Untuk Anita
• Lembar Empat - Pin Barcode •Mentari mulai menggelincir ke peraduan, membuat nabastala dibanjiri dengan cahaya jingga yang perlahan semakin menyatu dengan hitam.
Anita baru saja selesai menutup kembali gerbang rumahnya dan berbalik, kemudian matanya menangkap sosok wanita yang sedang bersedekap di ambang pintu masuk. Bolehkah Anita merasa bahwa kepulangannya sedang dinantikan?
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?!"
Ya ... memang bukan sambutan yang baik, tapi ini adalah pertama kalinya sang mama berdiri di ambang pintu seolah menanti kehadirannya.
"Mama menungguku?"
Ayudia berdecih. "Apa kamu bilang? Menunggumu? Percaya diri sekali, mana mungkin saya melakukannya."
Anita tersenyum tipis, sudah menduga bahwa jawaban seperti itulah yang akan keluar dari bibir mamanya.
"Ya sudah, Anita masuk dulu kalau begitu."
Tanpa menyahuti perkataan putrinya, wanita berambut hitam yang digelung itu memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Enggak apa-apa, itu tandanya mama khawatir. Kamu enggak perlu sakit hati, Anita." Seraya mengelus dada, Anita melangkah masuk.
🍁🍁🍁
Usai melakukan rangkaian rutinitas yang biasa dilakukannya sepulang sekolah, Anita langsung merebahkan diri di kasur. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada langit-langit kamar.
Rasanya benar-benar aneh. Ketika ia tinggal di sebuah rumah yang mana berisi anggota keluarganya, tapi tak satu pun dari mereka yang bersikap seolah ia ada di antaranya. Rasanya aneh.
Kecewa? Tentu saja. Akan tetapi Anita tak mau menuntut, sebab memang dia lah yang salah. Ia tak bisa menjadi sepintar Vina, juga tidak bisa menjadi yang selalu dapat diandalkan seperti kakaknya itu.
Tok. Tok. Tok.
Anita mengangkat kepalanya dan menatap pada pintu kamar yang perlahan terbuka.
"Makan malamnya, non."
Ah, ternyata Bi Ine. Wanita paruh baya yang sudah mengabdi pada keluarga Abercio sejak belasan tahun lalu itu berjalan mendekat dengan nampan di tangan, kemudian berhenti tepat di samping tempat tidur Anita. "Mau non makan langsung atau diletakkan di meja dulu?" tanyanya.
"Taruh di meja dulu bi, nanti saja Anita makan."
Bi Ine menganggukkan kepala sambil tersenyum, lalu berjalan ke meja belajar dan meletakkan nampannya di sana.
"Non Anita, segera dimakan ya. Supaya tidak sakit."
Anita mengerjap beberapa kali, kemudian membalas kalimat Bi Ine dengan senyuman tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Teen FictionBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...