04. Pria Tua Misterius

189 29 0
                                    

Memasuki minggu ketiga pada bulan november ini. Tak menyangka sudah hampir memasuki bulan terakhir dalam kalender tahun ini. Ia berharap di tahun depan semuanya akan lebih baik dan lebih cerah ketimbang hari ini.

Lina tidak mendatangi cafe Crescent Moon selama beberapa hari. Ia menenangkan diri. Tapi ia tak berani tidur karena mimpi-mimpi itu, ia tak berani sendirian karena bayangan-bayangan yang mengintarinya. Ia tak berani mengatakan apapun pada siapapun karena takut dengan pembunuh itu dan takut semua takkan percaya padanya dan menganggapnya sudah gila. Ia Cemas..

Ketika ia pergi ke sebuah toko buku dekat dengan cafe itu. Ia memilih melewati taman yang sejuk penuh dengan pepohonan rindang berdaun kecil. Ia berjalan pelan menikmati hembusan angin pagi nan segar.

"Kau Delilah." suara seorang pria di belakangnya.

Lina berbalik dan kaget. Ia mundur..

Seorang pria tua berdiri di hadapannya. Pria berpenampilan seperti bapak-bapak pada umumnya. "Ini kau.. ya Tuhan kau sangat mirip!"

"Kau.." gumam Lina langsung berlari menyusuri pepohonan.

"Tunggu, Aku hanya ingin berbicara denganmu!" seru sang pria misterius mengejarnya.

Cafe Crescent Moon terlihat terbuka dan ramai, segeralah kaki Lina menuju tempat itu. Dia tidak bisa membunuhku.. Tidak bisa... pikirnya terus berlari hingga hampir kehilangan napas ... cemas dan paranoid untuk melihat ke belakang.

Tolong... batinnya terus berteriak tapi mulutnya terus terkunci rapat... matanya kehilangan arah fokus.. Ia mulai mendapat bayangan pria pembunuh dengan jas hitam malam itu... ia merinding ketika mengingat kulit sang pembunuh menyentuh kulitnya.. Terasa sangat hangat.. Namun yang ia ingat hanyalah dinginnya es..

Ia ingin berteriak.

"Aku ingin berbicara denganmu." teriak sang pria mengikutinya.

Lina memasuki cafe itu dan membaur dengan pelanggan lain. Beberapa dari mereka heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Ia langsung duduk di dekat jendela.

Sang pria misterius berhenti di depan pintu masuk cafe. Terlihat murung. Ia melihat Lina yang berdiam diri di dekat jendela.

Lina memalingkan pandangan.

"Lina? Kenapa kau?" tanya seorang pelayan wanita mengagetkannya.

"Kau mengagetkanku, Vin." kesal Lina membelai dada.

"Kau butuh sesuatu?"

"Minuman, terserah."

"Baiklah. Kau terlihat kurang sehat." kata Vina menulis di buku kecilnya. "Tunggu sebentar." berjalan meninggalkan Lina. "Oh ya, Daniel terus mencarimu.."

"Daniel?"

"Daniel."

"Aku tidak peduli."

Vina mengangguk pelan dan pergi ke dapur.

Daniel? Pikir Lina menatap keluar jendela kembali. Terlihat sang pria misterius masih berdiri di depan pintu masuk. Masih melirik ke arahnya. Ini memuakkan.

Daniel mendekati pria itu. Lalu berbicara tenang seolah pernah kenal lama.

Sang pria melirik Lina, diikuti Daniel dengan pandangan heran.

Daniel menerima secarik kertas dan mengangguk pada sang pria tua misterius. Ia memasuki cafe sementara sang pria pergi.

Lina sadar pasti Daniel menuju arahnya. Benar saja dengan langkah pelan, lelaki itu mendekatinya. Ia sudah berdiari, bersiap untuk pergi.

"Cattalina, aku ingin bicara denganmu." pinta Daniel. "Sejak awal, pria itu selalu mengintaimu bukan? Ya, dan kau takut bukan?"

Ia mengeluarkan sebuah sobekan kertas koran dari saku celana jeansnya. Kondisinya sudah lusuh. Lalu menaruhnya di atas meja. Terlihat foto Sarah dan dirinya yang tersenyum dan sebuah topik berita. "KORBAN PEMBUNUHAN BERANTAI."

..... Korban tewas bernama Sarah (19) meninggal pada hari kamis (13/10) sekitar pukul 21.00 WIB. Seorang sahabatnya yang bernama Cattalina Halim (19) sempat menyaksikkan kejadian ini, namun mengaku tidak melihat jelas sang pelaku karena gelapnya malam kala itu....

Daniel menghela napas. "Cattalina Halim. Sekarang aku tahu mengapa kau ketakutan. Aku baru tahu kau kehilangan sahabatmu karena.. Aku bahkan merasa aneh jika.."

"Itu bukan aku." bantah Lina.

"Bukan aku?" ulang Daniel melihat foto di koran kembali. "Lucu karena ini kau."

"Kenapa kau mencampuri urusanku?" tanya Lina memicingkan mata dengan penuh ketakutan. "Apa pedulimu?"

"Kau benar apa peduliku." Sahut Daniel kesal. "Aku peduli! Entahlah, Aku hanya ingin membantumu. Kau terlihat buruk, Cattalina. Lihatlah dirimu.. Aku ikut merasakannya. Lihat Pak Hariono ingin kau tenangkan dirimu, ketakutan hanya akan membuat dirimu terjebak..."

"Pak Hariono? Orang itu? Pria itu! Kau kenal dia!"

"Tentu saja, Lina." kata Daniel. "Sekarang tidak rahasia lagi, bukan? Kau tak perlu takut. Pembunuh itu pasti tertangkap."

Lina memandang penuh misteri pada Daniel. "Pantas aku merasa aneh jika bersamamu, dan kau selalu sok kenal denganku, kau memang kenal aku, dan pria itu... sekarang aku tahu kau dan pria itu saling mengenal dan hanya ingin membunuhku. Kalian merencanakan sesuatu..."

"Lina, aku tak tahu akan separah ini." kata Daniel pelan. "Pria itu adalah kakekku. Aku juga heran dia mengenalmu.."

"Dia memanggilku Delilah!"

"Apa maksudnya itu?"

Lina membungkam mulutnya. Ia menggeleng. "Aku Cattalina." gumamnya. Ia merebut sobekkan koran tadi. Kemudian merobeknya di hadapan Daniel. "Sekarang, menjauhlah dariku! Jangan sok kenal denganku!"

"Kakekku ingin aku menjagamu..."

Lina menghiraukannya.

*****

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang