Untuk Anita
• Lembar Dua Puluh Satu - Tragedi •Karena hari ini hari Minggu, Anita merasa sangat santai. Gadis itu berguling manja di balik selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya, hanya kepala saja yang menyembul. Ditambah dengan suasana yang dingin, Anita semakin merasa enggan meninggalkan tempat tidur.
Namun, niatnya untuk kembali tidur harus urung ketika pintu kamarnya terdengar dibuka. Gadis itu buru-buru menyibakkan selimut dan bangkit duduk sembari menunggu seseorang dari balik pintu muncul.
"Wah ... ternyata aku enggak mendapatkan sambutan yang bagus."
Ketika tahu bahwa yang berkunjung ke kamarnya pagi-pagi adalah Vina, Anita memutar bola mata jengah. "Ada yang mau disampaikan? Aku masih mau tidur lagi," katanya dengan nada bicara yang dibuat-buat supaya sang Kakak tersinggung.
Alih-alih menanggapi ucapan Adiknya, Vina justru semakin mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Anita tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari gadis itu. "Bagaimana rasanya menjadi the golden talent? Senang ya karena akhirnya bisa mendapatkan sekotak pizza dari Papa?"
Anita mengernyit. Dari mana Vina tahu jika Abercio kemarin memberinya pizza? Padahal ia tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. "Bukan urusan Kakak kayaknya." Ia beranjak dari tempat tidur dan menuju ke balkon kamar.
Karena enggan merasa diabaikan begitu saja, Vina menyusul Anita. Gadis itu berdiri di samping adiknya dengan senyum miring yang tidak pernah pudar. "Untuk pertama kalinya, aku ucapkan selamat atas keberhasilan kamu. Hebat ya, dalam satu malam ... Papa langsung jadi baik sama kamu," lirihnya.
"Daripada pura-pura baik seperti ini, mending Kakak keluar dari kamar aku terus sarapan sama Mama dan Papa. Aku lagi enggak mau dengar apa pun yang bisa menghancurkan mood setelah kemarin merasa senang." Anita berujar tanpa memperhatikan Vina yang berada di sebelahnya.
Baginya, lebih baik sendiri. Karena sejak awal ia hanya berteman dengan sepi, tidak dengan sosok Vina. Kakak yang sama sekali tak bisa disebut saudara kandung karena sikapnya. Anita hanya tidak ingin mendapatkan luka apabila suatu hari nanti dikhianati. Mana mungkin Vina tiba-tiba berbaik hati padanya? Mustahil sekali.
"Anita?"
Suara panggilan itu membuat dua gadis yang berada di balkon spontan berbalik badan. Keduanya bersitatap dengan sosok Abercio yang sudah rapi dengan setelan kerja.
"Kenapa masih di sini? Ayo turun, kita sarapan bersama." Kemudian, laki-laki paruh baya itu sedikit terkejut ketika menyadari bahwa ada Vina di sana. "Kamu juga," sambungnya tak bernada.
Vina menelan ludah di tempatnya. Akankah secepat ini ia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya? Tidak, tidak. Ia belum siap. "Vina ke sini karena mau ajak Anita turun buat makan bareng kok, Pa."
"Anita belum mandi, Pa. Mungkin Papa sama yang lainnya sarapan dulu saja, nanti Anita menyusul." Seolah Vina tak pernah mengatakan apa pun, Anita mengambil suara untuk menyita perhatian Abercio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Novela JuvenilBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...