Jujur Pada Diri Sendiri

775 76 3
                                    

Hari yang ditunggu pun tiba, Ai dan Dira berangkat bersama dalam satu pesawat, meski ini pertama kalinya bagi Dira, tapi dia bukanlah orang yang bodoh, semua petunjuk di bandara dia baca dengan baik, mulai dari menyiapkan KTP, paspor dan tiket, hingga penunjuk jalan dari gerbang ke gerbang. Ai mungkin tahu jika asistennya itu sedikit mengalami kendala beberapa kali, dia tahu persis kalau ini pertama kalinya bagi Dira, tapi Ai tak mau terlalu peduli, menurutnya sikap tersebut demi kenyamanan rekannya.
Saat sampai ruang tunggu Dira terlihat capai, dan memijat kakinya.
“Dir, kamu nyaman, jalan jauh pakai wedges harga delapan puluh ribuan?” Tanya Ai, tanpa basa basi.
“He he,” Dira tersenyum bodoh. “Saya pikir ini perjalanan pertama saya naik pesawat, saya berpikir kalau penampilan saya harus ok, dan sandal wedges ini sandal paling baru yang saya beli waktu lebaran kemarin,” jelas Dira.
Mendengar jawaban itu Ai tertawa. “Dira... Dira, itu cerita paling lucu dalam pekan ini,” komentar Ai, sambil masih tertawa. Lalu Ai tersadar kalau sikapnya itu keterlaluan, dia pun menghentikan tawanya, dan berkata, “Sorry, sejujur itu kamu soal sandal itu.”
“Ya habis gimana?” Kata Dira.
“Ok, sebentar, ya,” ucap Ai, lalu ia membuka koper kabin miliknya. Ternyata Ai mengeluarkan sebuah sepatu slip on ringan, jenis sepatu untuk jalan kaki. “Mungkin ini nomornya pas, sama kamu, kayaknya ukuran kaki kita sama,” kata Ai. Sembari memberikan sepatu itu.
“Nggak usah, mbak, ini masih ok, kok,” kata Dira, canggung.
“Jangan bohong. Saya tahu rasanya salah sandal saat perjalanan jauh,” kata Ai. “Lagi pula kalau kamu mau beli di dalam airport sini, harganya bisa tiga kali lipat,” lanjut Ai. Memaksa Dira untuk mau menerimanya.
“Ok, deh, mbak. Terima kasih,” balas Dira, sambil menerima sepatu tersebut. “Besok akan segera saya cuci dan saya kembalikan,” ucap Dira.
“Santai saja, hanya masalah sepatu,” kata Ai.
Setelah mengenakan sepatu Dira membuka koper nya dan hendak langsung memasukkan sandal murahnya tadi. Namun Ai menghentikannya. “Stop...”
“Kenapa, mbak?” Tanya Dira, heran.
“Itu sandal mau langsung masuk koper?” Tanya Ai.
“Iya, mbak, emang kenapa?”
“Itu sandal sudah habis kamu pakai, dan tadi plastik klip bekas sepatu saya, mau langsung kamu buang?” Tanya Ai.
Dan Dira tersenyum, malu, alangkah bodoh dirinya...!
“Semua pakai aturan, ya, mbak?” Ucap Dira.
“Sebaiknya begitu,” balas Ai. “Dir, kamu percaya sama istilah sepatu yang pas akan membawa pemiliknya pada pekerjaan yang pas,” Kata Ai.
“Saya bahkan tidak pernah mendengarnya,” balas Dira. Nyengir.
“Kalau saya selalu percaya,” kata Ai.
“Kayaknya saya juga mulai percaya, mbak,” balas Dira. “Soalnya sandal yang tidak pas bikin kaki pegel,” lanjutnya, dan keduanya tertawa. Dira memperhatikan tawa Ai, yang baru saja dia lihat sejak dua minggu mereka bekerja bersama. Hatinya lega, karena ternyata Ai adalah seseorang yang mudah berkomunikasi. Tak hanya itu, sosoknya sebagai atasan juga cukup menyenangkan, justeru karena memiliki banyak aturan.
***
Tujuh belas jam perjalanan akhirnya berlalu, pukul 16:52 waktu saudi kedua perempuan itu sudah sampai di King Abdul Aziz airport jeddah. Bagi Ai yang sudah terbiasa ke luar negeri mungkin biasa saja, tapi bagi Dira, semua terasa mengagumkan. Saat keluar dari pesawat Dira pandang sepatu bagus yang ia kenakan, dia tersenyum, memang sangat nyaman dipakai. Untuk berjalan jauh di bandara pun tak terasa sakit di kaki. Selesai dari imigrasi dan cap paspor mereka mengambil barang bagasi dan keluar. Mata Ai langsung mencari sebentuk wajah yang selama ini dia rindukan. Dan dia lihat wajah itu sudah tersenyum di hadapannya, sembari membuka pelukan selamat datang.
“Marhaba ya bint...! (Selamat datang, putriku.)” Ucap papanya sembari memeluk Ai.
“I love you dad,  i miss you so much,” balas Ai, yang seolah tak tahan menahan kerinduan pada papanya.
“Miss you too,” balas papanya.
Lalu Ai mengenalkan Dira pada pada ayahnya. Setelah itu mereka segera masuk mobil dan lanjut perjalanan ke apartemen tempat papanya Ai tinggal.
“Makan di rumah saja, ya, Ai,” Kata papanya.
“Papa masak?” Tanya Ai.
“Mana mungkin papa masak, beli lah, tapi sudah disiapkan sama pak Mo,” jelas papanya.
“Pak Mo masih lengket aja, pa?” Tanya Ai.
“Iya, mau netep di Amerika katanya nggak nyaman, sudah tua,” kisah papanya, sambil tertawa.
“Inget, nggak, pa, waktu pertama kali pak Mo datang sama saya ke amerika?” Tanya Ai. Lalu belum menjawab papanya malah sudah tertawa.
“Inget banget, lah,” kata papanya.
“Masak ya, dia bilang gini, ini bandaranya dekat pantai ya?” kisah Ai.
“Hahaha,” tawa papanya. “Padahal waktu itu kan kita datang pas musim panas,” lanjut papanya, masih sambil tertawa. Mendengar obrolan mereka Dira baru paham, dan ikut tertawa.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah papanya. Sebuah rumah yang di saudi disebut dengan tipe villa. Cukup terkejut saat Ai masuk rumah, karena dari luar terlihat biasa saja, mungkin seperti kebanyakan rumah di saudi, yang dari luar terlihat berwarna coklat tanah dan kokoh, tidak ada kesan terlalu moderen dari luar. Tapi ternyata mewah di dalam, bahkan ada kolam renang juga, ruang tamu luas, pagar tinggi, ada taman di dalam. Rumah satu lantai, kamar tiga, masing-masing ada kamar mandi.
“Wah, berapa duit, nih, pa?” Tanya Ai, sembari melihat-lihat luas rumah.
“Kalau beli, ya, sekitar 790.000 SR, lah. 3 M kalau duit kita,” kata papanya.
“Wah, sudah banyak duit, pa? Bukannya di sini WNA nggak bisa menyimpan banyak kekayaan, ya?” Telisik Ai.
“Kamu pikir ini beli?” Kata papanya.
“Lalu?”
“Ini sewa, per tahun harusnya 65 SR, tapi pihak perusahaan yang pakai jasa desain papa yang bayar sewa,” kisah papanya.
“Ini aman terus, ya, pa? Maksud saya nanti jangan-jangan di tengah jalan mereka memutus pembayaran,” kata Ai.
“Orang sini pegang hukum syariah. Komitmen sama janjinya tinggi,” kata papa. Dan Ai mengangguk setuju.
“Assalamualaikum... Ai, masih ingat sama Pak Mo, nggak?” Seorang laki-laki usia 50 an memakai kaos oblong warna putih dan celana jeans keluar dari balik ruang dapur, datang menyapa Ai.
“Mana mungkin Ai lupa, pak,” jawab Ai akrab.
Kehangatan malam itu semakin meriah dengan suguhan makanan arab yang disiapkan oleh Pak Mo, mereka berempat saling berbicara, memgenang kisah-kisah lucu, tertawa bersama, dan Dira juga diperlakukan seperti kerabat dekat, saat berkumpul dengan sesama orang indonesia di luar negeri memang selalu hangat. Mungkin karena jauh dari rumah.
Usai makan mereka membereskan semuanya, setelah itu papanya menunjukkan kamar yang sudah disediakan, Ai dan Dira akan tinggal sekamar selama berada di kota jeddah. Dira lebih dulu masuk kamar dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara itu Ai masih mengobrol dengan ayahnya di ruang tea bar.
“Papa sehat-sehat saja, kan?” Tanya Ai, tentang kesehatan papanya.
“Ya, seperti yang kamu lihat. Tadi bahkan papa bisa jemput kamu ke bandara,” kata papanya.
“Syukur, deh, kalau begitu. Soalnya saya lihat papa terlihat semakin tua dari saat terakhir kita ketemu,” kata Ai.
“Obviously, dong sayang, 9 tahun kita nggak ketemu,” kata papanya. “Itu kan waktu...” ucapan papa terputus.
“Waktu Ai membatalkan acara lamaran, dan itu sangat memalukan,” kata Ai, penuh beban.
“Hei... Orang dewasa selalu memiliki keputusan tepat untuk dirinya sendiri, isn't it?” Kata papanya, seraya memegang dua belah pipi putrinya, dengan tatapan penuh makna.
“Dad... i really miss the way you look at me like that,” kata Ai.
“Papa juga.”
Keduanya lalu menghabiskan teh susu yang ada di hadapan  mereka, dan setelah itu kembali ke kamar masing-masing.
Di kamar awalnya Dira pikir akan canggung tinggal sekamar dengan boss-nya, namun ternyata kamar yang cukup besar itu memiliki dua ranjang tidur ukuran single yang cukup untuk menjaga privasi masing-masing, apa lagi penataannya juga sangat nyaman, jarak antara dua ranjang dipisahkan oleh meja rias dengan lebar 120 Cm, sedangkan sisi ranjang yang lain dari masing-masing memiliki meja kerja. Sehingga meski dalam sekamar tinggal dua orang semuanya masih terasa cukup pribadi. Kamar itu sengaja di desain demikian oleh papa Ai sekitar dua pekan lalu, saat Ai mengatakan akan datang bersama teman perempuan dan tidak bersama Janu. Jadi tidak perlu repot menyiapkan dua kamar. Namun papanya juga paham betul bahwa Ai adalah orang yang sedikit tertutup, karena itu interiornya dibuat demikian.
Malam semakin larut, Ai sudah tertidur, sedangkan Dira masih belum bisa memejamkan mata. Dia renungkan segala kenikmatan yang dirasakan hari ini, ingatannya terbang ke rumah, tentang kedua orang tuanya, juga suami tercinta. Sejak tiba dia belum bisa menghubungi orang rumah, untuk sekadar memberi kabar jika dirinya sudah tiba dengan selamat. Atau mungkin juga dia tidak bisa tidur karena jet lag, jam internal tubuhnya belum sinkron dengan zona waktu setempat. Merasa benar-benar tak bisa memaksa diri untuk tidur dia putuskan untuk keluar kamar, menuju mini bar, untuk mengambil air minum di kulkas. Saat menutup pintu kulkas tetiba dia dengar suara “Gubrak...” dari kamar yang pintunya sedikit terbuka, dia tahu itu adalah kamar Pak Toha (papa Ai). Tanpa menunggu dia langsung memberanikan diri untuk masuk, dia lihat posisi Pak Toha terjatuh di lantai.
“Inna lillah...!” Pekik Dira, dan dia langsung membantu pak Toha untuk bangun.
“Terima kasih,” kata Pak Toha dengan suara yang terdengar menahan rasa sakit. “Maaf, merepotkan,” lanjut Pak Toha setelah Dira membantunya duduk.
“Saya juga minta maaf, tadi nyelonong masuk,” balas Dira.
“Jangan bilang sama Ai, ya!” kata Pak Toha.
“Bapak sakit apa?” Tanya Dira. Saat Pak Toha membuka luka di kaki kanan Pak Toha. “Itu lukanya bisa parah, gitu?” Tanya Dira, ngilu.
“Setahun lalu Bapak pasang pen, karena patah tulang, ada insiden di tempat kerja,” kisah Pak Toha.
“Dan Mbak Ai sama sekali tidak tahu?” Tanya Dira, heran.
“Dia ke sini untuk bekerja. Saya tidak mau membebani,” kata Pak Toha.
Dira hanya menghela napas, menanggapi. Lalu dia perhatikan perban kaki Pak Toha sudah penuh dengan darah.
“Saya bantu ganti perban, ngga masalah, kan, pak?” Tanya Dira. “Bapak beri tahu apa saja yang harus saya lakukan,”  lanjutnya. Dira memang orang yang hangat pada siapa pun, mungkin pengaruh juga dari latar belakang keluarga dan pendidikan. Tidak ada canggung apa lagi abai.
“Kamu sudah menikah, nak?” Tanya Pak Toha, selagi Dira merawat lukanya.
“Sudah, pak,” jawab Dira.
“Pernikahan itu tidak selalu mudah. Yang paling penting adalah jujur pada diri sendiri,” kata Pak Toha, menasihati.
“Lalu, apakah pergi dari mbak Ai dan ibunya juga termasuk cara jujur pada diri sendiri?” Dira bertanya tanpa kontrol. “Maaf, pak. Tidak perlu dijawab,” balasnya sendiri, karena merasa terlalu berterus terang.
“Tidak masalah. Saya akan memberikan jawaban,” kata Pak Toha. “Ketika kesempatan untuk sebuah kejujuran itu tidak ada, maka saya berusaha menemukan kejujuran lain di dalam tujuan hidup. Apa lagi kalau bukan mati husnul khotimah? Dan kesempatan bekerja di saudi membuat saya semakin mengerti arti kematian bagi kehidupan.” Jelas Pak Toha, sembari tersenyum.
Jujur pada diri sendiri itu tak semudah ucapannya. Terkadang yang terlihat memiliki banyak keberhasilan, justeru karena pandai memanipulasi perasaan dan keadaan. Demikian ibanya Dira memandang keluarga bosnya, semuanya hidup dengan keputusan masing-masing, dan tidak boleh saling mengusik.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang