08. Sketsa

136 20 0
                                    

Daniel tengah menggambar sketsa wajah Lina yang tertidur pulas terbalut selimut putih tebal nan nyaman. Wajah gadis itu membuatnya betah untuk terus memandang.

Jemari tangannya begitu lentur dalam menggoreskan ujung pensil. Papan sket dan selembar HVS bagaikan benda seni di tangannya, sungguh indah. Ia memperhatikan setiap titik dari karakter wajah Lina. Ia menggambarnya tanpa kesulitan karena merasa mengenal karakter wajah itu. Teliti.. Sabar dalam mengarsir sisi gelap terang akibat pancaran sinar matahari yang masuk lewat jendela.

Angin pagi menggoyangkan helai demi helai rambut gadis itu.

Tidur Lina mulai tak nyaman. Perlahan ia membuka mata dan terkejut ada Daniel yang duduk di kursi dekat ranjangnya dengan membawa papan sket dan pensil, apalagi memandangnya. Namun ia teringat kejadian tadi malam.

Ia terlihat bingung hendak berkata apa. Ia bahkan memalingkan pandangan.

"Kenapa kau memalingkan pandangan?" tanya Daniel masih mengarsir gambarannya. "Maaf soal tadi malam. Aku biasanya tidak lancang, entahlah.."

Lina merebut papan sket Daniel. "Tak apa. Aku malah merasa nyaman, entahlah.."

"Kau tak berniat membuangnya lagi bukan?"

Lina menatap sketsa itu. Tersenyum, ia merasa sering sekali memandang goresan tangan bernilai seni ini. Lalu memandang Daniel. Lama...

Mereka saling memandang. Pandangan yang haus.

"Mata tak bisa diajak kerjasama." gumam Lina menunduk.

Daniel tersenyum.

Lina menghela napas. "Oke. Jadi, kau bukan anggota dari pembunuh itu? Dan..."

"Itu tidak masuk akal, jika aku berniat membunuhmu, kau sudah mati sebulan yang lalu, Cattalina." sela Daniel. "Pria tua yang selalu mengintaimu adalah kakekku, ka-kek-ku, ia ingin berbicara denganmu, dia tak mau memberitahuku tentang dirimu. Aku bingung..."

Mereka terdiam. Saling berbagi pandangan sekali lagi.

Lina resah dengan bola mata Daniel. "kan? Aku merasa aneh. Jangan memandangku, Dani."

"Kau dulu yang membuatku penasaran." sahut Daniel.

Lina tidak setuju. "Kau dulu yang membuatku resah. Tiba-tiba saja menggambar orang, kau kira itu tidak mencurigakan?"

Daniel tertawa lirih.

"Maaf, aku beranggapan buruk padamu. Aku merasa takut denganmu saat kau memasuki masalahku, aku tak tahu, tapi aku resah. Ketakutan aneh, bukan?" ucap Lina pelan. "Mungkin memang aku sudah gila. Lalu siapa kau berani mencampuri urusanku?"

"Aku masih heran. Kenapa kau bilang setiap menatapku selalu muncul ketakutan itu, pembunuh itu, memangnya aku mirip dengannya?"

"Entahlah. Aku tak ingin mengingat wajahnya. Jujur.." gumam Lina menatap wajah Daniel lama. "Aku hanya merasa sesuatu yang buruk, namun melegakan, nyaman jika memandangmu.. Buruk disini berarti.. Seolah kau mimpi buruk aku juga heran mengapa berpikiran seperti ini padahal aku tidak mengenalmu.. Mungkin sikapmu yang mencurigakan... Melegakan dan nyaman.. Bebanku ini terasa lepas.. Entahlah... Aku bingung dengan pemikiranku sendiri.. Itulah mengapa aku bertanya.. Siapa kau, Daniel?"

"Itu namanya cinta." goda Daniel nyengir.

"Berharap banget ya?" sela Lina tertawa lepas.

Nia datang membawa dua mangkuk bubur ayam. "Dua bubur spesial siap."

"Dani, aku ingin bertemu dengan kakekmu."

Daniel masih belum siap mendengarnya. "Aku mengerti jika..."

"Kau tak mau mengantarku ya sudah."

"Kalian mau kemana?" tanya Nia.

"Baiklah." singkat Daniel.

*****

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang