Ketika kamu berani memilih salah satu, maka kamu harus siap kehilangan yang lainnya. Aku pilih dia dengan keraguan, tetapi resiko kehilanganmu terasa begitu jelas untukku. Dan aku belum siap akan hal itu. —Kailendra Alderio.
*****
Suasana dikoridor kelas 11 nampak tidak kondusif. Para guru sekarang sedang disibukkan dengan rapat sehingga tidak dapat mengajar dan terpaksa hanya memberikan tugas yang tentu saja hanya diabaikan oleh sebagian besar murid. Paling-paling hanya si rajin saja yang dengan senang hati mengerjakan tugas tersebut. Sedangkan yang lainnya lebih memilih ke kantin atau ngapelin gebetan dari kelas lain. Seperti yang dilakukan oleh Fabian saat ini.
Menghibur Liana yang sedang galau.
"Lian, gue punya tebak-tebakan,"
Mendengarnya, Liana berhenti memainkan ponsel dan menaruh atensi penuh pada Fabian. Beberapa kali gadis itu menyibak rambut panjangnya yang jatuh menutupi wajah karena terkena angin. Saat ini keduanya sedang duduk di kursi panjang depan kelas Liana.
"Kalau lo bisa nebak nanti gue beliin somay dikantin."
Tawaran sederhana, namun cukup membuat Liana merasa tergiur. Cewek itu mengangguk dengan semangat. "Oke, deal."
"Sayur, sayur apa yang susah dilupakan?"
"Ahh itu.... Bentar-bentar gue mikir dulu,"
"Sepuluh detik."
Liana melotot tidak terima. "Dih, masa gitu!"
Fabian terkekeh lalu mengedikkan bahunya acuh. "Dari sekarang. Satu..."
Mendengar Fabian yang mulai berhitung Liana pun berpikir keras. Matanya bahkan sampai terpejam sambil menebak-nebak jawaban yang sekiranya cocok dengan pertanyaan Fabian.
"Lodeh?"
Fabian meggeleng. "Tujuh,"
Liana mulai kelabakan. "Sop? Engh... Toge? Kangkung? Capcay?"
"Sepuluh!" bahu Liana langsung merosot dengan bibir yang mengerucut.
"Gitu aja gak bisa jawab," ejek Fabian sambil menatap gemas ekspresi kecewa dari Liana.
"Sayur apa sih emang?"
"Bayam-bayam dirimu."
Receh sebenarnya. Namun entah kenapa jawaban Fabian terdengar begitu menggelitik. Beberapa detik kemudian tawa Liana menyembur. Disambut oleh senyum manis dari Fabian. Merasa senang karena akhirnya bisa membuat Liana tertawa lepas.
Perlahan tangannya terulur, lalu mengusap lembut puncak kepala Liana. Sentuhan itu membawa sengatan tersendiri bagi Fabian. Membuat hatinya menghangat seiring dengan degub jantungnya semakin menguat didalam sana. Menciptakan kebahagiaan walau dengan momen yang sederhana. Fabian selalu suka perasaan ini. Perasaan yang hanya dia rasakan saat bersama dengan Liana.
"Jangan sedih lagi, Lian."
Hal itu disaksikan oleh Kai. Di depan kelasnya, cowok itu memperhatikan setiap interaksi antara Liana dengan Fabian. Kai bersandar pada dinding dengan pandangan yang tidak pernah lepas dari kedua remaja yang sedang tertawa bersama. Terlihat sangat bahagia.
Menghela napas panjang, memberikan pasokan oksigen untuk dadanya yang kian terasa sesak. Ada bagian disudut hatinya yang merasa tidak rela melihat kedekatan Liana dengan Fabian. Kalau saja semuanya dapat berjalan dengan lancar, kalau saja penghalang itu tidak ada. Mungkin dia yang berada disana. Duduk disamping Liana dan melihat senyum manis cewek itu sebanyak yang ia mau.
"Cemburu membakar hati," suara Fano yang baru saja keluar kelas membuat Kai melirik sekilas kearah cowok itu. Sebelum akhirnya kembali memperhatikan Liana dari jauh.
"Lo tuh sebenernya suka kan sama Liana?"
Beberapa saat, pertanyaan itu belum mendapatkan respon. Fano menatap wajah Kai dengan serius. Kai memang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tapi melalui mata legam cowok itu, Fano tahu kalau Kai merasa frustasi. Cemburu namun tidak dapat melakukan apapun.
"Gue gak tau,"
Fano mendengus mendengarnya. "Seberapa keras pun lo menyangkal. Tetep aja, perasaan lo itu ya cuma lo sendiri yang paling tau."
"Kalau pun gue bilang gue suka sama Liana. Itu gak akan bisa ngerubah apapun kan, No?" Kai menoleh sebentar pada Fano. "Lo sendiri tau alasannya."
Fano mengangguk beberapa kali lalu ikut menyandarkan tubuhnya disebelah Kai. "Jadi lo pilih lepasin Liana?"
Pertanyaan Fano membuat Kai langsung menoleh penuh pada cowok itu. Tidak terima dengan perkataan Fano. Fano mengangkat sebelah alisnya. Menatap Kai penuh tanya.
"Gue gak bilang gitu."
"Loh.. Tapi omongan lo tadi seakan lo gak pernah berniat buat memperjuangkan Liana. Lo udah menyerah dengan keadaan."
"Bukan gitu, lo gak ngerti posisi gue, No."
Fano terkekeh sambil bersedekap dada. "Gak akan ada yang memaklumi posisi lo. Karena dari awal lo memang udah salah. Lo tau kalau lo gak bisa lepasin dia, tapi kenapa lo masih deketin Liana?" Tanya Fano dengan sinis.
"Hidup itu tentang pilihan, Kai. Lo gak bisa milih dua orang sekaligus. Choose or lose. Salah satu dari mereka berhak bahagia meski bukan sama lo. Ketika lo udah memilih salah satu, maka lo harus siap kehilangan yang lainnya." Melihat Kai hanya diam, Fano memilih pergi dari sana. Membiarkan Kai memikirkan perkataannya.
Fano bukannya ingin menghakimi Kai, hanya saja dia tidak mau temannya menjadi brengsek karena terlalu egois. Fano tahu kalau Kai juga tersakiti disini. Tapi tetap saja, sebagai laki-laki Kai harus bisa mengambil keputusan. Bukan malah membiarkan semuanya berjalan dengan tidak jelas. Pilih salah satu, dan ikhlaskan yang lainnya. Walaupun akan terasa berat diawal, setidaknya seiring berjalannya waktu semua akan membaik.
Paling tidak, Fano hanya bisa membantu dengan menyadarkan cowok itu.
Kai mengusap wajahnya gusar. Perkataan Fano menambah beban pikirannya. Tapi, Kai tidak dapat menyangkal karena perkataan Fano benar adanya. Cepat atau lambat, dia harus membuat keputusan. Kai sadar betul akan hal itu. Hanya saja, dia masih terlalu pengecut.
Ia mencintai Liana, hanya saja waktunya tidak tepat. Ada orang lain yang harus ia jaga dan tidak bisa ia tinggalkan. Terdengar brengsek bukan? Tapi memang begitu kenyataannya. Benar kata Fano, dari awal ini semua memang salahnya. Dia tidak bisa menahan perasaannya pada Liana. Mendekati cewek itu walaupun ia tahu kalau semuanya tidak akan berakhir dengan indah. Saat itu dia hanya terlalu menikmati kebahagian yang ditimbulkan oleh Liana dan melupakan segalanya. Tanpa berpikir bahwa Liana akan tersakiti nantinya.
Dengan egois Kai meminta Liana tetap berada disampingnya tanpa mau memberi kepastian. Dan berlindung dibalik kata teman agar cewek itu tidak pergi. Tanpa memikirkan kalau Liana hanya akan terluka. Selama ini dia terlalu mementingkan perasaannya sendiri. Bertingkah seolah dia yang paling tersakiti disini.
Kai meluruh ke lantai, meremas rambutnya dengan keras. Kai memang bisa memilih. Tapi dia merasa seperti tidak memiliki pilihan. Karena meninggalkan gadis itu adalah hal yang tidak bisa dia lakukan. Kalau memang harus meninggalkan salah satu, maka Liana lah jawabannya. karena Liana masih memiliki banyak hal yang dapat dia lakukan sendiri.
Pertanyaannya adalah, apakah dia siap kehilangan Liana?
--TBC--
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOOSE OR LOSE
Teen FictionSeandainya kamu tahu. Satu saja perlakuan manis yang kamu berikan kepadaku, menumpuk begitu banyak harapan besar dihatiku. -Liana Arabella Syandana Kailendra Alderio, laki-laki tampan yang setahun belakangan ini memenuhi hati seorang gadis remaja be...