20. Di Rumah Sakit (a)

91 17 0
                                    

 Lampu-lampu bersinar terang di sekitar rumah sakit...

Setelah memarkirkan mobil, mereka segera masuk dan seorang suster cantik datang menghampiri.

"Tuan Daniel." panggilnya. "Syukurlah cepat kemari. Kakek anda sudah siuman dan terus meminta untuk bertemu anda."

Lina menghela napas panjang. "Kurasa aku akan menanyakan banyak hal kepadanya."

Daniel mengangguk. "Terima kasih suster."

"Jam besuk sudah lewat sebenarnya tuan Daniel." Kata sang suster melihat jam dinding menunjukkan pukul 20.05 WIB.

"Kami menginap disini." ucap Daniel lantas meninggalkan suster itu dan menuju ke lift.

Lina berlari mengikutinya.

Mereka seolah dikejar waktu yang sangat singkat.

Setiap langkah mereka senantiasa terbanyangi oleh ketakutan.

Daniel menekan tombol enam. Ia menatap Lina yang cemas.

"Lin, tenanglah." pintanya. "Aku takut terjadi sesuatu pada kakek."

Lina hanya dapat mengangguk. Di otaknya terisi oleh wajah si pembunuh yang begitu mempesona. Tapi ia setan, ia meyakinkan dirinya. Mengerikan melihat wujud asli pembunuh itu yang bersimbah darah seolah baru saja jatuh dari tempat yang tinggi hingga merusak tubuhnya. Ia masih teringat mata darah, dahi yang terluka parah bagaikan terhantam benda keras dan jemari kaki yang hancur bercucuran darah segar. Itu terlihat amat nyata.

Lina tak dapat menyingkirkan ingatan itu. Hanya wajah setan itu yang mengintari otaknya, bahkan suara khasnya masih terngiang jelas.

Akan tetapi Lina seolah terbius oleh ketulusan dari semua perkataan yang ia dengar darinya. Semuanya terasa mendalam. Ia begitu ingin mengetahui siapa sebenarnya pembunuh hantu itu.

"Lina?" panggil Daniel memperhatikannya sedari tadi.

Lina membuyarkan pikirannya. Ia menatap Daniel, orang yang ia sayangi. "Dia benar-benar arwah yang gentayangan, wujud aslinya begitu menakutkan."

"Aku tahu. Dia seperti balas dendam. Tapi pada siapa? dia membunuh siapapun, kecuali kau."

"Dia mengira aku Delilah."

"Siapa Delilah? pasti kakekku mengetahui semuanya. Aku tak mengerti apa hubungan mereka tapi hantu itu membantai keluargaku tanpa sebab." ucap Daniel bernada sedih. "Dia sudah mati kenapa masih bergentayangan?"

Lina hanya terdiam. Ia mengerti kesedihan yang amat sangat pada Daniel. Melihat orangtua terbunuh adalah hal menyedihkan.

"Ada apa sebenarnya ini!" kesalnya.

Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka dengan sendirinya.

Keduanya terdiam menatap lorong kamar rumah sakit yang begitu sunyi. Semua kamar terkunci rapat seolah tak berpenghuni. Tak ada suara apapun kecuali hembusan napas hangat mereka.

Dada Lina naik turun semakin cepat. Ia merasakan kehadiran sesuatu. Ia merasakan kehadiran pembunuh itu. Tak jauh, ya seolah mereka memiliki ikatan yang teramat erat.

Beberapa menit dalam keheningan, tiba-tiba ada sesuatu yang tidak beres pada lift yang mereka tumpangi. Dengan sangat cepat lift itu goyah dan turun seolah penariknya telah putus. Lampu yang tadinya menyala langsung berkedip-kedip akan padam. Tombol-tombolnya pun menyala tak karuhan dan terdapat peringatan.

Daniel dan Lina berusaha menguasahi diri. Mereka berpegangan pada dinding lift dengan kuat. Jantung Lina berdegup kencang. Ia tak percaya akan mengalami situasi sulit kembali.

Lift itu terus turun tanpa henti.

Daniel memandangi Lina. "Tenang kurasa akan berada di lantai satu lagi."

Lampu berkedip-kedip kian cepat. Suara gesekan pada dinding lift semakin nyaring bagaikan kaca tergores pisau nan tajam.

Lina tak dapat menahan teriakan ketika lift itu berhenti mendadak dan menimbulkan bunyi tabrakan yang keras. Ia melirik tombol lift yang menunjuk ke tingkat dua.

"Aku merasakannya, Dani." ucapnya menghela napas panjang. "Ini tidak mungkin."

Daniel mulai mengontrol ketakutannya kembali. "Dia tidak disini! aku harus bertemu kakek." gelisah dengan keadaan kakeknya. Ia begitu takut kehilangan sang kakek. "Itu karena kau terlalu memikirkannya. Kita tidak di jalan terkutuk, Lin."

Keduanya keluar lift dengan langkah yang begitu berat dan pelan.

Suasana di tingkat empat ini sangat sunyi. Tangga darurat untuk turun pun terlihat amat gelap. Mereka menatap ke ujung lorong, sebuah anak tangga manual untuk ke atas.

Mereka melangkah cepat melewati satu demi satu kamar pasien yang sunyi. Lina menatap satu per satu kamar kelas melati yang bernomor 2D, 3D dan seterusnya. Ia begitu ngeri dengan rumah sakit itu hingga terbayang dalam otaknya bahwa kamar-kamar pasien mirip dengan penjara bawah tanah yang penuh kejahatan. Ia mendongak ke arah lampu besar yang menerangi tempatnya berjalan, lampu besar itu bergoyang bagaikan terhembus angin kencang.

"Daniel." panggilnya.

"Apa?"

"Dimana orang-orang?"

"Lina sekarang sudah malam, Tak ada yang menjenguk pada malam seperti ini."

"Tidak ini aneh, suasana ini aku rasakan ketika semua orang di sekitar rumahku menghilang. Ini tanda kedatangnya, Dani."

Delilah. . suara panggilan itu berdengung di telinga Lina.

LONELY SOUL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang