Lembar Sembilan Belas - Pizza dari Papa

9 2 0
                                    

Untuk Anita
• Lembar Sembilan Belas - Pizza dari Papa •

Senjana benar-benar merasa beruntung ketika Bima akhirnya datang dan menghampiri Anita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senjana benar-benar merasa beruntung ketika Bima akhirnya datang dan menghampiri Anita. Seusai memaki Saka, temannya itu langsung berbalik pergi dan bersandar pada dinding koridor dengan tatapan kosong. Karena panik sekaligus cemas, Senjana membawa Anita menuju ke UKS. Tapi setibanya di sana, Anita malah duduk di atas brankar dengan mata tak berkedip sementara bibirnya membisu.

"Dia kenapa lagi?" Bima mengerutkan dahi, meminta penjelasan Senjana.

Mau tidak mau, Senjana menceritakan semua yang dia lihat. Tapi hal itu tampaknya sama sekali tidak bisa membantu Bima memahami mengapa Anita menjadi seperti itu. Terbukti dengan raut wajahnya yang tetap tak berekspresi.

"Lama-lama aku jadi curiga sama Saka, dia selalu menganggu Anita setiap saat."

Mendengar ucapan Senjana, Bima menoleh pada gadis itu. "Lalu?"

"Kamu harus melindungi Anita dari Saka, Bim." Namun, kerutan di dahi Bima malah semakin bertambah.

"Saka?"

"Iya, Saka." Senjana mengangguk. "Setahuku, dia kakak kelas baru di jurusan bahasa. Wajar sih kalau kamu enggak kenal."

Bima menggeleng. "Enggak, enggak. Aku tahu karena Anita sudah pernah bilang. Ya ... seharusnya aku bisa selalu di samping Anita, tapi itu mustahil," ujarnya lesu.

Kini gantian Senjana yang mengernyit. "Mustahil ken—"

"Kalian ngapain masih di sini?"

Bima dan Senjana sontak menoleh pada arah yang sama, yakni pada Anita yang bersandar pada dinding. Gadis itu tampak lebih buruk dari beberapa menit yang lalu. Bibirnya pucat, ditambah lagi dengan bagian mata yang luar biasa cekung.

"Kita ngapain?" Senjana membeo, "kita berdua nunggu kamu balik, An. Baru nanti kita balik bareng-bareng, aku enggak mau kamu ketemu si Saka itu dan kenapa-kenapa lagi."

"Kamu sudah mendingan, An?" Bima memegang lengan Anita pelan, membuat gadis itu menatap tepat ke dalam manik matanya.

Anita menggerakkan kepalanya naik turun. "Lumayan, aku cuma—"

"Kamu bukan cuma, An. Berapa kali aku bilang? Tekan obsesi kamu. Apalagi yang kamu mau sekarang? Semuanya sudah kamu dapatkan, jadi berhenti menyiksa diri sendiri." Bima berucap penuh peringatan.

Anita menghela napas sembari mengalihkan pandangan. "Kamu enggak akan pernah tahu apa yang aku mau dan apa yang aku harapkan, Bim. Kamu hanya bisa menuntut tanpa pernah memahami posisiku," lirihnya.

Senjana terdiam di tempatnya. Mencoba mencari celah pemahaman dari percakapan yang terjadi di antara kedua insan di hadapannya. Apalagi yang tidak dia ketahui tentang teman sebangkunya? Kenapa Anita punya banyak sekali rahasia?

Untuk AnitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang