Untuk Anita
• Dinner Perdana •Hal yang pertama kali memenuhi indra pengelihatannya ketika secara perlahan kelopaknya terbuka adalah dinding langit sebuah ruangan yang berwarna putih. Setelah selama beberapa saat berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar, akhirnya gadis itu berhasil membuka mata dengan sempurna.
"Anita ... kamu sudah sadar sayang? Apa yang sakit? Kepala kamu masih pusing?"
Pertanyaan bertubi-tubi itu menghajar Anita. Gadis itu menoleh ke samping dan mendapati raut khawatir yang terlihat dengan jelas di wajah sang Papa. Ia mengulas senyum tipis. "Anita enggak apa-apa, Pa. Cuma perih sedikit," katanya.
Abercio menghela napas lega. "Papa senang kamu baik-baik saja. Lain kali kamu harus lebih hati-hati, An," pesannya sembari mengelus puncak kepala putrinya.
"Anita sudah sadar Pa?"
Suara yang muncul dari balik pintu ruangan membuat Anita dan Papanya menoleh. Seorang gadis seumuran Anita berjalan mendekat dengan langkah yang terburu-buru. Sepersekian detik setelahnya, ia tersenyum lebar. "Sudah ya ternyata, i miss you so much, An," ujarnya sambil memeluk erat Anita yang tengah berbaring.
Mau tidak mau, Abercio tersenyum melihat interaksi yang terjadi di antara kedua putrinya. Namun, perhatiannya harus kembali tersita pada suara pintu ruangan yang dibuka. Kedua alisnya terangkat ketika tahu siapa yang datang.
"Papa kenapa kaget begitu? Seperti enggak pernah melihatku saja." Wanita itu berjalan mendekati Abercio dan mengecup pipinya sekilas. Kemudian langkahnya bergerak ke arah Anita yang terbaring di atas brankar rumah sakit.
Selama beberapa saat, keduanya hanya saling menatap satu sama lain. Anita berusaha menetralkan degup jantungnya karena tatapan datar wanita itu yang terasa mengintimidasi. Lucu bukan? Gadis itu berprasangka buruk kepada Mamanya sendiri.
"Saya harap kamu cepat sembuh."
Meski kalimat itu diucapkan tanpa nada, tapi tetap saja mampu membuat jantung Anita semakin berdebar kencang. Gadis itu mencengkram selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhnya dengan erat.
"Karena nanti kita akan makan malam bersama."
"What?!" Anita menutup mulutnya dengan kedua tangan. Karena terkejut luar biasa, gadis itu tidak bisa mencegah mulutnya untuk tidak memekik girang. "M—maaf, Anita enggak bermak—"
"Lebih baik sekarang kamu istirahat, supaya acara kita tidak gagal." Selepas berucap demikian, Ayudia berbalik dan melenggang pergi. Wanita itu membiarkan ruangan kamar inap Anita dipenuhi dengan berbagai macam emosi.
Sepeninggalnya, suasana kembali hening. Abercio sudah duduk di atas kursi yang didapatnya dari sudut ruangan ketika Anita bercakap dengan sang Mama tadi, sementara sosok Vina masih berdiri di samping tempat tidur Anita dengan pikiran yang penuh oleh rasa tidak percaya. Bagaimana bisa sang Mama yang kemarin menolak percaya pada keberhasilan Anita sekarang justru menunjukkan sikap seolah semakin membaik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Teen FictionBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...