Semoga segala kebaikan bagi siapa saja yang baca sampai bab ini..
Dalam bab 12 ini ada sedikit topik pembicaraan yang sedikit sensitif mengenai sebuah isu sosial... Semoga berkenan....
🙂🙂🙂Dira tak ingin banyak berpikir, dia pun minta nasihat pada suaminya agar dirinya tak lagi ragu pada kesempatan yang telah datang kepadanya. Terlebih setelah dia baca sendiri materi yang diberikan oleh atasannya, sangat sederhana dan mudah dipahami, apalagi setelah Ai benar-benar mengajaknya ke lokasi kemudian berkenalan dengan pimpinan tukang yang ada, mulai dari perkayuan, dalam hal ini berkaitan dengan furnitur. Mandor lantai, dinding, atap sampai pencahayaan, ada lagi devisi decorating, yang dalam pekerjaannya berkaitan dengan keindahan ruangan, seperti penggunaan karpet, pilihan bentuk lampu, juga wallpaper. Ai juga memberikan pengetahuan dasar, seperti pemasangan lantai yang benar dan yang salah, pengecatan dinding yang benar dan yang salah, serta berbagai fungsi pilihan warna yang disesuaikan dengan kegunaan ruang tersebut.
“Dira, barusan papa WA, katanya kita makan malam di rumah Ami Usman,” kata Ai. Setelah mereka menyelesaikan pekerjaan pada hari itu
“Baik, mbak. Terus ini kita langsung, apa pulang dulu?” Tanya Dira.
“Pulang dulu, lah,” jawab Ai.
“Baik. Saya akan pesan taxi,” kata Dira.
“Hey, ladies... you need a ride home?” Tanya Azura yang tetiba muncul di antara mereka.
Secara bersamaan Dira dan Ai menjawab dengan jawaban berbeda, “No thanks, i'll order a taxi,” kata Dira. Dan “Ya, why not?” kata Ai, yang berarti dia bersedia.
“Yes, finally...!” Kata Azura, senang. Dira menatapnya aneh, sedangkan Ai hanya tersenyum sambil terus melangkah maju. Sampai di parkiran Azura langsung membukakan pintu belakang mobil bak double kabin toyota hilux miliknya untuk Ai.
“Please ma’am,” kata Azura, mempersilakan Ai untuk masuk.
“Thanks,” balas Ai, sambil tersenyum dan menggeleng atas tingkah laku girang Azura. Sementara itu Dira langsung membuka pintu penumpang bagian depan, dan Azura duduk di jok kemudi. Lalu mobil mulai melaju keluar dari parkiran.
“Masih suka sama mobil gede kayak gini?” Tanya Ai.
“Obviously, i just feel powerful, with this car style,” jawab Azura, bangga.
“Do you buy this car?” Tanya Ai.
“No, i don't. This is a facility from the company,” jawab Azura. “Kamu juga dapat, kan?” Lanjut Azura bertanya.
“Sebenarnya iya, tapi aku minta buat uang muka saja, lebih berguna, perusahaan kami sedang butuh banyak uang,” jelas Ai.
“Ya, as i know you are a kind boss,” komentar Azura. “So, where are we going, now?” Tanya Azura.
“This is a map for the place,” jawab Dira, sambil menunjukkan aplikasi peta dari ponselnya. “Ami Usman’s house,” lanjut Dira.
“Oh, Ami Usman. Arabic man of banjar descent, right?” Tebak Azura, yang masih ingat dengan pertemuan mereka.
“Yup...” balas Dira.
Bertahun-tahun yang lalu Dira pernah merasa tak terlalu berguna dengan berbagai disiplin ilmu yang ia pelajari, bahkan prestasi di bidang bahasa yang pernah ia raih hingga tingkat nasional untuk mewakili sekolah di pesantrennya seolah hanya akan berakhir menjadi guru kursus dengan bayaran seikhlasnya saja, karena dia hanya tinggal di pinggiran kota jakarta yang tentu saja kalah saing dengan tempat kursus bergengsi lainnya. Namun nasib baik selalu menaunginya, Dira menikah dengan pria yang dipenuhi hal positif untuk selalu berbagi kebaikan dengan lingkungannya.Saat Dira sangat kecewa pada dirinya sendiri yang merasa tak pernah mendapatkan pencapaian apa pun seumur hidupnya, suaminya pernah bertanya padanya,
“Dulu, apa yang memotivasi kamu untuk belajar dengan serius di pesantren?”
“Karena saya sudah mendapatkan pendidikan gratis, jadi harus tahu diri, dan bersungguh-sungguh,” jawab Dira.
“Kamu tidak punya cita-cita?” Tanya Hikam.
“Tidak berani muluk-muluk, tapi saat itu saya percaya bahwa ilmu adalah pembuka segala jalan, dan bahasa adalah jendela dunia,” jawab Dira. “Tapi entah lah, saat dewasa, berlahan semua keyakinan berubah. Kurasa estafet kemiskinan ini juga akan menurun padaku,” kata Dira.
“Hey, dulu, jangankan sampai menikah, menemukan jodoh saja, aku takut. Aku yatim piatu, aku juga tidak memiliki warisan apa pun, mungkin ketakutanku terhadap perempuan, sama dengan ketakutan kamu untuk bercita-cita. Dira, bahwa bahasa adalah jendela dunia, aku sangat percaya, namun di dunia ini ada sebuah bahasa yang bisa menembus ruang sang pencipta,” jelas Hikam.
“Apa itu?” Tanya Dira.
“Secara harfiah mungkin bahasa arab, tapi makna yang lebih dalam adalah bahasa doa, bahasa salat, bahasa salawat. Hal yang paling ditakuti sebagai si miskin adalah mimpi besar, namun doa-doa membawaku pada pencapaian hidup yang sekarang bisa disyukuri,” kata Hikam, bijak.
“Apa itu?” Tanya Dira.
“Kamu. Allah kirimkan dirimu padaku untuk menjadikanku pria yang berguna, kamu bahkan mengizinkanku untuk tinggal bersama kedua orang tua kamu selagi aku masih mengumpulkan uang untuk membeli rumah kita. Terima kasih, sudah bersedia menjadi perempuanku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang TanpaMu
RomanceMelewati usia 30 tahun dengan berbagai dimensi luka dan proses penyembuhannya. Dira 30 tahun bersepakat dengan suaminya untuk menunggu kehadiran buah hati dengan menata lebih dulu kemapanan secara ekonomi. Latar belakangnya yang dari keluarga seder...