadi kau ingin mendalami apa?"

"Mungkin sastra."

"Mungkin bukan sebuah jawaban." sahut Daniel.

"Kalau begitu jangan bertanya."

Daniel nyengir. "Berbicara saja membuatku tersenyum." menatap dalam Lina. "Itu bagus."

Karena takut dengan pandangan lelaki ini, Lina kembali terpaku pada layar televisi. "Beritanya masih sama.."

"Dan akan terus sama. Aku sampai hafal tiap kata yang mereka ucapkan."

Lina kembali dilanda dengan kecemasan. Ia menarik napas panjang. Buang...

"Saat kau menggambar sketsa itu, apa yang kau pikirkan?" tanyanya tiba-tiba. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"

Daniel terdiam memandangnya. Lalu menjawab. "Mata tidak bisa diajak kerjasama." tersenyum. "Begitulah. Mengenai apa yang aku pikirkan? Memangnya apa?"

Lina meliriknya sekilas sebelum akhirnya melihat siaran tivi lagi. "Maksudku.." cemas dengan rekaman pembunuhan yang dilihatnya. "Maksudku..."

"Aku melihat ketakutan, Cattalina.." kata Daniel khawatir.

Lina langsung menatap takut Daniel. Duduknya mulai resah, cara lelaki ini mengucapkan namanya sangat familiar. Sangat tidak asing. "Jangan memanggilku Cattalina."

"Tenanglah, kenapa kau sangat takut. Kau sangat takut, aku bisa melihatnya. Ada apa? Ada masalah? Jika karena aku melihatmu seperti kemarin, aku minta maaf. Kurasa bukan itu..." ucap Daniel khawatir dan hendak menyentuh tangan Lina. "Kau bisa cerita, ada apa?"

Seorang presenter berita bagai mengulang-ulang topik beritanya.. .. Pembunuh itu adalah pembunuh yang sama... dia sangat sempurna dalam melakukan aksinya... polisi tidak bisa mengungkap sedikitpun informasi tentang jati diri pria ini... terdapat banyak saksi.. Namun mereka satu per satu tewas dengan cara yang sama... seolah semuanya tak bisa lolos dari sang pembunuh.. Tidak bisa lolos... tidak bisa lolos... tidak bisa lolos...

Perkataan itu terus terngiang di telinga gadis itu.

"Aku harus pulang." kata Lina. "Sebaiknya memang begitu."

"Lina?" ucap Daniel seolah mampu membaca ketakutan dari raut wajah gadis ini. "Ada apa?"

"Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau merasa dekat denganku, aku benci mengatakan ini, tapi aku takut denganmu karena aku juga merasakannya, Daniel. Aku harus pergi." ujar Lina. "Entah mengapa aku takut denganmu.. Kau seperti..."

"Kenapa denganku? Kau berpikir buruk, aku tahu itu. Dan apapun itu.. Itu salah, Lin."

"Aku tidak mengerti, sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa! Jangan melihatku seperti itu.." kata Lina tak sengaja melihat keluar jendela.

Keramaian yang membuatnya tenang. Tapi ada satu sosok yang menambah kacau lubu hatinya.. Ia melihat sang pria tua misterius. Pak tua yang tempo hari memandangnya di tempat yang sama. Ia semakin curiga dengan orang itu. Napasnya kian tak teratur. Ia ingin melangkahkan kakinya namun sangat berat.

Daniel melirik pak tua itu pula. "Punya masalah dengan bapak itu, Lina?"

"Diam!" Bentak Lina ketakutan karena pandangan-pandangan tak asing yang menyelimutinya dan langsung meninggalkan tempat itu.

Daniel hanya terdiam penuh rasa penasaran.

*****

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang