Tahu perihal untaian kalimat dari James Hutton? 'The present is the key to the past', itu teori yang Hutton sebutkan pada sejarah perkembangan bumi yang isinya tentang hukum sebab-akibat. Untaian kalimat tadi tidak hanya berlaku untuk perkembangan b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jakarta, Rumah Aksa, 13 April 2019.
BMW X1 dengan mesin yang terlihat baru saja dimatikan itu masih terparkir tepat di halaman rumah Aksa, tumben sekali papanya jam segini baru pulang. Tadi, setelah menghabiskan sepiring sukun tepung goreng, pisang goreng, dan sebungkus nasi padang yang diberikan Dara di Warung Emak, Aksa memutuskan pulang ke rumah.
"Papa baru pulang, Kang?" tanya Aksa setelah cowok itu melepas helm dari kepala, cowok itu bergantian menatap Kang Engkus yang sedang menikmati kopi hitam kental tepat di depan pos jaga.
Kang Engkus mengangguk. "Iya, baru aja."
Aksa mengembuskan napasnya, ini artinya bisa saja ia bertemu dengan papa jam segini.
Ruang tamu yang jarang didatangi tamu itu lengang. Bahkan, sobat-sobat Aksa juga jarang datang kerumahnya, kedatangan mereka tentunya bisa dihitung dengan jari.
Rumah Aksa selalu sepi, apalagi halaman belakang yang terhubung langsung dengan dapur tidak pernah lagi Aksa sambangi. Sepengetahuan Aksa, hanya Bi Ina dan Kang Engkus yang merawat beberapa tanaman di sana, sesekali juga Aksa memergoki Tante Ami sedang menyiram bunga-bunga yang sudah diambang kelayuan setiap sore sewaktu Aksa sudah berada di rumah. Rumah Aksa hanya akan ramai jika suara tangisan bayi dari kamar bawah terdengar setiap pagi atau malam-malam dini hari.
"Kamu baru pulang?" tanya seorang wanita dengan setelan pakaian tidur itu mengejutkan Aksa, di tangannya terdapat sebotol susu formula yang sudah diseduh. Sepertinya sedang ia siapkan untuk bayinya yang terus saja menangis karena kehausan.
Aksa mengangguk kemudian tidak berniat untuk banyak basa-basi. Ia merasa asing.
"Mau Mama buatin makanan?"
Aksa yang baru saja mencapai anak tangga ketiga itu menghentikan langkahnya. "Nggak usah Tante, Aksa tadi udah makan di warung," tolaknya sehalus mungkin.
Aksa masih sempat mendengar helaan napas pendek sesaat setelah ia menolak tawaran Tante Ami, seorang wanita yang seharusnya ia sebut sebagai mama.
Pintu jati dari ruang kerja papa di lantai dua yang letaknya tidak jauh dari kamar Aksa terbuka sedikit. Sebenarnya, Aksa tidak begitu penasaran dengan apa yang dilakukan papanya malam-malam begini. Tumben sekali papanya itu pulang lebih awal dan memilih menghabiskan waktunya di ruang kerja.
Jiwa penasaran Aksa muncul setelah mendengar samar suara helaan napas secara berulang. Akhirnya ia memilih mengintip sedikit dari balik celah, mendapati seorang pria dengan setelan kemeja cokelat muda yang kusut beserta jas yang sudah beliau tanggalkan sedang memijat kepalanya sendiri, Aksa hanya mampu memperhatikan dalam diam. Jelas sekali ada banyak hal yang sedang papanya pikirkan.
Setelah kematian mama empat tahun lalu, hubungan keduanya merenggang, jelas keduanya kehilangan sandaran paling kuat dalam hidup mereka. Kehilangan pilar yang menopang hidup benar-benar menjadikan hari-hari keduanya tujuh kali lipat lebih berat dari hari-hari biasa sebelum pilar penopang itu roboh.