Lembar Enam Belas - Tabrakan Maut

12 3 0
                                    

Untuk Anita
• Lembar Enam Belas - Tabrakan Maut •

Walaupun Anita adalah pribadi yang pendiam, tapi tetap saja ia terlalu perasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Walaupun Anita adalah pribadi yang pendiam, tapi tetap saja ia terlalu perasa. Sejak tadi pagi, gadis itu berulang kali membuka-tutup mulut. Sebenarnya ingin mengawali pembicaraan dengan Senjana. Hanya saja Senjana tampak lebih buruk dari kemarin, bibirnya merengut dengan dua alis yang saling bertaut.

Anita menengok sekali lagi, rupanya Senjana sedang menyalin catatan dari papan tulis ke buku dengan serius. Belum saatnya, Anita menopang dagu dengan kepala yang dipenuhi berbagai kalimat permintaan maaf.

Matanya melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan, lima menit lagi bel istirahat akan berbunyi. Namun, Anita masih belum tahu apa saja yang harus dikatakan pada Senjana.

Kring kring kring!

Lima menit seolah berubah menjadi hitungan detik. Beberapa murid di kelas Anita sudah ada yang berhamburan keluar, sementara sang guru sendiri sudah lebih dulu hengkang.

"Ng, Senjana." Dengan ragu-ragu, ia memegang pergelangan tangan Senjana dan menatap dua bola mata teman sebangkunya itu dengan lekat.

Senjana mengangkat satu alisnya. Bergantian memandang Anita dan pegangan pada pergelangannya, lalu membuang muka. "Ada apa?"

"Aku minta maaf untuk kejadian kemarin, aku enggak bermaksud membuat kamu sakit hati. So please ... jangan diam saja," pinta Anita.

Senjana masih enggan menatapnya, membuat Anita menghela napas. "Aku benar-benar minta maaf, Senjana. Aku tahu aku salah. Tapi kalau kamu diam saja, rasanya sepi."

"Oh ya?" Senjana kembali memutar kepala hingga bersitatap dengan Anita. "Bukannya kemarin kamu enggak mau diganggu? Kenapa sekarang malah melarangku untuk diam? Daripada meminta maaf ke aku, mending kamu baca buku. Nanti ketinggalan materi, loh."

Anita sangat amat peka terhadap maksud dari ucapan Senjana yang bernada menyindir. Ia tahu, Senjana marah. Oleh karenanya, kata-kata itu terdengar menyakitkan. Ia menggeleng. "Jangan gitu, aku sungguhan minta maaf. Kamu tahu sendiri seberapa besar keinginanku untuk bisa menjadi the golden talent, Na. Untuk itu ... aku minta maaf kalau kamu merasa diabaikan."

"Bukannya keinginan kamu itu sudah terwujud? Apa masih kurang?" Senjana berhasil membuat Anita membisu. "Jujur saja, aku merasa enggak dihargai sebagai seorang teman yang selama ini selalu mendukung kamu, apa pun keadaan kamu." Matanya menerobos ke dalam iris Anita, menegaskan perasaan kecewa yang sedari kemarin ia pendam.

Anita sendiri bergeming, bingung harus mengatakan apa. Tapi jika tidak sekarang, ia akan kehilangan kesempatan lagi jika Senjana kembali marah. Sebisa mungkin ia harus menyelesaikan masalah ini sekarang.

"Aku tahu aku salah, Senjana. Tapi keinginan itu terus muncul dari diriku sendiri, aku harus menepatinya demi supaya enggak merasa gelisah. Kadang, aku kesulitan menekan keinginan itu dan kemarin adalah salah satunya, yang membuat kamu marah."

Untuk AnitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang