Untuk Anita
• Lembar Sepuluh - Secercah Harap •Tidak ada rasa paling buruk, paling kecewa, paling sakit, dan paling menyedihkan daripada saat kehilangan orang tersayang. Anita berada di ambang batas kepedihan, seorang diri meratapi perpisahan abadi yang merenggut Brahma darinya.
Ia tak akan bisa lagi berkunjung kala senggang, sebab Sang kakek telah pergi ke dunia yang tak dapat ia gapai. Kemudian yang lebih menyakitkan adalah ... ia tak diberi kesempatan untuk mengantar Brahma ke tempat peristirahatan terakhir.
Ketika semua orang menangis sesenggukan sembari memandangi jasad Brahma, Anita tak bisa. Ia hanya menatap kosong pada langit malam di balkon kamar, samar-samar mendengar suara sesenggukan dari lantai bawah.
"Kalau kakek pergi, Anita harus merayakan ulang tahun kali ini dengan siapa? Anita mau kakek meniupkan lilinnya sementara Anita mengucapkan harapan, Anita mau kakek ada di samping Anita sekarang. Tapi kenapa kakek malah pergi sejauh itu?" Satu bulir air mata jatuh ke pipinya, turun dan terus menyusuri hingga jatuh ke lantai.
Ini adalah ulang tahun terburuk dari tahun-tahun lalu. Jika sebelumnya Anita merasa tak keberatan tanpa kehadiran dan kejutan dari kedua orangtuanya, Semarang ia merasa tak mampu menerima kenyataan. Bahwa di ulang tahunnya sejak tahun ini, tak akan ia dapati lagi sosok Brahma yang menemani.
"An?"
Anita mengerjap beberapa kali, kemudian menoleh ke belakang. "Bima? Kenapa bisa di sini?" Ia buru-buru menepis air mata yang tersisa di pipi.
Bima berjalan mendekat, berhenti tepat di depan Anita. Sampai beberapa saat setelahnya, mereka hanya saling menatap dalam diam.
"Jangan sedih, kamu punya aku, An." Bima mengulurkan tangannya pada bahu Anita, mengusap dengan lembut untuk menenangkan. "Aku bawa sesuatu, tap–"
"Kamu ngapain ke sini?" Anita menyingkirkan tangan Bima dari pundaknya dengan pelan. Meminta penjelasan pada laki-laki itu kenapa bisa ada di rumahnya.
"Enggak kenapa-kenapa, aku cuma merasa perlu ada di samping kamu saat kamu butuh."
"Memangnya aku pernah bilang kalau aku butuh kamu?"
Mungkin kalau saat ini cara bicara Anita terdengar sinis, itu karena ia tak bisa mengontrol emosi di dalam diri. Sudah cukup banyak tenaga yang ia habiskan untuk menangis sejak tadi sore, maklum saja jika kepalanya terasa pusing dan menjadi lebih sensitif.
"Enggak."
"Tapi aku merasa ingin kamu butuhkan, An. Aku ingin kamu tahu kalau tanpa kamu minta, aku akan selalu menemani kamu."
Dalam deru angin malam yang menerpa kulit, serta dinginnya hati yang dibabat habis oleh ribuan duka, Anita menggigit bibir. Ada sudut di dalam hatinya yang seolah dicubit seusai mendengar kalimat penuh keyakinan dan rasa peduli yang diucapkan oleh Bima. Lantas bolehkah ia berharap bahwa segala pernyataan itu tak akan membuatnya sakit lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Novela JuvenilBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...