Akhirnya... bisa melanjutkan lagi...
Selamat membaca...
Ambil baiknya, buang buruknya...
🙂🙂_________🙂🙂"Nu, kamu ajak mama dong," kata Ai, pada Janu dari balik telepon.
"Tapi berangkatnya sudah besok, Ai," jawab Janu.
"Pliiiis, aku pengen banget ketemu mama," kata Ai. "Kamu tenang deh, untuk tiket dan biaya lain-lain aku tanggung," lanjutnya.
"Gila, kamu pikir KIN nggak ada duit?" cela Janu. "Ok deh, ok. Kamu telepon tante, nanti sambil jemput anak-anak di rumah kamu, aku bilang ke tante juga.
"Makasih, ganteng," ucapnya.
"Ih, ada maunya aja, baru bilang ganteng," balas Janu.
Malam yang semakin sepi justeru membuat hati Ai kian buruk, untuk menenangkan diri dia beranjak dari tempat duduk di ruang keluarga, lalu memutuskan untuk berenang. Menenggelamkan diri dalam air, seringkali memberikan ketenangan tersendiri bagi sebagian orang, atau bisa membawa pada kenangan yang sedang diresahkan.Seorang gadis berusia 20 tahun sepulang kerja, berjalan menyusuri trotoar kota New york yang sibuk. Dia hanya ingin melepas penat dengan semua tugas kuliah dan pekerjaan. Dalam balutan kemeja longgar warna abu tua dan motif kotak besar, dipadu dengan celana chinos warna khaki yang sedikit dilipat bagian bawahnya, serta kemeja yang hanya masuk bagian depannya saja. Aisha muda saat itu belum mengenakan hijab, rambut hitamnya yang pendek terurai semakin membuatnya terlihat serasi dalam berpenampilan, ditambah lagi dengan sepatu slip on berwarna full wite kian memberi kesan santai dan dinamis. Langkahnya terhenti di sebuah toko perlengkapan melukis milik orang cina, bukan karena ada keperluan, namun langkahnya terhenti karena pemilik toko marah-marah pada seorang pembeli perempuan, sampai keluar toko, namun si pembeli malah tertawa dan kemudian berlari pergi sembari membawa belanjaan. Ai merasa sedikit penasaran, akhirnya dia mengikuti gadis yang kira-kira seumuran dengannya tersebut. Ternyata dia mengajar lukis suka rela bagi imigran anak-anak dan remaja di taman kota yang berada di kaki jembatan brooklyn. Ai tersenyum memperhatikannya, ia pun berjalan kembali ke toko kuning tadi, menanyakan berapa hutang gadis itu, kemudian membayarnya, Ai merasa bahwa apa yang dilakukan gadis seumurannya tadi adalah hal yang sangat berarti. Keesokan harinya ia kembali ke taman, dan kembali duduk di tempat yang sama, begitu juga keesokannya lagi, Ai merasa senang melihat anak-anak imigran itu tersenyum dan tertawa senang dengan pembelajaran yang diberikan gadis muda yang belum ia kenal itu. Kali ini usai mengajar gadis itu duduk tepat di sebelahnya.
"You can join us, if you want," kata gadis itu, seolah ternyata dia juga memperhatikan Ai.
Ai tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "I'm Aisha."
"Nama saya Azura," jawabnya dengan bahasa indonesia.
"Speak bahasa?" Tanya Ai.
"Little," jawab Azura. "Saya keturunan indonesia, but not really good in speak bahasa," kisahnya.
"Am i really look like an indonesian?" Tanya Ai, karena Azura langsung memperkenalkan diri dengan bahasa.
"Yeah, similar with my mom," balas Azura.
"Am I that old?" Gurau Ai.
"No, no. I mean I like Indonesian face," kata Azura.
"Sudah lama, mengajar mereka?"
"Tiga tahunan, lah." Jawab Azura, sambil berdiri dari kursi, "Eh, kita sambil jalan, yuk," ajaknya. Kemudian dua orang asing yang baru saling kenal itu berjalan bersama menyusuri taman, sambil mengobrol.
"Eh, mampir ke situ, sebentar, ya," kata Azura saat sampai di depan toko kuning langganannya.
"I'll wait you here," kata Ai. Dia pun menunggu di luar toko, kemudian Azura keluar dan berkata,
"Apparently paid off."
"Oh, ya? Siapa?" Tanya Ai.
"I don't know," kata Azura. "Biasanya orang baik yang merahasiakan identitasnya," lanjutnya.
"Kamu tidak ingin tahu?"
Azura hanya mengangkat bahu.
"Kerjaan kamu apa sih? I mean why do you really care about them?" Tanya Ai.
"I am an amateur painter. Kalau lukisan laku, aku bisa bayarin hutang-hutang biaya hidupku," kisahnya.
"Kamu pikir berapa lama kamu bisa bertahan buat mereka, kalau kamu tidak punya kekuatan finansial?" Tanya Ai. Tanpa basa basi.
"Unpredictable," jawab Azura, santai. "Belum pernah tahu rasanya punya kekuatan finansial," lanjutnya.
"Kamu percaya nggak, kalau manusia itu bisa jadi mesin uang untuk dirinya sendiri?" Tanya Ai.
"How come? Emang kerjaan kamu apa? Kayanya kita seumuran, deh," kata Azura.
"Aku masih kuliah, tapi sambil kerja sebagai desainer interior dengan gaji tetap, belum terlalu hebat sih, tapi setidaknya bisa bantu bayarin hutang alat lukis kamu," jelas Ai, sambil tersenyum.
"Oh my god, jadi kamu yang bayarin hutang di toko tadi?" Tanya Azura, kaget. "Kenapa?" Lanjut Azura.
"Because i don't have a big heart, like you," kata Ai.
"And, i don't have fixed salary, like you," balas Azura, sambil tertawa.
Obrolan mengenai pendapatan tetap itu menjadi titik awal kebersamaan mereka. Lalu mereka menjadi sepasang sahabat yang sangat dekat, saling menjaga, saling membantu, saling menghargai, saling mendukung, bahkan seperti dalam penilaian banyak orang mereka itu saling memberikan dampak positif.
"Ai, kalau aku berhasil dalam karirku, apa bayaran yang kamu mau?" Tanya Azura.
"Memang apa yang bisa kamu berikan?" Tanya Ai, kembali.
"He he, tidak ada. Tapi aku bisa janjikan sesuatu yang bisa ditepati."
"Apa tuh?""
"Aku tidak akan pernah melupakanmu. I promise"
Beberapa tahun kemudian berlalu, nyaris nyata perasaan tak biasa dia rasa pada Azura, mungkin begitu juga sebaliknya, karena itu tanpa penjelasan Ai pergi, dan kembali ke indonesia. Sesampainya dia di dekat mama tercinta dia tak bisa sembunyikan apa pun, keresahan akan dirinya, juga mengenai orientasi seksual, orientasi romantic, hingga pada keadaan mana ia harus memilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang TanpaMu
RomanceMelewati usia 30 tahun dengan berbagai dimensi luka dan proses penyembuhannya. Dira 30 tahun bersepakat dengan suaminya untuk menunggu kehadiran buah hati dengan menata lebih dulu kemapanan secara ekonomi. Latar belakangnya yang dari keluarga seder...