17. Merelakan?

72 14 21
                                    

Saat aku menyadari bahwa dengan bersamaku, kamu hanya akan terluka. Mungkin merelakan adalah pilihan yang terbaik. Memberikan kesempatan kepada oranglain yang mungkin lebih bisa membuatmu bahagia dan tidak menempatkanmu dalam sebuah ketidakjelasan seperti aku. —Kailendra Alderio.

******

"Liana pingsan!"

Dua kata dari Fano yang baru saja datang dengan napas terengah sehabis berlari mampu membuat Kai mematung ditempat. Jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Perasan takut sekaligus khawatir mulai menghatuinya. Dengan gerakan cepat Kai berdiri dari kursi kantin dan berlari menuju UKS diikuti oleh Aubrey dan Risky dibelakangnya.

Kai semakin mempercepat laju larinya. Membelah keruman siswa dan siswi kelas 10 yang sedang berkumpul dikoridor lantai satu. Mengabaikan protesan beberapa siswa yang tidak sengaja ia senggol dan juga panggilan Aubrey dan Risky yang jauh tertinggal. Dipikirannya saat ini hanyalah Liana, Liana dan Liana. Sorot khawatir tampak jelas dikedua mata legam itu.

Sampai akhirnya Kai berhenti didepan pintu kaca yang diatasnya terdapat papan kayu bertuliskan UKS. Baru saja Kai ingin membuka pintu tersebut, namun sebuah pemandangan membuatnya mengurungkan niat. Disana, Kai melihat Fabian yang tengah menggenggam tangan Liana. Cowok itu dengan setia menunggu Liana yang masih terpejam di salah satu bangsal UKS.

Kai terdiam, genggamannya pada ganggang pintu mengerat. Pandangannya terpaku pada dua orang remaja didalam sana. Entah apa yang dapat mendeskripsikan perasaannya saat ini. Di satu sisi Kai merasa sangat kesal dan juga tidak rela. Tapi disisi lain Kai sadar diri, dia sudah menyakiti Liana. Memaksakan seseorang untuk tetap tinggal tapi enggan memberikan kepastian. Kai tahu itu sangat egois.

Selain itu melihat cara Fabian menatap Liana, Kai tahu bahwa cowok itu serius. Fabian mencintai Liana dengan tulus. Perlahan Kai membalikkan badannya dan melangkah pergi meninggalkan UKS.

Mungkin ini saatnya Kai memberi Fabian waktu untuk dekat dengan Liana. Mungkin Liana akan lebih bahagia jika bersama Fabian. Jika ia pergi, Fabian pasti bisa dengan leluasa menunjukkan perasaannya pada Liana. Lagi pula Fabian merupakan teman dekatnya, setidaknya Kai tahu bahwa Fabian dapat dipercaya.

Untuk saat ini, jalan yang paling benar adalah merelakan.

Baru beberapa meter Kai beranjak dari UKS. Risky dan Aubrey berhenti dihadapannya. Membuat Kai mau tidak mau ikut menghentikan langkahnya.

"Loh, kok balik lagi? Nggak temenin Liana di UKS?" Tanya Risky.

Kai menggeleng pelan sebagai jawaban.

Risky mengernyit heran. Tidak mengerti dengan perubahan sikap temannya itu. Padahal tadi Kai yang paling mengkhawatirkan Liana. Namun melihat    raut wajah Kai yang nampak sedih, Risky memilih tidak bertanya lebih lanjut.

"Udah ada Fabian." Ujar Kai dengan lirih.

*****


Kai mendudukkan dirinya dipinggir lapangan sambil membuka tutup botol air mineral dan menenggaknya hingga tandas. Napasnya memburu habis bermain futsal. Rambut juga bajunya sudah basah oleh keringat.

Ekskul belum selesai, tapi Kai memilih berhenti duluan. Pikirannya kacau. Sulit baginya untuk fokus pada permainan. Hal itu juga disadari oleh Risky, sebagai kapten, Risky mengizinkan Kai untuk beristirahat duluan.

"Lo kenapa dah? Nggak biasanya tendangan lo meleset terus." Tanya Risky yang baru saja selesai memainkan satu pertandingan. Risky duduk disebelah Kai sambil memperhatikan anggotanya yang masih bermain.

Kai tidak menjawab, ia memilih memainkan botol kosong ditangannya. Memutar-mutarkan botol itu tanpa berniat menoleh pada Risky. Membiarkan Risky menerka sendiri.

