"Kak."
Aku mendongak. Menemukan adik kelasku berdiri dengan sorot mata sedih.
Ah, iya, siapa memang yang tidak sedih? Ini hari pemakaman Beomgyu, adikku.
Choi Beomgyu, kamu pergi dengan membawa hati semua orang. Semoga itu cukup membahagiakanmu di alam sana ya.
Lia beranjak, seperti tahu kalau aku memang butuh bicara berdua dengan lelaki ini.
Aku tersenyum paksa, "Hai, Taehyun."
"Kak, aku turut berduka." Dia duduk di sebelahku, ikut merasa sedih.
Aku mengangguk. Paham kalau Taehyun juga merasa kehilangan. Beomgyu adalah teman kecilnya.
Taehyun baru pindah kembali ke daerah ini malam itu. Mereka belum sempat bertemu, tapi Beomgyu sudah pergi lebih dulu.
Dasar tidak sabaran. Setidaknya sapa Taehyun. Kasihan dia.
"Kak," panggilnya lagi.
Aku melirik. Taehyun mengeluarkan kertas bergambarkan beruang yang tengah tersenyum lebar.
Beruang.
Objek pertama yang diajarkan Beomgyu pada Taehyun untuk digambar. Mereka menggambar bersama sama sejak kecil, sampai Taehyun pindah rumah.
Ayolah, Yeonjun. Kamu sudah berjanji untuk tidak menangis lagi di sini.
Aku memaksakan senyum palsu, mendengar suara Taehyun yang tercekat karena menahan tangis.
"Padahal aku sudah bertekad untuk tidak menangis hari ini," celetukku.
Taehyun terisak, "Aku belum sempat memamerkan hasil gambarku, kak."
"Beomgyu memang tidak sabaran." Aku mengusap bahu Taehyun pelan.
"Terima kasih, ya, kamu masih ingat Beomgyu."
"Bagaimana bisa melupakan seorang seperti dia?"
Benar.
Tidak ada yang bisa melupakan manusia cerewet itu.
◍◍◍
Aku ada janji dengan Taehyun hari ini. Membantunya mengerjakan proyek. Kebetulan, kami di jurusan yang sama.
Cafe bergaya minimalis sederhana ini memang tipikal Taehyun sekali. Tidak heran dia minta bertemu di sini.
Aku duduk setelah melihat Taehyun di sudut cafe. Mengobrol sebentar hingga seorang gadis pelayan datang untuk membawakan minuman.
Suaranya... tidak asing.
Aku menoleh cepat, bertatapan dengan Yoora, pacar Beomgyu yang kabarnya hilang ingatan.
Ini takdir sial... atau untung?
Prang!
Sepertinya takdir sial.
Aku berusaha untuk pura pura tidak mengenalnya, seakan kami baru pertama kali bertemu.
Padahal sejujurnya aku ingin memeluknya. Lega adikku baik baik saja.
Menetralkan jantungku yang berdebar semangat, aku hanya sedikit membantunya dalam memungut pecahan kaca.
Yoora terlihat pucat.
Apa dia baik baik saja?
Atau teringat sesuatu?
◍◍◍
"Sia—oh?"
Aku membeku melihat Yoora berdiri di ambang pintu rumahku. Jantungku seperti berhenti sejenak melihatnya.
Apa ini?
Apa sandiwaranya sudah selesai?
Aku melirik Lia dan Soobin di belakang Yoora. Gelisah. Kalau tidak ada jawaban, aku akan menutup pintunya dan mengatakan kalau dia salah rumah—
"Kak."
Sungguh, apa itu halusinasi?
"Kak Yeonjun, aku sudah ingat."
Rasanya ingin menangis. Aku menatap Yoora tidak percaya. Melihat titik titik air matanya saat dia menjelaskan.
Tidak tahan, aku menariknya ke dalam pelukanku. Beban yang aku rasakan hilang begitu saja. Perasaan lega mengambil alih hatiku.
"Aku senang kamu baik baik saja."
Yoora menangis, terisak di pelukanku. Dan aku juga tidak kuat menahan segalanya.
Aku menangis.
Maaf, Beomgyu, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Rasanya berat.
"Aku tidak sanggup kalau harus kehilangan dua adikku sekaligus."
Yoora meraung, membisikkan nama Beomgyu dan memanggilku terus.
"Tidak apa apa, aku di sini. Kakakmu di sini, Yoora."
Bagaimanapun, Yoora tetap menjadi adikku.
◍◍◍
Aku tidak kuat mendengar erangan pilu Yoora. Sudah lama, tapi masih terasa menyakitkan.
Gyu, banyak orang yang hancur karena kepergianmu, bahkan setelah berbulan bulan lamanya.
Lagi, aku menangis.
Aku menyingkir dari sana, masuk ke mobil karena tidak kuat menahan tangis.
Samar, aku melihat perawakan Taehyun yang mendatangi makam Beomgyu. Ah, seandainya dia tahu kalau Yoora adalah mantan pacar teman masa kecilnya.
Bolehkah aku menitipkan Yoora-mu pada Taehyun, Gyu?
[extra - fin]
KAMU SEDANG MEMBACA
crash • txt [✔]
Fanfic[short chapter] "aku tidak mengingatmu. tapi kenapa aku merindukanmu?" "𝚒'𝚖 𝚜𝚘𝚛𝚛𝚢 𝚒 𝚌𝚘𝚞𝚕𝚍𝚗'𝚝 𝚖𝚊𝚔𝚎 𝚒𝚝." [txt w/ oc] copyright, 2020.