Part 29

5 0 0
                                    

HAPPY READING!

Mobil terus berjalan tak tentu arah. Matahari mulai tenggelam yang berarti malam akan tiba. Semuanya masih terasa sama seperti 10 tahun lalu. Untuk pertama kalinya Remima mengenal yang namanya sakit tak berdarah. Tak ada orang satu pun yang Remima percaya sekedar sedikut memberi cerita kelamnya.

Remima mengeratkan tangan pada stir saat merasakan sakit di kepalanya. Semuanya mungkin akan tahu hari ini atau besok. Remima menggeledah mobil itu tapi tidak ditemukan sesuatu yang dia butuhkan.

"Shh.. Sa-kit," ringis Remima. Matanya berusaha tetap terbuka agar bisa terus mengemudi sampai di rumah sakit terdekat.

Drrt

Handphone Remima sejak tadi berbunyi tanpa direspon sedikit pun.

Mobil yang Remima kendari mulai oleng dengan jalan tak tentu arah. Remima berusaha meningkatkan kesadarannya tapi rasa sakit semakin hinggap di kepalanya.

Brak

kepala menghantam stir kuat karena Remima tidak memakai seatbelt. Rasanya kepalanya ingin pecah sekali. Darah dari kepala membasahi pelipis hingga sebagian pipinya.

Drrtt

Tangannya berusaha mengambi handphone yang berada di tepat di bangku sebelahnya. Matanya menyipit kecil dan menggeser tombol hijau agar menerima telponnya yang tidak diketahui dari siapa.

****

Rama, Liona, dan Devan berlari di koridor rumah sakit dengan wajah pucatnya. Pihak rumah sakit menghubungi nomor Rama dan memberitahu bahwa adiknya mengalami kecelakaan.

Rama merasakan kegagalan yang begitu menyakitkan. Rama gagal menjadi sosok kakak. Bahkan, Rama tak pernah tahu apa yang dirasakan oleh Remima. Yang Rama tahu Remima hanya menangis karena Daffa.

Tepat sekali. Saat Rama dan kedua orangtuanya sampai di ruangan Remima, dokter baru saja keluar.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Devan.

"Anda orangtuanya?"

Devan mengangguk tegas.

"Ikut saya ke ruangan!"

Devan dan Liona pergi mengikuti dokter dari belakang. Rama menatap tubuh terbaring Remima dari kaca pintu.

Kondisi Rumah sakit yang jauh membuat Rama dan orangtuanya sampai pada saat Remima selesai operasi. Rama tidak tahu apa yang dioperasi, tapi yang jelas Rama langsung mengiyakan saat kata suster operasi harus cepat dilakukan.

"Bang."

Rama membalikkan tubuhnya menatap sosok Remaja yang beberapa minggu ini terus membuat Remima bahagia.

"Tom."

"Gimana keadaan Remima? Kenapa Remima bisa gini?" tanya Tommy. Sedangkan, teman-teman yang lainnya hanya diam.

"Kalian bisa jagain Remima?" tanya Rama pada Alvian dan Andy.

Alvian dan Andy mengangguk.

"Kita bicarain di kantin," ucap Rama.

****

Dua kopi tersuguh dengan masih menguapkan asap. Suara hening dari kedua laki-laki berbeda usia itu.

"Bang," panggil Tommy.

"Remima... Remima pakai obat terlarang, Tom."

"Maksud bang Rama narkoba?" tanya Tommy memastikan.

"Iya."

Tommy menggeleng tak percaya. Remima terlihat seperti orang normal pada umumnya, tidak ada tanda-tanda bahwa Remima pemakai. "Lo bohong kan, bang?"

"Gue juga awalnya ngira gitu, tapi itu bener, Tom. Waktu Remima pulang papih langsung nampar Remima, terus Remima pergi," jelas Rama menceritakan segalanya.

"Tom, bang," panggil Andy dengan napas terengah.

"Kenapa?" tanya Tommy.

"Remima... Remima kritis," jawab Andy.

Rama dan Tommy segera berlari meninggalkan Andy yang masih mengatur napasnya. "Lah ditinggal?" Andy duduk di tempat duduk Tommy dan matanya terjatuh pada kopi yang sama sekali belum tersentuh. "Lumayan rezeki."

****

Kehidupan itu seperti roda berputar. Remima juga merasakan, tapi yang Remima rasakan kehidupan roda yang berjalan macet. Baru sedikit bahagia langsung dijatuhkan lagi, begitu terus hinggap Remima sudah paham rasanya sakit dipermainkan.

"Remima."

Panggilan seseorang membuat Remima membuka mata. Dihadapanya sudah berdiri sosok gadis yang wajahnya hampir sama sepertinya. Senyum manis terpancar dari bibir pink pucatnya membuat ujung bibir Remima ikut tertarik membalas senyum itu.

"Aku Ratih," ucapnya lembut.

Remima mengerutkan dahinya. Nama yang sepertinya tidak asing di pendengarnya.

"Ratih? Gue pengen ketemu lo" Ucap Tommy lirih.

Tommy.

"Lo pacarnya Tommy?"

Ratih menggeleng pelan. "Aku sahabatnya Tommy."

"Gak mungkin, kalian saling suka. Pasti kalian pacaran."

"Dua orang yang memiliki perasaan yang sama ga harus punya hubungan spesial."

Remima hanya mengangguk mengerti.

"Mau ikut aku?"

****

Devan dan Liona duduk berhadapan dengan dokter yang merawat Remima.

"Jadi keadaan anak saya gimana?" tanya Devan.

"Remima mengalami gegar otak berat. Karena kepalanya yang sudah mengidap gegar otak sedang ditambah saat kecelakaan kepalanya terbetur stir kuat," jelas dokter.

"Bisa sembuh 'kan, dok?" tanya Liona dengan tangis yang tidak bisa terbendung lagi.

"Kami akan berusaha sebisa mungkin. "

****

Rama dan Tommy lari tergesa dan langsung memasuki ruangan Remima menghiraukan Alvian yang mencegah.

"Maaf mas, silahkan keluar!" suruh suster.

Tubuh keduanya melemas saat melihat tubuh Remima terbujur kaku.  Semuanya menghilang dalam beberapa jam.

Remima [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang