Dua Puluh

37 4 7
                                    

"Semua yang kau dengar tadi adalah rencana awal yang aku dan Ji An sepakati bersama. Setelah itu, aku memberikannya handphone yang sudah aku install aplikasi untuk menyadap keberadaanmu dan mendengar suaramu. Aku tidak menyuruh Ji An untuk melakukan apa-apa, aku mempercayakan semuanya kepada Ji An dan hanya memperhatikan dari jauh. Dan ternyata, ini semua justru membuat niat awal Ji An berubah. Dia melakukan ini semua dengan tulus kepadamu."

"Tulus? Pernahkah dia mengatakan ini semua kepadamu secara langsung?"

"Tidak. Tapi, apakah selama ini kau tidak bisa merasakan ketulusan yang Ji An berikan kepadamu, Jae Won-ah?"

Semua kenangan yang ia lakukan dengan Ji An berjalan di dalam pikirannya bagaikan sebuah film. Dari pertama kali mereka bertemu, hingga terakhir kali mereka bertemu. Semua yang telah mereka lakukan bersama, semuanya hanyalah sebuah rencana yang Ji An siapkan dengan Kyung Woo untuk menghentikan niat Jae Won.

"Ia melakukan ini karena ingin membayar semua kebutuhan hidupnya dan pengobatan neneknya, Jae Won-ah. Ji An ingin sekali mengambil ujian paket C supaya bisa menguatkan CV nya dalam mencari pekerjaan."

Jae Won tidak bisa merasakan apa-apa. Hanya ada rasa kecewa yang ada di dalam dirinya. Di antara semua orang yang mungkin bisa menyakiti Jae Won, tidak pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa Ji An yang akan tega melakukan itu kepadanya. Kenangan manis dan membahagiakan yang telah mereka lakukan, semuanya terasa menyakitkan bagi Jae Won.

"Ji An tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu, Jae Won-ah. Ia hanya ingin menolong dirimu. Bukankah semua yang telah terjadi dalam hidupmu setelah kau bertemu dengan Ji An dapat membuktikan semua maksud Ji An?"

Jae Won menatap Kyung Woo masih dengan amarah yang sama. Dirinya ingin mengatakan sesuatu yang ada di dalam hatinya, namun tidak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.

"Aku tidak melarangmu untuk kecewa kepadaku dan Ji An. Tapi, ini semua kami lakukan untuk membahagiakanmu."

Air mata Jae Won tidak berhenti menetes sejak tadi. Hari sudah gelap dan Jae Won masih berjalan dengan gontai tanpa arah yang jelas. Ia hanya ingin pergi, pergi sejauh yang ia bisa, mencari tempat dimana tidak ada lagi orang yang akan membohongi dirinya. Jae Won tidak tahu harus melakukan apa kepada Ji An. Ia sudah kehabisan akal.

Angin musim dingin diawal bulan Januari, berhembus dengan kencang. Jae Won memberhentikan langkah kakinya untuk melihat sekitarnya. Ia berada di pinggir sungai Han. Pijakan tempatnya berdiri sangat tinggi, membuat suatu ide timbul di benaknya.

Ia mengambil handphonenya dan menyalakannya.

Ji An pasti akan menemukanku.

Mata Jae Won sudah terasa sangat berat dan panas karena terlalu banyak menangis. Ia menunggu kehadiran Ji An sambil terus menatap ke bawah. Dari tempatnya berdiri dengan sungai Han sangat jauh. Jika sekarang juga Jae Won mencoba untuk meloncat ke bawah sana, ia yakin hidupnya akan berakhir.

Jae Won memajukan langkahnya sekali.

"Aku ingin melihatmu terus bermain baseball, Kwak Jae Won."

Ji An meraih lengannya yang penuh dengan bekas lukanya. "Jangan lakukan ini lagi, Kwak Jae Won."

Suara Ji An selalu ada di dalam pikirannya. Membuat Jae Won tidak mampu melakukan apa-apa.

"Kau gila?"

"Ya, Kwak Jae Won!"

Jae Won menangis. Ia masih tidak bisa menerima ini semua.

His Name is Kwak Jae WonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang