16. Ketenangan

105 20 0
                                    

Lina menggerakkan pelupuk matanya. Perlahan. Terasa berat. Perutnya masih mual ingin muntah. Samar-samar sinar mentari menghangatkannya, langit biru kelabu.

Akhirnya tersadar tengah terbaring di atas sofa coklat tua yang berderik ketika ia berpindah. Perapian kuno ala rumah barat tepat di depannya dengan nyala api sedang. Api yang berasal dari potongan kayu. Bukan kayu bakar pada umumnya. Kondisi sekitarnya kotor, penuh debu. Ia duduk, pakaiannya masih basah. Ada jendela kecil dengan kaca retak, terlihat jelas hujan mengguyur dan angin hendak menghancurkan pepohonan.

Api di perapian menguasai pupilnya. Rasanya hangat. Ia tak merasa basah lagi. Sungguh tak dapat dipercaya ia tak sadarkan diri sepanjang malam.

Ia mengamati langit-langit tempat ini. Sepertinya ini rumah, rumah kosong, rumah hantu. Banyak sarang laba-laba raksasa menempel dimana-mana. Kayu-kayu penahan d sudut ruangan hampir roboh. Lampu besar menggantung di tengah. Mengkhawatirkan karena terlihat akan jatuh. Angin yang melewati cela jendela membuatnya bergoyang mengerikan.

Serambi kotor dan tercabik-cabik di sekeliling jendela. Kebanyakan warna merah tertutup debu. Tembok di cat putih (sudah kusam) tapi banyak berubang sebagian bata hilang dan hancur di lantai. Lantainya sendiri terbuat dari kayu cendana yang halus. Ini seperti rumah cendana. Secara keseluruhan ruang ini luas, pasti ini ruang tamu. Terbukti ada pintu gaya Eropa yang kokoh di ujung sana. Pintu coklat bertabur ukiran menakjubkan sekitar 7 meter di belakang sofa tua.

Kursi-kursi tua sengaja di tumpuk tak beraturan di sudut kanan samping pintu utama. Ada kain besar putih menutupi sesuatu di sebelah tumpukkan itu.

Lina tertarik pada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang tinggi dan persegi panjang. Mungkin hanya meja, pikirnya.

Sementara itu tak ada benda lain yang cukup kuat berdiri di tengah ruangan. Semua benda hanya di timbun di sudut-sudut ruangan.

Ada beberapa pintu di samping kiri dan kanannya. Pintu kirinya tertutup rapat. Pintu satunya tampak mengayun-ayun sejak tadi. Ada seseorang di dalam, sunyi dan gelap sekali. Setiap hembusan angin datang, daun pintu tersebut bergerak mengeluarkan suara besi berkarat yang bergesekkan.

"Daniel!" panggil Lina pelan memandang kedalaman pintu itu. Tapi samar..

Suara kucing terdengar melintasi telinganya. Ia memalingkan pandangan ke berbagai arah.

"Lina?" sapa Daniel keluar dari balik pintu tadi. Jalannya sedikit menyeret. Setidaknya tak separah tadi. Pakaiannya terlihat kering.

"Dimana ini?"

"Dimana ini?" ulang Daniel duduk di samping Lina. Ia kering. "Kau ingin di rumah tadi malam, bukan? Ya disinilah kita."

Mereka memandang hangat api perapian.

Lina sedekap. "Bagaimana kau bisa masuk kesini?"

"Tidak di kunci. Kucing itu seperti menunjukkan jalan padaku."

Lina menatap kaos Daniel. "Jadi kita masih disini?"

Daniel tersenyum. "Tak apa. Nanti akan ku pikirkan cara keluar dari sini. Anehnya, jika pembunuh itu ingin membunuh kita. Kenapa dia menghilang. Tadi benar-benar sepi. Sudah ku coba memperhatikan jalan. Tak ada apapun."

"Pembunuh itu.."

Mata Daniel menyelidik. "Ya. Matanya lembut dan sadis."

Lina mulai tertekan. "Aku merasakannya. Dia disini."

"Ya." sahut Daniel datar. Dia merasa sedikit resah. Cara pembunuh itu memperlakukan Lina membuatnya muak. "Jika aku tak melihatnya beberapa jam lagi, kita harus pergi!"

"Daniel.."

Daniel memotong. "Sudahlah."

Ia melamun, pandangan keluar jendela. Pandangannya beralih ke perapian. Terasa hangat. Saat ini ia khawatir dengan kondisi kakeknya.

"Aku sangat khawatir dengan kakek." Ucapnya kemudian.

Lina mengangguk. "Aku rindu om, tante, Nia."

Tangan Daniel tengah membalik-balik ponsel mati miliknya. Ponsel itu basah, mengeluarkan air ketika ia angkat. Menyedihkan. Bagaimana caranya menelpon? ia bingung. Ia membuka chasingnya secara kasar. Tak peduli lagi. Toh, itu sudah rusak. Ia mengambil Sim cardnya.

Wajah Lina semakin pucat. Mata sayunya kini tak dapat lagi berbinar. Bibirnya terkatup rapat. "Kurasa akan keluar."

Perutnya tak bisa menahan isinya. Semuanya terdorong hingga menyumbat di dadanya. Akibatnya ia merasa sesak. Ia membelai dadanya perlahan. Dan akhirnya isi itu tak dapat tertahan lagi. Ia mencari tempat pojokan untuk memuntahkannya. Di samping perapian, tepat. Ia muntah sedikit.

Daniel terkejut. "kau tak apa?"

Lina selesai mengeluarkan isi perutnya. Matanya berat. Ia lelah. Kemudian duduk di sofa. Ia ingin sedekat mungkin dengan api hangat. Menggosokkan kedua tangannya. "Menurutmu bagaimana?"

Daniel menatap wajah pucat Lina sekilas. Lalu berpusat di kehangatan api. "Kau masuk angin." melingkarkan tangannya ke punggung Lina. Mendekapnya. "Kita harus keluar. Kondisimu akan memburuk jika berada di tempat ini."

Lina mulai hangat. "Kurasa begitu." suaranya parau dan lirih. Matanya hanya terbuka separuh. Ia merasa aman dan nyaman saat bersandar di dada Daniel. "Hantu itu akan membunuh kita.."

"Sudahlah.." sela Daniel sangat lembut.

"Aku takut."

Daniel tersenyum. "Yang kau butuhkan hanya Daniel."

Lina terdengar tertawa kecil. "Kau berpikir pembunuh itu akan masuk?"

"Ku kira kau tahu lebih banyak tentang dia ketimbang aku. Menurutku jika dia benar-benar ingin membunuh... seharusnya kita mati beberapa jam yang lalu."

"Apa yang dia inginkan? kenapa dia bisa ada di mimpiku?"

"Sulit."

"Entahlah."

Daniel mencium dahi Lina. Rambutnya berangsur-angsur kering. Ia mengelus punggungnya dengan lembut. "Katakan padaku, Mengapa aku begitu dekat denganmu."

"Kau memang dekat denganku."

"Maksudku.."

Lina memotong. "Kita mengalami semuanya berdua. Itulah sebabnya." Berdiri dari sofa. "Ayo keluar dari sini, Dani."

"Ya, kita harus ke rumah sakit. Kita harus meminta penjelasan dari kakek. Ada apa ini sebenarnya?" gumam Daniel menghembuskan napas panjang.

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang