15. Teman biasa?

83 15 14
                                    

Kalau memang tidak pernah berniat untuk bersama, seharusnya dari awal jangan mendekat. Jangan bertingkah seolah kita memiliki mimpi yang sama. Kamu tahu? Ini bahkan jauh lebih buruk dari pada saat dimana aku masih memperhatikanmu dari jauh, dan mencintaimu dalam diam. —Liana Arabella Syandana.

*****

Orang bilang cinta pertama itu tidak akan pernah berhasil. Saat itu, Liana merasa perkataan itu sama sekali tidak benar. Saat itu, dengan percaya diri Liana mengira bahwa cinta pertamanya akan terwujud. Kailendra Alderio, cowok itu memiliki perasaan yang sama dengannya.

Tapi ternyata, keyakinan itu patah hanya dalam satu hari.

Benar kata Fano. Ekspetasi tidak pernah seindah realita. Oleh karena itu, kita jangan hanya memikirkan yang indah-indah saja. Tapi pikirkan juga hal terburuk. Liana sadar, dia terlalu bodoh untuk mengerti. Dia terlalu berekspetasi tinggi, bahwa dirinya dan Kai bisa bersama. Hanya karena cowok itu memperlakukannya dengan manis, Liana langsung menyimpulkan kalau cowok itu juga menyukainya.

Tapi... Ini semua bukan salahnya kan? Kalau saja Kai memperlakukannya sama seperti yang lain, Liana tidak akan pernah berharap. Setidaknya dia tahu batasannya.

Bunyi gerbang yang terbuka membuat lamunannya buyar. Liana memutar badan, melihat gerbang besar yang semula tertutup kini terbuka setengah.

Hari ini, Liana menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Bahkan sebelum sang penjaga keamanan.

"Pagi banget Neng datangnya." Ujar Pak Jarwo, penjaga keamanan sekolah.

"Iya, Pak. Ada piket." Balas Liana sambil tersenyum tipis.

Pak Jarwo mengangguk. "Oh gitu, toh. Rajin ya, saya saja baru datang." Kata Pak Jarwo di iringi tawa ringan. "Kasian si Eneng. Kelihatan masih ngantuk gitu."

"Eggak, Pak. Saya nggak ngantuk."

Pak Jarwo menyipit, nampak tidak percaya dengan omongan Liana. "Lho itu kok matanya merah. Bengkak juga." Laki-laki paruh baya itu menunjuk kedua mata Liana bergantian. "Ohh bapak tahu! Pasti habis diputusin sama pacarnya, ya? Iya, toh? Hayoo ngaku,"

Liana meringis melihat Pak Jarwo yang sedang melemparkan senyum ejekan padanya. Kenapa malah di interogasi begini?

"Ah, enggak! Ngarang nih Pak Jarwo. Udah ah saya mau masuk." Setelah menyalimi tangan Pak Jarwo, Liana langsung berlari memasuki gedung sekolah.

Sebelum memasuki kelas, Liana terlebih dahulu pergi ke kamar mandi. Memperbaiki penampilannya yang kata Pak Jarwo seperti habis diputusin pacar ini. Boro-boro diputusin, pacaran saja belum. Yang ada malah ditolak bahkan sebelum dia selesai mengungkapkan empat kata 'gue suka sama lo'. Segitu tidak ingin kah cowok itu disukai oleh Liana?

Sial, memikirkannya saja selalu mampu membat sudut hatinya ngilu.

Liana membasuh wajah berkali-kali. Berharap wajahnya bisa sedikit membaik. Tapi nihil, matanya masih saja tampak memerah dan bengkak. Kenapa harus menangis semalaman sih?

Liana menopangkan kedua tangannya di tepi westafel, lalu memperhatikan wajahnya di cermin besar yang berada tepat di hadapan. Liana menghela napas panjang. Bahkan setelah menumpahkan kesedihannya semalaman, dadanya masih saja terasa sesak.

CHOOSE OR LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang