Untuk Anita
• Lembar Dua Puluh Tiga - Saka Lagi •Sebelum mentari menampakkan dirinya, Anita sudah lebih dulu terjaga dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Gadis itu tidak berhenti tersenyum ketika mengingat bagaimana hari kemarin berjalan dengan sangat membahagiakan. Andaikan saja sudah sejak dahulu begini, ia akan sangat-sangat senang. Namun, bukan berarti dia tidak mensyukuri semuanya. Dia sudah cukup bahagia dengan semua ini. Meski sosok Brahma tidak bisa menjadi saksi hidup atas keberhasilannya.
Setelah mengeringkan rambutnya yang basah, Anita beranjak menuju ke atas tempat tidur dan menyalakan gawai miliknya. Entahlah, akhir-akhir ini ia menjadi sering membuka benda itu dan aktif di beberapa sosial media yang ia punya. Mungkin karena ada seseorang yang mengirim pesan dan wajib dibalas. Persis seperti dugaannya, Anita tersenyum tatkala mendapati sebuah notifikasi pesan dari nomor seseorang.
Bima :
An, sudah bangun belum? Kalau sudah, telepon aku ya. Takutnya kalau aku dulu yang telepon, kamu masih tidur.
05.49.Seulas senyum tampak menghiasi wajah tirus Anita. Gadis itu menggerakkan jemarinya untuk mengetikkan pesan balasan pada Bima.
Anda :
Sudah, barusan selesai mandi.
06.05.Setelahnya, ia menggigit bibir bawah bimbang. Haruskah ia menelepon Bima duluan? Sebenarnya memang bukan hal yang buruk atau susah, hanya saja ini adalah pertama kalinya. Setelah sekian lama berkencan dengan tugas-tugas, materi pelajaran, dan hal-hal lain terkait sekolah, sekarang ada seseorang yang mengambil sedikit waktunya untuk kemudian mengurangi jatah belajarnya sedikit.
Namun, lamunan Anita harus buyar begitu saja ketika suara dering telepon terdengar dari speaker gawai miliknya. Gadis itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya sadar bahwa itu adalah nomor Bima. Bukankah laki-laki itu tadi menyuruhnya menelepon duluan? Tapi tak perlu dipikir, ini justru memudahkannya.
"Halo, An. Aku tunggu enggak ada motif juga, kamu lagi ngapain?"
Suara Bima langsung menerobos gendang telinga Anita ketika ia memutuskan untuk mengangkat telepon. Ia tersenyum tipis. "Ng, cuma lagi siap-siap. Ada apa kamu telepon pagi-pagi?"
"Enggak ada apa-apa sih, hanya ingin dengar suara kamu. Sekalian menawarkan, mau berangkat bareng atau enggak." Tawa pelan menyusul setelahnya.
Anita tampak menggigit bibir, menimang keputusan apakah berangkat sekolah dengan Bima adalah pilihan yang tepat. "Kayaknya enggak perlu, Bim. Aku bisa berangkat sendiri sama supir, lagi pula rumah kamu kan jauh. Daripada jemput aku, kamu bisa datang tepat waktu di sekolah," putusnya pada akhirnya.
"Yah ...." Bima menghela napas kecewa di seberang sana. "Kamu enggak perlu khawatir, An. Aku bisa jalan dari rumah sekarang supaya kita enggak terlambat, bagaimana? Mau ya?" Terkesan sedikit memaksa.
Anita bingung sendiri. Jika menolak, ia takut menyinggung perasaan Bima. Tapi jika menerima, ia tidak yakin akan tiba di sekolah tanpa terlambat. Mengingat betapa jauhnya jarak antara rumahnya dengan rumah laki-laki itu. Tapi Bima bilang akan berangkat lebih awal, maka seharusnya tidak masalah.
"Yakin mau berangkat dari rumah sekarang?" tanya Anita sekadar memastikan.
"Iya, An. Aku juga sudah siap berangkat kok, tinggal meluncur saja. Jadi ... aku jemput ya ini?"
Anita menarik napas. "Iya, enggak apa-apa. Tapi jangan lama-lama ya Bim, aku sungguhan enggak mau terlambat."
Setelah sambungan telepon terputus, Anita bangkit dari rebahan dan duduk di tepi tempat tidurnya sembari termenung. Dalam hati terus berharap, semoga Bima tidak membuatnya terlambat nanti. Namun, lagi-lagi konsentrasinya harus dipecahkan dengan suara gagang pintu kamar yang diputar dari luar.
"Mama kira belum bangun." Ayudia berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Anita yang setengah terkejut karena mendapati dirinya berada di sana sepagi ini.
Anita tersenyum kikuk. "Sudah, Ma," sahutnya pelan.
Ayudia mengangguk, bergerak mengambil tempat di samping Anita. Kini keduanya sama-sama duduk di tepi tempat tidur. Anita memandang sang Mama, sementara Ayudia menatap lurus ke depan.
🍁🍁🍁
Anita berjalan berdampingan dengan Senjana menuju ke kantin. Sebenarnya ia enggan pergi ke sana lantaran ingin segera memenuhi Pak Herman dan menyerahkan tugasnya, tapi Anita tidak ingin kejadian seperti tempo hari terulang kembali. Cukup sekali saja dia bertengkar dengan Senjana, tidak untuk kedua kalinya.
"Dinta!"
Mendengar panggilan itu, langkah Anita dan Senjana seketika berhenti. Tanpa berbalik, keduanya sudah tahu pasti suara itu milik siapa. Beberapa detik kemudian, sosok Saka berdiri di hadapan mereka dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
"Selamat siang, Dinta dan temannya," sapa Saka sembari menaikturunkan kedua alisnya.
Senjana melirik ekspresi Anita melalui ekor mata, lalu langsung mengerti bahwa temannya itu merasa tidak nyaman. Ternyata kedatangan Saka benar-benar memperburuk mood Anita. Padahal saat diajak ke kantin tadi, Anita masih biasa saja.
"Minggir." Anita berujar dingin sembari bersiap melalui Saka. Namun, laki-laki justru mencekal ujung makalah yang berada di dekapannya. Tentu saja Anita enggan menerima risiko jika makalah itu kembali dirusak Saka seperti tempo hari, gadis itu bergerak mundur untuk menjauh dari Saka.
"Jauh-jauh dari pacar saya!"
Krak!
Kedua bola mata Anita melebar sempurna, emosinya benar-benar muncul ke permukaan ketika makalah dalam dekapannya tersobek. Memang tidak semuanya, tapi ia tidak mungkin menyerahkan makalah itu pada Pak Herman dengan keadaan sobek.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Ka!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Novela JuvenilBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...