Lembar Lima - Fragmen Prima

23 8 0
                                    

Untuk Anita
• Lembar Lima - Fragmen Prima •

Pagi ini langit tampak tidak bersahabat dengan bumi, terbukti dengan awan mendung yang disertai hembusan angin kencang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini langit tampak tidak bersahabat dengan bumi, terbukti dengan awan mendung yang disertai hembusan angin kencang.  Anita baru saja menginjakkan kaki di lobby sekolah ketika pada akhirnya hujan benar-benar turun. Beberapa murid berlarian mencapai lobby untuk berlindung dari basah.

Kalau melanjutkan langkah menuju ke gedung D di mana kelasnya berada, Anita tentu saja akan basah kuyup. Padahal sekarang masih bulan Juni, tapi kenapa sudah hujan?

Anita mendongakkan kepala dengan tangan yang memeluk tubuh sendiri. Ibu jarinya mengusap-usap lengan yang tidak tertutupi seragam.

"Hey."

Panggilan yang mengalun lembut di telinganya berhasil membuat Anita menoleh. "Eh, kamu."

Setelah pertanyaan yang dilemparkan cowok itu padanya kemarin malam, Anita sedikit merasa canggung ketika harus berhadapan dengan Bima saat ini.

"Kamu juga terjebak hujan?"

Anita tahu itu adalah pertanyaan retoris yang tidak membutuhkan jawaban, Bima hanya sedang mencoba untuk mencairkan suasana.

"Ya, as you see," jawab Anita singkat.

Saat Anita mengangkat kepalanya untuk memperhatikan langit lagi, Bima pun mengikuti. Cowok itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Suasana lobby ramai dengan gerutu jengkel para murid karena hujan yang turun di pagi hari, juga suara rintik air yang jatuh ke tanah.

"Petrichor."

Anita kembali menatap Bima, kali ini lebih dalam dari yang sebelumnya. Entah kenapa setiap kata yang keluar dari mulut cowok itu mampu menarik perhatian.

"Kenapa?"

Bukan Anita yang bertanya, melainkan Bima. Sebagai respon terhadap tatapan Anita padanya.

Anita menggeleng beberapa kali. "Enggak ada," katanya lirih.

"Aku selalu suka wangi petrichor, karena itu mengingatkanku pada seseorang." Sekarang tanpa diminta, Bima menjelaskan sendiri.

Anita hanya diam sambil menatap lurus ke depan. Meski begitu, suara Bima tidak luput dari indra pendengarannya.

"Andai hujan datang tiap hari dan tanpa berhenti, mungkin bukan hanya Jogja yang akan tenggelam, tapi aku juga."

Akhirnya Anita memutuskan untuk kembali menatap Bima. "Karena rindu?"

Bima terkekeh sebentar. "Tebakanmu benar, seratus," katanya seraya mengacungkan ibu jari.

Anita tersenyum tipis. "Terlalu melankolis," gumamnya.

Bima menautkan kedua alis. "Kenapa kamu beranggapan begitu?"

Untuk AnitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang