Sepuluh

31 6 2
                                    

Pagi ini, Ji An baru saja berjalan dengan neneknya dari supermarket. Kondisi sang nenek sudah mulai membaik dan akhirnya bisa beraktifitas lagi walau hanya sekedar menemani Ji An membeli perlengkapan bulanan mereka. Sebenarnya, Ji An tidak masalah untuk belanja sendirian seperti biasa. Tapi, karena neneknya memohon dan bosan berada di rumah terus, dia tidak bisa menolak.

Sesampainya di rumah, Ji An memaksakan beberapa makanan sederhana untuk mereka makan siang ini. Sedangkan neneknya hanya membaca berita-berita yang ditulis dengan huruf braille. Berita yang sudah diterjemahkan dengan huruf braille hanya dikeluarkan setiap seminggu sekali dalam bentuk koran. Hanya bisa dibeli jika Ji An memiliki uang lebih. Yang sedang neneknya baca adalah edisi beberapa minggu lalu, karena dia belum bisa membeli koran braille yang baru.

"Halmeoni memangnya tidak bosan membaca itu terus?" tanya Ji An. Dia sedang sibuk menyiapkan makanan untuk neneknya. Dia biasanya menyuapi neneknya dulu sampai selesai, baru dirinya sendiri bisa makan.

"Walaupun aku sudah tahu isinya apa saja, tapi rasanya akan tetap berbeda kalau dibaca dari awal lagi sampai habis. Seperti sup buatanmu, Ji An. Walaupun aku hafal isinya apa saja, tapi rasanya selalu lebih lezat kalau disantap saat hangat seperti sekarang."

Ji An mengaduk sup untuk neneknya berkali-kali dan perlahan menyuapi itu kepada sang nenek. "Jadi, kalau tidak hangat, rasanya tidak enak ya?"

Neneknya menelan sup Ji An dengan lega. "Tidaklah. Tanganmu, walaupun tidak semahir Ibumu dalam urusan memasak, paling tidak kau tetap mau berusaha untuk membuat sup sampai bisa. Usahamu yang membuat rasanya selalu menjadi lebih enak."

Ji An hanya bisa mengiya-iyakan saja dan kembali fokus menyuapi neneknya. Mereka berbincang-bincang mengenai kejadian sekitar yang sudah terjadi dibelakangan hari ini. Perbincangan itu terus berjalan sampai akhirnya makanan neneknya sudah habis semuanya.

"Temanmu yang waktu itu, bagaimana kabarnya?" tanya sang nenek.

"Baik-baik saja. Aku kemarin makan malam di rumahnya," jawab Ji An.

"Oh ya? Bagaimana bisa?"

"Aku diajak olehnya untuk makan malam bersama. Hanya itu."

Perlahan-lahan, neneknya menggenggam tangan cucunya. "Sepertinya, dia orang yang baik ya? Yang memberikan buah untukku waktu itu di rumah sakit juga dia kan?"

"Iya, semua itu dia yang lakukan."

"Kau harus menjaga pertemananmu dengan baik bersamanya. Sekarang, dia yang menolong kita. Nantinya, kau yang harus menolongnya, Ji An-ah..."

Iya, Halmeoni. Aku sedang berusaha.

Ji An membalas genggaman tangan neneknya. "Tenang saja."

"Kau tidak bertemu lagi dengan dia?"

"Rencananya nanti sore, kita akan bertemu."

Neneknya menganggukkan kepala. "Oh, baiklah. Tapi, sebelum pergi tolong bantu aku makan dulu ya. Dan jangan lupa, sampaikan salamku untuk temanmu itu."

"Iya, Halmeoni."

*

Kemana kira-kira aku harus bertemu dengan Kwak Jae Won?

Sore ini, sebetulnya Ji An tidak tahu harus mencari keberadaan manusia itu kemana. Kemungkinan besar sepertinya Jae Won hanya di rumahnya saja, tidak kemana-mana. Tapi Ji An tetap ingin keluar dari rumah dan mencari keberadaan manusia itu.

His Name is Kwak Jae WonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang