20. Sebuah Fakta.

78 16 34
                                        

Hari libur yang membosankan. Begitulah Liana menyebut hari ini. Biasanya ada Aubrey yang tidak pernah absen menginap dirumahnya. Tapi kali ini cewek itu bilang sedang ada urusan mendadak. Entah penting atau tidak karena Aubrey pun enggan memberitahu dirinya.

Liana menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon. Suasana sepi ditemani oleh lagu Juicy-Jemari yang mengalun sukses membuatnya mengingat perdebatannya dengan Kai tempo hari. Lalu berakhir dengan suasana hatinya yang menjadi mellow. Ibaratnya Liana itu sekarang seperti kayu keporos. Mudah rapuh. Pokoknya sudah cocok disebut sebagai sadgirl.

Ditengah mesra kau dan dia ku berada

Kau enggan berjanji

Tapi tak mau pergi

Liana menghela napas. Entah kenapa ia merasa lirik itu begitu pas dengan kisahnya saat ini. Kai yang tidak mau memberi alasan tapi tidak mau Liana pergi. Sampai sekarang Liana masih ingin tahu alasan itu.

Sejujurnya, kalaupun memang alasan itu bisa membuatnya sakit hati, Liana tidak akan masalah. Karena memang perasaannya adalah tanggung jawabnya sendiri. Liana tidak akan membebani Kai untuk hal itu. Setidaknya Kai mau berterus terang. Itu saja sudah cukup bagi Liana. Walaupun sakit, Liana mungkin akan mencoba untuk mengerti.

Ini memang pertama kali bagi Liana mencintai sesorang. Liana belum memiliki pengalaman dalam kisah romansa. Tapi setidaknya dia cukup mengerti, bahwa perasaan seseorang itu tidak bisa dipaksakan. Jadi kalau memang perasaannya tidak berbalas, Liana pun tidak akan egois. Dia akan tahu diri untuk bergerak pergi dan melepaskan.

Seharusnya Kai tidak perlu membuat semuanya menjadi begitu rumit dan membingungkan.

"ASTAGFIRULLAH ABANG!!" Teriakan membahana sang bunda dari lantai bawah membuat Liana terlonjak kaget. Jantungnya langsung berdetak dengan cepat. Perasaannya mendadak menjadi tidak tenang. Seolah ada alarm tanda bahaya, Liana langsung berlari kencang untuk memastikan keadaan Revan.

Sesampainya dilantai bawah Liana langsung disambut dengan wajah panik kedua orangtuanya. Bundanya sedang memangku kepala Revan yang tidak sadarkan diri. Sedangkan sang Ayah mengguncang badan Revan berharap hal itu bisa membuat anak sulungnya sadar.

"Abang!!" Teriak Liana panik sambil berlari menghampiri kedua orangtuanya.

"Badannya panas banget, Yah. Lebih baik kita bawa kerumah sakit." Ujar Bundanya yang diangguki oleh sang Ayah.

*****

"Lo tuh udah tau punya magh makan yang bener bego!" Ceramah Liana pada Revan yang terbaring dibangsal rumah sakit. Cowok itu sedang memakan jeruk yang baru saja dikupas oleh bundanya.

"Adek ngomongnya!" Liana merengut mendapat pelototan tajam dari sang Bunda. Sedangkan Revan malah tersenyum puas.

"Cie, Adek, khawatir banget sama Abang." Goda Revan sambil menaik turunkan alisnya.

Liana mendengus. "Najis."

"Dih, ngaku aja deh lo. Pasti nangis kan tadi??"

"Matamu!"

"Nangis kan Bun tadi si Adek?" Tanya Revan pada bundanya.

"Mana ada dia nangis. Tadi pas kamu belum sadar dia malah sibuk bolak balik jajan didepan rumah sakit."

Kini gantian Revan yang merengut. Lalu mendelik tajam pada Liana. "Najis. Adek macem apaan lu! Gak sayang abang!"

CHOOSE OR LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang