Dira keluar dari ruangan Ai dengan wajah merunduk, sambil membawa kantong kertas berisi smartphone yang baru saja dia terima. Dia mengacuhkan semua orang yang bertanya, bahkan Ben dan Janu.
"Dira, kenapa diam saja, sih?" Tanya Ben kesal. "Kamu nggak dipecat sama Mbak Ai, kan?"
Dira menggeleng, lalu berkata "Ben, antar aku pulang, dong," ucapnya dengan tetap merunduk.
"Boleh," balas Ben, senang.
Hari itu berlalu dengan renungan cukup dalam bagi Dira, ada bermacam prasangka buruk pada atasannya yang ternyata salah, saking malunya Dira hanya bisa diam bahkan ketika sedang ada di rumah, nyaris tak seperti Dira yang biasanya.
"Nak, kenapa dari tadi kamu diam saja?" Tanya ibunya. "Apa kamu dipecat lagi?" Lanjut ibunya bertanya.
"Tidak, buk, malah bos saya itu terlalu baik," ucapnya.
"Ya bagus, dong. Kamu bisa belajar banyak dari dia. Siapa tahu bisa dapat cipratan suksesnya," ucap ibunya. "Kepala kamu gimana? Masih sakit?"
"Sudah mendingan, buk, habis ini minum obat," jawab Dira.
"Ya sudah, habis ini segera istirahat," saran ibunya, sembari memberikan segelas air putih.
***
Sore berakhir, berganti malam yang mendapat giliran untuk melayani alam. Suasana hati Dira masih galau, dia mulai berpikir bahwa selama ini ternyata dia belum cukup mampu untuk melindungi dirinya sendiri.
"Yang, kamu kenapa, sih?" Tanya Hikam pada istrinya, yang terlihat lebih diam dari biasanya.
"Mas, aku boleh tanya, nggak?"
"Mau tanya apa?"
"Bagaimana kamu melakukan semuanya?" Tanya Dira.
"Melakukan apa?"
"Selalu mendukungku meskipun aku juga selalu gagal. Kamu juga mau tinggal bersama orang tuaku, mengurus mereka seperti orang tua kamu sendiri. Kamu bahkan tetap menerimaku apa adanya meskipun belum pernah melahirkan seorang anak dalam rumah tangga kita," kata Dira.
"Sini," kata Hikam, meminta Dira untuk duduk di sampingnya. Lalu dia genggam tangan istrinya. Sambil berkata, "Aku hanya menjaga apa yang kumiliki, termasuk diriku sendiri, aku selalu menggali versi terbaik dari diriku, bekerja dengan baik semaksimal kemampuanku, menjaga dengan baik orang-orang yang menjadi tanggung jawabku. Mencintai dengan baik apa adanya dirimu. Aku tidak akan pernah menghancurkan diriku sendiri. Egois, kan? Aku, adalah orang yang tidak pernah bekerja demi orang lain."
Dira terharu mendengar penjelasan suaminya. Semakin terharu ketika dia mengingat bahwa dia akan meninggalkan suaminya itu untuk waktu dua bulan.
"Mas. Boleh peluk, nggak?" Ucapnya.
"Sini," balas Hikam sambil membuka lebar kedua tangannya.
"Nanti aku pasti kangen banget sama kamu," ucapnya dalam pelukan suaminya. Dalam hatinya kemudian berkata, "Ternyata selama ini aku tidak cukup baik dalam mengenali diriku sendiri, nyaris selalu menghancurkan diri sendiri hanya karena anggapan bahwa aku mampu. Mungkin karena itu juga, hingga usia 30 tahun aku belum pernah mendapatkan pencapaian apa pun, selain dicintai oleh pria ini." Semakin erat dia peluk suaminya itu.
"Yang, besok jalan, yuk," kata Hikam sambil menunjukkan sebuah kunci mobil.
"Mas, nggak mungkin, kan, kamu beli mobil?" Ujar Dira kaget.
"Ya, nggak, lah, yang. Bulan ini ada margin lumayan dari mie ayam, aku sudah sisihkan buat Bapak Ibu, buat kebutuhan-kebutuhan juga. Dan aku sengaja sisakan untuk ajak kamu jalan, pakai mobil sewaan," jelas Hikam. Disusul dengan pelukan girang dari Dira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang TanpaMu
RomanceMelewati usia 30 tahun dengan berbagai dimensi luka dan proses penyembuhannya. Dira 30 tahun bersepakat dengan suaminya untuk menunggu kehadiran buah hati dengan menata lebih dulu kemapanan secara ekonomi. Latar belakangnya yang dari keluarga seder...