Lembar Tujuh Belas - Cenayang, Tersayang

10 2 0
                                    

Untuk Anita
• Lembar Tujuh Belas - Cenayang, Tersayang •

Anita mondar-mandir di taman belakang sekolah dengan gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anita mondar-mandir di taman belakang sekolah dengan gelisah. Semua ini karena ulah Saka yang selalu pecicilan. Sekarang ia bingung harus menjelaskan seperti apa pada Stella tentang berkas yang basah dan juga berubah kuning karena cairan minuman. Sungguh, gadis itu benar-benar mengutuk Saka.

Lambat-laun, Anita merasakan pening di kepalanya. Keringat sebesar biji jagung bercucuran dari dahinya. Karena tidak sanggup jika tetap berdiri, maka Anita bergerak menggapai kursi tua berdebu yang berada di sisi dinding.

Usai duduk, ia memejamkan mata erat-erat dan berharap sakit di kepalanya bisa memudar saat itu juga. Namun, yang ada malah semakin menjadi. Bukan hanya dahinya yang berkeringat, telapak tangannya juga lembab.

"Aku enggak boleh sakit, tugas dari Bu Stella harus selesai ...."

Anita memijat pelipisnya sendiri, mencoba mengembalikan pengelihatannya yang semakin buram. Rasanya ia ingin pingsan saja, ini semua terlalu menyakitkan untuknya.

Sebelum Anita benar-benar menutup mata, sosok Bima datang.

🍁🍁🍁

Bima menatap penuh prihatin pada seorang gadis yang terbaring lemah di atas brankar ruang UKS. Karena petugas yang sedang piket sedang ke kamar mandi, kini hanya ada ia dan Anita di ruangan persegi itu.

Jujur saja, ada perasaan bersalah di benaknya ketika melihat keadaan gadis itu. Bagaimanapun juga, Anita baik. Bahkan terlalu baik. Tangan Bima terangkat, mengarah pada dahi Anita yang tertutup anak rambut. Dengan gerakan yang pelan, ia menyingkirkan helai itu dari sana.

"Maaf, An ...."

"Maaf kenapa, Bim?"

Bima terkesiap dan segera menarik tangannya menjauh dari dahi Anita ketika gadis itu terjaga secara tiba-tiba. "Kamu mengejutkanku, An."

"Jawab, Bim. Kenapa kamu minta maaf?" Anita berusaha bangkit, hingga akhirnya dapat duduk dengan sempurna.

Ditatap penuh desakan dari Anita membuat Bima merasa kikuk dan cemas dalam satu waktu. "Enggak ada," ujarnya sembari menggaruk tengkuk.

"Saka jahat, Bim. Gara-gara dia, berkas yang seharusnya aku serahkan ke Bu Stella jadi basah dan aku enggak mungkin menyerahkannya dengan tampilan seperti itu." Anita menatap lurus ke depan dengan sedih.

Bima mengernyitkan dahi bingung. "Saka?"

"Iya." Anita mengangguk. "Dia bilang namanya Saka, enggak tahu kenapa dia selalu terkesan menggangu. Aku enggak suka," lanjutnya.

"Saka siapa? Apa jangan-jangan—"

"Cowok yang kemarin ada sama aku waktu kamu ajak aku ke pantai, dia Saka."

Untuk AnitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang