Untuk Anita
• Lembar Sembilan - Pedih •Seharusnya, awal bulan adalah kesempatan terbaik bagi Anita untuk mendapatkan hal-hal yang lebih baik dari bulan sebelumnya. Tak jarang ia berharap kehidupannya akan berubah begitu memasuki awal bulan, awal yang baik. Namun ternyata itu semua hanya ilusi, selayaknya angin yang tak terlihat keberadaannya.
Kemarin malam, sebuah kabar mengenai Brahma terdengar oleh telinganya. Keadaan kakeknya semakin buruk, itulah yang dikatakan Bibi Nuri melalui percakapan via telepon.
Maka Anita telah memutuskan. Ia akan berbicara pada Abercio dan Ayudia mengenai niatnya untuk menjenguk Sang kakek sebelum berangkat sekolah nanti. Semoga saja tidak ada yang menghalangi niatnya.
🍁🍁🍁
Persis seperti yang ia rencanakan tadi, Anita kini tengah berdiri di hadapan kedua orang tuanya yang tengah menikmati menu sarapan bersama dengan Vina. Gadis itu meremas ujung bawahan yang dikenakannya, sekadar untuk meminimalisir rasa gugup.
"Kamu mau ikut makan bareng kita, An? Tumben banget." Vina kembali memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya, sembari melirik Anita melalui ekor mata.
Anita tidak punya cukup semangat untuk berdebat dengan kakaknya. Apalagi di sana ada Abercio dan Ayudia, maka dia menatap keduanya. Namun seolah tak melihat kehadiran Anita, dua orang itu sama sekali tidak mengangkat kepala. Sama sekali tidak peduli.
"Ma, pa, ada yang ingin Anita sampaikan."
Dengan satu gerakan yang lambat, Abercio mengangkat kepala untuk bersitatap dengan Anita. Sementara Sang istri masih asyik mengiris daging.
Seolah mendapat pertanyaan 'apa', Anita kembali berucap, "keadaan eyang semakin buruk, Bibi Nuri memberitahukan soal itu pa–"
"Kamu pikir saya enggak tahu-menahu perihal keadaan ayah saya sendiri?!"
Vina mengangkat dua alis ketika mendengar seruan mamanya yang terdengar secara tiba-tiba. Tanpa diketahui seorang pun, bibir tipisnya mengulas senyum. Puas dengan pertunjukan di hadapannya pagi ini.
"Maaf, Anita enggak tahu kalau mama sudah–"
"Sudah cukup. Daripada membuat mood saya buruk pagi-pagi begini, lebih baik kamu berangkat."
Anita termangu mendengar ucapan mamanya. Sungguh, tidak ada hal paling buruk selain diperlakukan seperti bukan siapa-siapa oleh keluarga sendiri. Gadis itu menggigit bibir bawah, menekan gejolak emosi yang mendidih di dalam kepala.
"Anita minta maaf kalau itu membuat mama enggak nyaman. Anita cuma mau bilang kalau sepulang sekolah nanti, Anita mau menjenguk eyang."
Sontak, Ayudia mendelik. "Kamu bilang apa barusan? Menjenguk ayah saya?!" Ia berdiri, berjalan dan berhenti tepat di depan Anita. "Entah apa yang kamu katakan padanya sampai membuat kondisinya seburuk itu, saya enggak tahu. Kemudian setelahnya kamu berniat menemuinya lagi, kamu pikir saya akan membiarkan kamu? Saya enggak mau ayah saya menderita karena kamu, jadi jangan coba-coba menampakkan diri di hadapannya! Kamu tahu konsekuensinya apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Anita
Teen FictionBagi Anita, hidupnya sudah terlalu rumit, masalah yang menghimpitnya dari segala arah seakan-akan membuatnya kesusahan untuk hanya sekedar bernapas. Gadis itu dituntut mampu menyetarakan perbandingan yang ada di antara dirinya dan sang kakak kembar...