10. Misteri Pembunuh

120 17 0
                                    

Seorang lelaki seumuran mereka datang. "Dani!" panggilnya menepuk bahu Daniel. "Brader." melirik Lina. "Siapa dia?"

Lina menoleh. "Lina."

Lelaki itu bertanya. "Siapa lagi ini?"

"Ini berbeda." ucap Daniel. Melihat ke Lina. "Lina, ini Revand. Teman seperguruan." Melirik ke sobatnya. "Rev, ini Lina."

"Kalian sangat cocok. Si cantik dan si aneh dari gua hantu! Huhuhu!" seru Revand menuding Daniel seperti melihat hantu.

"Ya." singkat Daniel tak dapat tersenyum.

"Maaf soal kematian orangtuamu."

Daniel mengangguk lemah.

Lelaki tadi menghela napas. "Aku ingin menemuimu sejak tadi, hanya saja polisi itu terus melarangku dan mereka mengawasiku seolah aku patut dicurigai. Tidakkah mereka tahu bahwa pembunuhnya pasti pembunuh yang sama."

"Tunggu, kau tahu sesuatu?" tanya Daniel.

Perhatian Lina sedikit tersita.

"Mereka menduga kuat bahwa pembunuhnya pasti pembunuh itu, memang benar. Tak usah menduga karena aku melihatnya sendiri."

Lina semakin serius mendengarkan. "Kau tahu pembunuhnya? Wajahnya? Matanya?"

"Itu dia masalahnya. Tadi aku ingin menemuimu, Brader. Kukira kau berada di rumah ini, Dani. Lalu aku melihat seorang pria berpakaian hitam semacam mantel entahlah Bro... mataku seperti berkabut saat melihatnya... tiba-tiba saja aku mengantuk seperti aku tidak bisa melihatnya.. Tidak diperbolehkan.. Langkah kakiku seolah terhenti disitu. Tak bisa melangkah lagi. Aku takut sekali ketika ia mengeluarkan sesuatu dan aku yakin itu adalah ponsel.. Tapi ketika aku penasaran ingin mendekat dan perasaanku tidak enak, dia menoleh, bayangkan menoleh. Kalian pasti menganggap aku bodoh, sudah jelas-jelas dia pembunuh kenapa aku masih berdiri tidak melarikan diri.. Aku .."

"Tunggu." potong Lina. "Bagaimana kau yakin dia pembunuh?"

"Aku sendiri tidak mengerti. Ada seperti perasaan aneh, takut ketika aku melihatnya keluar dari rumah ini." sahut lelaki itu. "Aku melihat wajahnya, tapi anehnya setelah aku pergi aku lupa dengannya.. Tidak sedikitpun ku ingat.. Hanya jubah hitam saja.. Menarik bukan? Kurasa pria itu setan."

Daniel meliriknya. "Kau mengingatnya bukan? Lina? Kau ingat dia?"

Lina tertunduk. "Tapi aku berusaha untuk tidak mengingatnya."

"Hati-hati, Bro. Kurasa pria itu punya kekuatan ghaib. Mungkin seperti di film-film pocong-pocongan itu. Dia aneh. Mungkin dia arwah penasaran."

"Aneh dalam arti yang bagaimana menurutmu?" tanya Daniel.

"Entahlah." sahut Revand.

"Percuma bicara denganmu. Sudah sana!" kata Daniel kesal.

Lina mengamatinya.

Daniel kembali mengamati koran-koran bekas yang sudah termakan usia dan sangat rapuh. Sebagian menggunakan bahasa Indonesia yang belum disempurnakan.

Lina menghela napas.

Revand mengamati mereka berdua.

Wajah Daniel sungguh pucat. Ia merasakan dadanya sesak. Ia berkali-kali menggelengkan kepala. "Aku tak percaya ini."

Lina maupun Revand tak berani mengucapkan sepatah katapun.

Seorang pria muda berpakaian polisi mendatangi mereka. "Maaf, apakah mawar ini milik saudara Daniel?" tanyanya sembari memperlihatkan setangkai mawar layu yang berlumuran darah.

Daniel memandang Lina. kemudian ke arah sahabatnya. "Dimana itu, Pak?"

"Ketika kakek anda sekarat, beliau memegang mawar ini." Jelas pak polisi. "Apakah tak ada yang..."

Daniel heran. Keluarganya sama sekali tak menyukai mawar. Mereka benci bunga yang berduri. Mengapa ada mawar yang layu di dalam rumahnya apalagi tengah dipegang oleh kakeknya. Ia sangat yakin kakeknya adalah orang yang sangat amat membenci mawar. Bahkan sang kakek sedikit emosi jika melihat mawar merah. "Mungkin itu mawar biasa, kakekku hendak membuangnya."

Lina merasa kepalanya kembali pusing. Ia merasa dekat dengan mawar itu. tapi semakin lama dipandang, mawar berdarah itu bagaikan sesuatu yang menyesakkan dadanya.

Polisi tersebut mengangguk. "Ya, mungkin demikian. Tidak mungkin sang pembunuh meninggalkan setangkai mawar layu." Lalu beranjak masuk ke dalam.

Revand mendehem. "Aku takut dengan suasana rumahmu, Bro. sebaiknya aku pulang." Pergi dengan cepat. "Sampai jumpa di kampus."

Daniel mengangguk. "Mungkin kakek mengetahui ada apa ini sebenarnya."

Lina hanya menggeleng. Mulutnya terkatup rapat.

"Ayo kita berangkat ke rumah sakit." Kata Daniel tak dapat menahan kesedihan hatinya. Begitu cepatnya ini terjadi... begitu cepat. Tapi ia harus tetap tegar karena itulah yang diajarkan orangtuanya kepadanya selama ini. Ia hanya menggeleng dan ingin berteriak sejadi-jadinya. Kenapa?

Lina tak berani berkata apapun, tapi ia membelai bahu Daniel sebagai wujud kepeduliannya.

"Ini ..." kata Daniel terpotong. "Ini bencana."

"Bersabarlah, ini bukan akhir dunia. Kehilangan memang berat, tapi itu yang terbaik di mata Tuhan."

Daniel mengangguk. "Aku tahu."

Setelah beberapa jam mereka berbicara, akhirnya berangkat ke rumah sakit permata. Rumah sakit yang lumayan jauh dari rumah Daniel. Daniel sendiri heran mengapa kakeknya harus dirawat di tempat itu, kenapa tidak di rumah sakit terdekat saja. Ini memakan waktu perjalanan yang tidak sebentar.

*****

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang