Kesempatan

627 67 10
                                    

Pukul 11:30 PM Ai baru pulang, semua penghuni rumah sudah tidur, termasuk Dira, Ai masuk kamar dengan pelan-pelan agar teman sekamarnya tak bangun, namun sepertinya Dira memang belum tidur. Dira masih terjaga dengan ponsel di tangannya, dia duduk di bangku panjang dekat jendela.
"Belum tidur?" Tanya Ai.
"Belum," jawab Dira.
"Segeralah tidur, besok sebelum subuh Ami Usman jemput kita ambil miqot ke Tan'im lalu umroh sunnah ba'da subuh. Kita jamaah subuh di Haram," kata Ai, datar, seolah itu bukan hal yang istimewa. Padahal itu sangat luar biasa bagi Dira. Sontak dia langsung berdiri dari duduknya, seolah hilang semua kegalauannya hari ini.
"Serius, mbak?" Tanya Dira, tak percaya.
"Apa aku kelihatan bohong?" Tanya Ai.
"Aaaaa..." Dira histeris sembari memeluk Ai dari samping. "Terima kasih, Ya Allah... makasih banyak mbak..." lanjutnya. Lalu dia lepaskan pelukannya. "Sorry ya, mbak. Saya histeris," ucapnya.
"Ya, lain kali jangan tiba-tiba memeluk lagi. Selain papa sama mama tidak pernah ada orang lain yang melakukannya. Aneh aja rasanya," kata Ai.
"Memangnya kamu tidak punya teman dekat?" Tanya Dira.
Ai tak menjawab. "Ekhm," Ai berdehem untuk mengatakan sesuatu. "Dir, sebenarnya aku juga belum pernah umroh, sebelum berangkat juga tidak sempat manasik, kamu kan lebih lama belajar di pesantren, jika tidak keberatan bisakah kamu membimbingku besok?" Tanya Ai.
"Kalau saya, manasik sih sempat mbak, sama teman yang biasa bimbing jamaah haji dan umroh, dia juga kasih buku panduan sederhana, sekadar untuk tahu denah tempatnya. Saya juga ada bekal bacaan-bacaan penting dari suami," jelas Dira.
"Suami kamu sudah pernah?"
"Belum juga sih mbak, tapi kan pengetahuan agamanya lebih banyak, makanya meskipun belum pernah saya juga minta bimbingan sama dia," kata Dira.
Ai mengangguk setuju.
"Oh iya, sepertinya perasaan kamu sudah membaik sekarang," kata Ai, mencoba mengingatkan Dira soal kegundahannya tadi. "Sedang ada masalah, sama suami kamu?" Ledek Ai.
"Ya gitu lah, mbak, namanya saja LDR. Tadi dia video call, tapi nggak ke angkat sampe berkali-kali, terus saya coba video call balik, nggak ada jawaban. Saya kirim pesan sampai malam ini belum terbaca. Apa dia ngambek, Ya?" Tanpa terasa Dira curhat pada Ai.
"Apa dia ngambekan seperti perempuan?" Tanya Ai, menanggapi.
"Yeee... enak aja mbak Ai bilang dia banci!" Balas Dira.
"Ya kalau dia nggak ngambekan berarti kamu dong, yang curigaan!" Kata Ai.
"Gimana nggak curiga, coba? Sekarang itu ada adik perempuan temannya yang bantu dia di bagian promosi dan pemasaran. Masih muda dan cantik pula," kata Dira, kesal.
"Emh... kejadian juga kan yang aku khawatirkan, kemakan pikiran negatif sendiri di tengah-tengah pekerjaan," komentar Ai.
"Maaf, mbak. Habis gimana dooong?" Kata Dira.
"Ya, kalau kataku sih, sebenarnya kamu itu merasa bersalah karena tadi kamu yang lebih dulu melewatkan panggilan dia. Dan yaaa seperti kamu yang biasanya, terjebak dalam perasaan sendiri," Ai mencoba sedikit memberi masukan. "Ya tapi itu kalau kamu setuju sih, aku juga tidak ada pengalaman berumah tangga," lanjutnya.
"Tapi kayaknya bener deh, mbak," ucap Dira setuju.
"Jadi, besok-besok lagi kalau ada masalah pribadi yang sekira mengganggu sesegera mungkin selesaikan. Kecuali jika kamu sudah ahli manipulasi perasaan yang seperti kamu bilang tadi," kata Ai. Menasihati sekaligus mengungkit ucapan Dira.
"Maaf ya, mbak. Tadi mbak Ai malah kena emosiku juga," Dira merasa malu sendiri.
"Tidak perlu minta maaf, sudah biasa. Semua orang yang bekerja denganku pasti lebih banyak bete-nya daripada seneng nya." Dan Dira tersenyum atas ucapan Ai itu. Lalu Ai beranjak dari tempat duduk hendak keluar dari kamar.
"Mau ke mana, mbak?" Tanya Dira.
"Aku akan menemui papa, belum sempat berpamitan," jawabnya.
"Jangan, mbak," cegah Dira, "Maksud saya, mungkin Bapak sudah tidur. Ini sudah larut," lanjutnya.
"Begitu, Ya? Oke deh, aku kirim pesan saja," kata Ai setuju.
***
Dira sengaja mencegah Ai untuk menemui papanya. Karena baru saja sebelum Ai datang Dira menggantikan perban di kaki Pak Toha, dan harus segera beristirahat setelah minum obat.
"Pak, kalau misalkan tidak ada kami semua di sini, siapa yang akan merawat bapak setiap hari?" Tanya Dira sambil menyiapkan perlengkapan ganti perban.
"Mungkin saya akan tinggal di rumah sakit saja," jawab Pak Toha.
"Sayang sekali dong, rumah sebagus ini ditinggal?" Kata Dira.
"Iya juga ya?" Ucap Pak Toha setuju.
"Lukanya udah oke nih, pak, tinggal bengkaknya," komentar Dira.
"Untung saja saya tidak punya diabet, jadi luka tetap bisa kering," kata Pak Toha.
"Tapi bukannya nanti harus ada operasi lepas pen, ya, pak?" Tanya Dira.
"Saya minta pada dokter untuk diproses setelah kalian pulang," jelas Pak Toha.
"Wah, jangan ngaco dong, Pak. Kalau makin jadi gimana? Lagian bapak sudah berumur, kalau masalah kesehatan penanganannya harus segera, kan, Pak?" komentar Dira, khawatir.
"Udah, nggak masalah. Sekarang kamu ambilkan air putih, dan saya minum obat, terus istirahat," kata Pak Toha.
"Ih, anak sama bapak sama saja," gerutu Dira, sambil pergi mengambil air minum.
"Apanya yang sama?" Tanya Pak Toha, yang mendengar Dira mengomel.
"Sama-sama sok kuat," balas Dira.
Dira mungkin belum sempurna dalam menjalankan tugas pekerjaan, namun itu hanya masalah kebiasaan sebenarnya, melihat keluarga Ai yang hidup dengan keputusan masing-masing membuat Dira banyak belajar lagi tentang apa yang disebut pilihan, dia pun menyadari tak seharusnya dia mengeluh akan kehidupannya, meski keadaannya sekarang tak mudah baginya. Dan seperti biasa, berdebat dengan Ai selalu menyisakan sesal sendiri di hatinya.
***
Pukul 1:45 dini hari mereka berdua sudah bersiap berangkat, dan menunggu Ami Usman menjemput mereka. Saat keluar dari kamar ternyata Pak Toha sudah bangun dan duduk di sofa ruang tamu.
"Kalian sudah siap?" Tanya Pak Toha.
"Papa sudah bangun rupanya," kata Ai.
"Iya, papa baca pesan dari kamu," jawab papanya.
"Papa tidak ikut?" Tanya Ai.
"Insya Allah lain kali saja," jawab papanya.
Tak lama kemudian Ami Usman datang bersama istrinya, lalu mereka berempat pun berangkat menuju desa Tan'im, daerah tersebut adalah tempat pengambilan miqot yang paling dekat dengan masjid Al-haram, sejak zaman dulu masjid tersebut memiliki nama resmi Masjid Tan'im, namun biasa disebut juga dengan Miqot 'Aisyah. Perjalanan dari jeddah ke tan'im memakan waktu kurang lebih satu jam lebih lima menit.
"We've arrived, Alhamdulillah," kata Ami Usman. "Gils... Toilet over there, if you need to take wudlu again, and musala nisa' over there," lanjutnya, sembari menunjuk dengan tangannya.
"Don't worry, Ami. Nahna ma'a Amah (Kami bersama Amah)," kata Dira. Lalu mereka masuk ke masjid untuk salat sunnah mutlaq dua rakaat, kemudian berangkat menuju ke masjid Al-haram yang jaraknya hanya 19,5 km atau sekitar delapan belas menit saja. Bacaan talbiyah mengiringi sepanjang perjalanan. Sampai masjid Al-haram belum masuk waktu subuh, cukup beruntung mereka bisa masuk melalui pintu utama, atau Bab Malik Abdul Aziz. Haru, senang, tersanjung, juga perasaan tak berdaya bercampur jadi satu ketika baitullah sudah benar-benar terlihat dengan jelas di depan mata. Ami Usman mengambil tempat di shof jamaah pria, sedangkan Amah Salma, Dira dan Ai tentu saja mengambil tempat di shof perempuan. Mereka mendapat tempat di lantai dasar yang lurus dengan ka'bah.
Waktu subuh masih lima belas menit lagi, Ai dan Dira mengisi waktu dengan salat-salat sunnah, untuk menanti adzan subuh berkumandang. Dalam sujudnya Ai tak dapat membendung air mata.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang