21. Di Rumah Sakit (b)

98 20 0
                                    

Bulu leher Lina lantas berdiri. Napasnya tertahan. Semua bayangan akan sepasang kekasih yang berbahagia kembali datang. Ini sangat menyakitkannya. Ia memegangi kepalanya dan menjambak rambutnya. Ia berhenti berjalan dan ingin berteriak tapi ia merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya. Terasa sangat sakit hingga sulit bernapas. Ia merasa hantu itu telah menusuknya dengan pisau itu. Ia ingin menangis.

Daniel menoleh dengan panik. Ia memegangi tubuh Lina yang seakan ingin jatuh. "Ada apa?"

"Dadaku sakit sekali."

Lampu besar yang menerangi jalan tadi berkedip-kedip cepat sekali. Perhatian keduanya menjadi tersita. Pandangan mereka sedikit buram.

"Dia ingin membunuh kita semua." ucap Lina cemas.

Del.. suara panggilan itu makin jelas dan terdengar oleh keduanya.

Mereka menoleh ke arah lift tadi.

Sosok pria berjubah hitam tergeletak dengan darah di sekujur tubuhnya. Darah itu membasahi pakaiannya. Ia melirik Daniel dan Lina dengan senyuman yang aneh. Ia berdiri meninggalkan darah merahnya.

Daniel dan Lina mundur karena begitu jijik dengan kondisi pembunuh itu yang penuh darah.

Wajah penuh pesona pembunuh itu rusak dan penuh dengan darah. Tapi bola mata yang terkesan marah masih terlihat jelas. Ia berjalan mendekati mereka dengan langkah menyeret seolah sebelah kakinya patah. Terlihat sebuah pisau permata berlapis darah dalam genggaman tangan kanannya.

"Jangan sakiti Delilah. Kalian pembunuh." desahnya dengan tatapan marah kepada Daniel.

Lina merasa takut menjalari seluruh jiwanya. Ia menyambar lengan Daniel dan pergi ke anak tangga.

Daniel dapat menguasai ketakutannya karena rasa

keingintahuannya makna dari perkataan pembunuh itu.

"Dia ingin membunuhku." gumamnya.

Lina tak mempedulikannya. Ia berlari menaiki tangga dengan cepat.

Dalam otak Lina terlintas bayangan dimana seorang pria memegang sebuah pisau dan setangkai mawar. Pisau di sebelah kanan dan mawar di sebelah kiri. Dari pisau itu menetes darah segar. Tangan si pria mengenggamnya begitu erat menunjukkan tiap urat dalam telapak tangannya.

Lina menggelengkan kepala untuk tersadar dari seluruh bayangan aneh tersebut. Ia mengatur napasnya. Langkah kakinya semakin pelan ketika hampir berada di ujung tangga.

Lantai Lima.. pikir Daniel. "Satu lantai lagi kita sampai ke kamar kakek." katanya kemudian.

Lina menoleh ke bawah anak tangga, terlihat hanya gelap dan sunyi. "Tempat ini sunyi bagaikan makam."

Mereka berlari menuju anak tangga yang ada di ujung lorong.

Lina merasa buruk. Memang desain rumah sakit ini sama setiap lantai tapi perasaannya merasa mereka hanya berputar-putar karena mengingat kejadian malam itu. Ia meyakinkan diri bahwa ini lantai lima. Ia sedikit lega melihat nomor pada kamar pasien menunjukkan nomor 2E, 3E dan seterusnyaSekilas sebuah kabut menyelimuti anak tangga yang hendak mereka datangi.

Daniel tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Lina.

Lina mundur ketika mengetahui bola mata Daniel menjadi putih semua. "Daniel."

Daniel bagaikan tengah kerasukan. Ia melangkah dengan kaki yang terseret-seret seperti pembunuh itu. Ia mendekati Lina seraya menggumamkan nama "Delilah".

Lina menggeleng. Ia merasa tengah terkepung oleh ketakutan. Tanpa menunggu lama lagi, ia berlari ke kamar nomor 5E yang gelap gulita. Kemudian membuka dan memasukinya tanpa banyak berpikir. Ia tak dapat memikirkan apapun ketika panik.

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang