Mentari sudah tinggi...
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, Daniel mendapat telepon dari seseorang dan sepertinya sangat serius.
Lina hanya melihatnya. Raut wajahnya berubah penasaran dan mendekat setelah sambungan telepon putus.
Daniel terlihat terkejut dan diam. Raut wajahnya tak bisa dungkapkan dengan kata-kata. Ia menatap Lina dalam-dalam. "Entahlah.." sedih, menundukkan kepala. "Kurasa aku harus pergi."
"Dani?"
Daniel berkata. "Keluargaku.." langsung menyambar lengan Lina dan menuju mobilnya. "Ada sesuatu yang tidak beres."
"Ada apa? Jangan membuatku penasaran."
Daniel hanya terdiam.
Di dalam perjalanan, Daniel lebih banyak melamun dan terlihat sedih. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak terlalu konsentrasi dalam mengendarai mobilnya. Sepanjang perjalanan ia hanya dapat menggelengkan kepala dan begitu sedih. Tatapan matanya begitu panik. Saat ada lampu merah, ia menyeka wajahnya dan menghela napas.
Berkali-kali Lina mengajak bicara, namun Daniel membisu. Sesekali ia menoleh tapi tak mangucapkan sepatah katapun. Sehingga membuat gadis itu penasaran.
Mereka berhenti di sebuah rumah sederhana yang disekelilingnya banyak pohon besar berdaun kecil dan pohon cemara. Rumah itu terpasang garis polisi. Tentu saja banyak wartawan, warga sekitar dan polisi yang mengerubungi.
"Ada apa ini?" heran Lina.
Daniel langsung keluar mobil dan menerobos garis polisi. Ia dicegat polisi tapi berkata. "Daniel, keluarga."
Lina mengikutinya. Ia menebar senyuman pada polisi yang ada. "Jelaskan ada apa, Dani?"
Mereka berhenti di ruang tamu. Terdapat rak buku yang berantakan, buku-buku tebal bersampul hitam kusam berserakan. Kemudian terdapat tubuh bersimbah darah yang tertutup oleh kain putih tergeletak di atas sofa merah. Darahnya tercecer di lantai. Ada pula mayat yang tergeletak di lantai dan tertutupi oleh kain putih. Darah merah menembus kain itu.
Lina terkejut bukan main. "Apa.." melihat sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding. Sebuah keluarga. Ayah ibu, Daniel dan Kakeknya. "Apa.." menatap Daniel. "Yang?"
Daniel mengangguk sedih. Ia membuka kain penutup jazad yang berada di sofa. Ia melihat wajah tegas ayahnya membiru, ia menutup kain itu kembali. Tak sannggup rasanya kehilangan seorang ayah yang begitu mendidik dengan tegas. Otaknya hanya dipenuhi wajah sang ayah yang selalu mengajarinya segala hal. Bagaimana bisa kehilangan secepat ini? Ia hanya menggeleng dan menyanggah kepalanya. Begitu sedih tak terkatakan. Ia tak bisa kehilangan sang ayah.
Ia mengamati mayat di lantai. Dengan perlahan ia membuka penutup kainnya. Seorang wanita berusia 40 tahunan berambut lurus sebahu dengan wajah sedikit keriput terlihat oleh kedua matanya. Ia langsung menunduk. Kepalanya terasa berat. Dengan segera menutup kain itu kembali.
Lina tak mampu melihat semua ini karena ia sangat takut dengan mayat. Ini semua mengingatkannya pada kematian Sarah.
Seorang wanita berpakaian putih memakai sarung tangan mendekatinya. "Daniel Sebastian, kami menemukan orangtuamu sudah dalam kondisi seperti ini. Diperkirakan..."
"Bagaimana kalian bisa mengetahui ini?" sela Daniel. "Kenapa kalian terlambat menolongnya? Siapa yang melakukan ini?"
"Orangtuamu dibunuh seseorang dengan menggunakan pisau, Daniel. Seorang pria mengabarkan lewat telepon dengan pihak berwajib setempat bahwa ada pembunuhan di rumah ini. Dia mengaku sebagai tetangga kakek anda, tapi setelah dilacak, pria ini hilang tanpa jejak." kata sang wanita memungut sebuah cincin yang tergeletak di sekitar kakek Daniel. "Mengenai siapa pembunuh, kami curiga pria yang hilang ini sebagai pelaku dan diduga kuat orang yang sama dengan pembunuh yang buron selama ini. Dan mengenai Kakekmu.. dia selamat. Sekarang ada di UGD RS Permata."
Daniel lega mendengar akan hal itu. tapi hal ini tak dapat memusnahakan kesedihan yang ada dalam hatinya.
Lina mulai menunjukkan kesakitan pada dadanya. Terasa nyeri. Ia melirik Daniel yang masih serius dengan sang wanita. Suaranya tertahan dan ketika melihat darah asli tercecer yang mulai mengeras, mengental dengan warna merah tua... menijikkan... ia ingin sekali muntah... ia menggerakkan kepalanya yang kacau. Pembunuh itu...
"Dani.. Dani... aku..." katanya terputus-putus.
Daniel memeganginya. Lalu membawanya keluar. Suasana di luar sudah mulai sunyi, hanya beberapa polisi yang berjaga. Mereka duduk di kursi kayu depan.
Daniel menghela napas. "Bau darah sangat terasa." menggeleng. "Aneh."
"Dani, maaf."
"Untuk apa?"
Lina membisu. Ia mulai mendengar desahan bagai ular mendekat. Ia menoleh ke pohon cemara dan merasa telah melihat sesuatu, bayangan hitam.
"Kau tak apa?" tanya Daniel.
Lina menggeleng. "Menurutmu, kakekmu tahu apa saja tentangku? Bukankah ini aneh? Aku tidak mengenalnya, dia tidak mengenalku, tapi mengapa selalu mengintaiku dan dari pandangannya seolah ia tahu segalanya tentangku... Delilah.." katanya tertahan ketika mengucapkan nama Delilah. "Siapa dia? Apa hubungannya dengan pembunuh itu? Siapa mereka?" melirik Daniel. "Dan kau.."
"Aku tidak tahu." kata Daniel singkat. Ia benci sekali jika dilihat dengan pandangan seperti itu oleh Lina. Sangat benci. Ia hanya memalingkan pandangan. "Kakekku bukan penjahat. Aku besar bersamanya, aku tidak pernah merasa terancam bila bersamanya. Dan memang aneh jika kami bertemu denganmu dan merasa mengenalmu.. sementara kakekku seolah telah mengenalmu dan memang bukan?"
"Merasa dekat? Aneh, aneh, aneh, aneh sekali.." ucap Lina sangat tidak nyaman dengan Daniel. Perasaan ingin menjauh kembali merajai jiwanya. Ia melihat sosok sang pembunuh, hembusan napas yang menabrak kulitnya seolah mengingatkan pada seseorang. Tapi ia tidak mau dan tidak bisa mengingatnya.
Daniel menatap lama Lina. Ia mencoba memahami dirinya dan memahami apa kelebihan yang dimiliki Lina sehingga membuatnya merasa harus dekat dengan gadis ini. "Baiklah jangan membahas hal ini lagi."
Lina menghembuskan napas. Sadar! Sadar! Pintanya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY SOUL [END]
Mistério / SuspenseLina dihantui oleh arwah penasaran seorang laki-laki yang mati di masa lalu. Ia adalah arwah yang ingin membalas dendam kepada siapapun. Copyright Agustus 2020