"Masalah Liana, ya?" Tebak Risky tepat sasaran.

Kai terdiam beberapa saat dengan pikiran melayang jauh. "Menurut lo Fabian bisa dipercaya nggak?" Tanya Kai, seraya menatap lurus pada Risky.

"Dalam hal apa dulu?"

"Perempuan....mungkin?"

Risky terkekeh pelan lalu mengangguk beberapa kali. Otaknya seakan dapat langsung menebak permasalahan temannya itu. "Kalau menurut gue bisa."

"Fabian itu, walaupun matanya suka muter kalau lihat cewek cantik. Terus kadang juga suka ngerdusin anak orang. Tapi dia kalau udah suka sama satu cewek, dia cuma bakal fokus sama satu cewek itu aja." Kai hanya diam, menyimak setiap kata demi kata yang dikeluarkan oleh Risky.

"Lo bisa lihat lah dia sekarang lagi fokus ke siapa." Ujar Risky sambil terkekeh pelan.

"Kenapa tiba-tiba nanya ginian? Ceritanya lo mau berkorban buat temen, nih?" Tanya Risky.

Kai menghela napas berat. "Mungkin."

"Kenapa gitu?"

"Lo kan tau sendiri kenapa gue nggak bisa sama Liana."

Risky terdiam. Otaknya langsung mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Fakta, yang sekaligus menjadi alasan kenapa Kai tidak bisa bersama Liana. Jujur saja, mengingat hal itu membuat Risky merasa bersalah kepada Liana. Sebab, dia tidak bisa memberitahu apapun pada cewek itu, walaupun sebenarnya dia ingin. Bagaimanapun juga ini merupakan rahasia Kai. Risky tidak berhak memberitahu Liana tanpa seizin cowok itu.

"Tapi gue rasa hal itu nggak seharusnya lo jadiin penghalang kalau memang lo cintanya sama Liana." Ujar Risky setelah beberapa saat terdiam.

"Lo nggak ngerti rasanya di posisi gue, Ky."

"Kalau gue diposisi lo, gue akan terus terang sama Liana. Paling nggak, gue akan kasih tau alasan kenapa gue nggak bisa sama dia. Jadi dia nggak perlu menerka-nerka sendiri." Risky menyandarkan tubuhnya pada pot besar yang berada dibelakangnya. Lalu melirik sekilas pada Kai yang masih menatapnya. "Lo sadar nggak sih, yang bikin Liana jauhin lo itu, ya, karena sikap lo yang nggak jelas."

Kai menghembuskan napasnya panjang. Lalu mengacak rambutnya frustasi. "Gue pikir berteman aja itu udah cukup. Tapi malah jadi kayak gini."

"Berteman yang kayak gimana yang lo maksud? Yang telponan setiap hari? Atau yang dianter jemput setiap hari?" Tanya Risky dengan nada sedikit sinis. "Dari awal, tingkah lo ke Liana bahkan sama sekali gak mencerminkan kayak orang yang mau ngajak temenan, Kai."

Drttt drrttt drrrt.

Suara getaran ponsel disaku nya membuat Kai buru-buru mengmbil ponselnya. Risky melirik sekilas layar ponsel Kai yang menunjukkan foto profil seorang gadis berambut sebahu yang memenuhi layar. Risky mendengus pelan. Lalu memilih berdiri ketika langit sudah berganti warna menjadi jingga.

"Jujur, awalnya gue dukung lo buat sama Liana. Tapi ngeliat sikap lo yang terlalu plin plan kayaknya memang lebih baik biarin Fabian aja yang deketin dia."

"Setidaknya Fabian bisa kasih kepastian. Bukan cuma harapan semu kayak lo." Setelah mengucapkan kalimat itu Risky langsung pergi ke tengah lapangan. Memberi instruksi kepada para anggota futsal untuk bersiap pulang.

Sedangkan Kai hanya diam membisu. Memikirkan setiap perkataan Risky yang sangat menohok perasaannya. Kai menekuk lututnya, lalu menenggelamkan wajahnya disana. Tangannya menggenggam erat ponsel yang masih saja terus berdering dari orang sama. Sampai akhirnya panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Ini merupakan kali pertama Kai mengabaikan panggilan dari gadis itu.

--TBC--

BANGKAI SUDAH SADAR KAH????



CHOOSE OR LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang