Part 23

5 0 0
                                    

HAPPY READING!
.
.
.

12.00 WIB

Remima terbangun saat merasakan tubuhnya lengket. Dia lupa jika saat baru pulang Remima langsung tertidur tanpa memberikan tubuhnya. Dengan malas Remima menduduki dirinya dan mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Males banget mandi, tapi kalo ga mandi jorok," ucap Remima. Remima segera beranjak pergi ke kamar mandi.

Ceklek

Remima keluar dengan piyama berwarna navy polos. Menggosok rambutnya yang basah sambil berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur untuk mengambil handphonenya.

Remima duduk di hadapan meja belajar dan menghidupkan laptopnya. Hal yang oranglain tidak tahu tentang Remima, tapi laptop ini tahu segalanya. Segala tangis dan bahagia Remima terketik di sana.

Remima mencanger handphonenya. Tatapannya kembali fokus pada layar laptop yang membuka microsoft word. Jemari letiknya mulai berlari ke sana ke mari.

Rabu, 19 Agustus 2020

Setelah hampir beberapa minggu gue tinggalin kisah sepi gue dan gue kembali untuk menceritakan kisah bahagia gue yang cukup lama menghilang.

Tommy. Awal gue ketemu dia itu cukup buat gue tertampar atas apa yang pernah gue perbuat di tiga tahun yang lalu. Pertemuan kita emang ga semulus itu, tapi gue berharap kalo kita berpisah suatu saat nanti itu berjalan dengan mulus.

Awal gue pacarin Tommy karena dia mirip Daffa, banget. Cuma bedanya sifat mereka. Sifat Daffa yang selalu buat gue nyaman ga akan pernah tergantikan, tapi sifat Tommy yang buat gue nyaman itu suatu hal baru yang gue rasain.

Boleh gue egois? Gue pengen milikin keduanya, tapi kalo ga boleh biar gue ga milikin keduanya.

Harapan gue kedepannya, pengen ketemu lo lagi Daf. Gue percaya ga percaya waktu ada nama lo yang ngirim pesan lewat e-mail.

Thank buat kalian berdua.

Remima menghentikan ketikannya. Rasanya begitu melelahkan terlihat bahagia di depan orang lain. Hatinya sudah hancur sejak dulu, sejak di mana Remima benar-benar kehilangan sosok pahlawannya.

Remima membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah obat penenang. Obat yang sering Remima konsumsi sejak dia remaja tanpa sepengetahuan  keluarga bahkan siapapun. Setelah selesai meminumnya Remima kembali menyimpan obat itu dengan rapih dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Rasa nyeri di dadanya perlahan-lahan menghilang.

"Huh! Gue cape, tapi gue masih mau ngerasain dibahagiain oranglain," ucap Remima.

Tubuhnya kembali menegak dengan tatapan fokus kembali ke layar laptop.

~Daddy~

Apa yang lo pikiran tentang peran seorang Ayah? Kalo gue pahlawan.

Dulu, waktu gue masih belajar sepedah Papih selalu gendong gue waktu jatuh, usap punggung gue biar tenang, dan berakhir ngobatin luka gue walau Mamih selalu maksa biar Mamih yang ngobatin.

Dulu, gue sama bang Rama selalu rebutan Papih. Sehari gaada Papih tuh kayak satu abad. Dulu juga, bang Rama sering musuhin gue karena ngerasa Papih lebih sayang ke gue. Gue selalu nangis kalo misalnya Papih deket sama bang Rama. Dari dulu seorang Remima emang egois.

Tapi, kalo sekarang gue ga butuh lagi peran Papih. Satu hari dia buat gue takut sama yang namanya hubungan dan laki-laki.

Sekarang gue relain Papih buat bang Rama meski bang Rama juga ga mau ngakuin Papih orangtuanya.

Kesetiaan yang paling penting untuk sebuah hubungan. Menurut gue, orang yang berkhianat tidak pantas untuk dihormati walau setinggi apapun derajatnya.

Drrtt

Jarinya berhenti mengetik saat handphonenya. Remima segera meraih handphone nya dan mencabut kabel canger nya.

"Halo?"

"Gimana kabar lo?"

Terdengar suara bass dari ujung telfon. Apa yang Remima pikirkan tentang nomor yang selalu mengirimnya pesan aneh benar dugaannya, Alex. "Apa mau lo?"

"Mau gue? Putusin Tommy dan lo sama gue!"

Remima tertawa garing dan langsung bersuara pelan. "Denger! Gue bukan Ratih, gue Remima! Gue ... tau lo sayang sama dia, seperti lo sayang ke Ratih, gue juga sayang Tommy. Lo pasti ngerti."

Hening.

Alex tertawa. "Tommy itu selalu rebut apa yang gue mau. Dia punya segalanya apa yang dia mau, sedangkan gue? Gue selalu kehilangan apa yang gue mau. Ini ga adil!"

"Pengukuran soal keadilan kebahagiaan kadang gitu. Gue juga selalu ngerasa ga adil—"

"Gue cuma mau lo putusin dia sekarang!"

"Kalo ga?"

"Tommy bakal nyusul Ratih."

"Alex sial—"

Tut
Tut

****

Matanya mengerjap beberapa kali. Pandangannya jatuh kepada jendela yang masih tertutup gorden. Setelah kepanikan semalam Remima kembali merasakan sakit sialan itu, berakhir meminum obat, dan tertidur di meja belajar.

Hari ini Tommy akan menjemputnya. Remima berharap Alex tidak melakukan hal gila. Remima harus bersiap-siap sebelum Tommy datang.

****

Sudah satu jam, tapi Tommy belum juga datang menjemput Remima. Remima menggigit ujung kukunya yang petanda Remima khawatir. "Alvian," gumam Remima. Remima segera mencari nomor Alvian di handphonenya.

"Halo Yan? Tommy sudah sampai di tempat lo belom? " Tanya Remima serius.

" Lah bukannya Tommy sama elo? " Tanya Alvian balik.

"Lo jangan bercanda yan! Udah 1 jam gue nunggu Tommy, dan sampai sekarang nggak datang-datang! " Remima menjelaskan dengan apa yang dia alami.

"Jangan-jangan Tommy ada masalah."

" Terus gimana, Yann!! Kalo Tommy celaka gimana, " ucap Remima. Ucapan Alex lagi-lagi mendengung di telinga bahkan otakku.

"Bang anterin gue bang, gue mau nyari Tommy bang!" ucap Remima.

Rama yang kebetulan dudu di samping Remima menatap wajah adiknya yang pucat pasih. "Tommy lo kenapa? Ilang? Kok bisa? " Tanya bang Rama bingung.

"Bang lo tu tau ga kalo Tommy ilang, gue takut kalo dia celaka bang!! " Remima sudah mengeluarkan banyak air matanya. "Bangg gimana hiks... Hiks.. Hiks... Gue takut Tommy kenapa-napa bang." Remima menuju ke garasi untuk menaiki mobil.

TBC

Jangan lupa vote dan komentarnya ya!?

Remima [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang