14. Sang Pembunuh

108 20 0
                                    

Tiba-tiba ponsel Lina berdering. Ia menunduk menatap layar ponselnya. Menelan ludah karena ini. Mustahil, tak ada sinyal dan yang menghubunginya adalah pemanggil rahasia.

Pemanggil rahasia? pemanggil yang selama ini mengganggunya. Ia terpaku tak ingin mengangkatnya. Lampu berkedip-kedip tak sabar.

Daniel sibuk di jok belakang. Ia mengambil sesuatu, sebuah pistol. "Kenapa tak diangkat?"

"Sesuatu yang buruk." Lina bergidik. Hembusan angin membawa dedaunan kecil terbang melintasinya. Ia melirik ada pistol. "Kau.."

"Punya kakekku." kata Daniel mengisi peluru di pistol tersebut. "Tenang. Hanya untuk berjaga-jaga."

Lina cemas. "Bagaimana jika.."

"Shhh!" desis Daniel tersenyum.

Tanpa diduga, ada suara pria pembunuh memanggil. "Delilah." suara mendekat seperti ada di belakang mereka.

Kulit Lina dingin, darahnya berdesir cepat, lengannya kaku. Matanya melebar. Ia yakin orang ini tengah berdiri di belakangnya dan tak berani untuk membayangkannya. Ia tak bisa bergerak. Mungkin tak bisa melakukanya

Ia masih mencengkeram ponselnya dengan mati rasa. "Daniel?"

Daniel terdiam pula. Ia memang mendengar desahan nama 'Delilah'. Ia yakin tak mungkin itu hanya sekedar daun yang bergesekan.

Akhirnya tanga Lina tak sanggup membawa ponselnya. Semuanya lemas dan kaku. Handphone tersebut jatuh dan drop saat mencium aspal jalan. Ia berbalik badan.

Kekagetan menguasai dirinya. Dadanya naik turun dengan napas pendek, serbuan rasa takut menyerang. Kini seulas wajah pucat nampak di hadapannya. Terlalu dekat, kira-kira semeter. Sorot mata seorang pria itu tidak bersahabat, Wajah yang pantas menjadi pembunuh.

Lina memperhatikannya. Pria itu adalah pembunuh itu, dengan pakaian jubah hitam yang itu-itu saja. Dan itu membuatnya muak. Ia mundur, mundur tak berani menatap dalam kedua bola mata si pembunuh. "Pergi kau!" suaranya pelan melawan takut.

Tapi pria berjubah hitam itu dengan cepat menyambar lengannya dan menariknya kedalam dekapan hangatnya. "Kau datang." Suara yang teramat halus nan lembut. Suara seolah kerinduan yang amat sangat. Ia mencium dahi atas Lina.

BERANI SEKALI!

Daniel berbalik. Sinar rembulan mulai terpancar menggantikan mentari. Bintang menyebar bak gula tercecer di lantai.

Pepohonan menyebarkan aura menyeramkan. Ranting mereka bagai tangan kasar yang bergoyang mencari mangsa.

"Kenapa kau memelukku!" bentak Lina mendorong tubuh pria itu. Ia terlepas.

Pembunuh itu tersenyum lebar. Senyuman tidak dapat diartikan dengan kata-kata.

Daniel langsung tergerak melindungi Lina. Ia menghadang pria itu. Sedikit cemas, tapi pistol di tangan cukup menghibur. "Jadi..".

Kedua pria itu saling memandang tajam. Pandangan itu bagai saling membenci dan musuh abadi.

Dengan sangat cepat, tangan pembunuh tersebut sudah mendarat di kerah kemeja Daniel. "Kau salah satu keluarganya."

Daniel terkejut setengah mati. Ia bahkan tak mampu melihat pergerakan tangan pembunuh itu. Ia hanya mencoba untuk tetap tenang.

Lina seolah membeku di sebelahnya. Ia tak mampu berteriak. Sudah cukup.

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang